ANALISIS KEBIJAKAN TENTANG PENDIDIKAN AGAMA DAN KEAGAMAAN

  ANALISIS KEBIJAKAN

 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NO: 55 TH. 2007

TENTANG PENDIDIKAN AGAMA DAN KEAGAMAAN

 

Tugas Akhir Mata Kuliah

Analisis kebijakan Pendidikan Islam

 

Oleh :

Taupik Abdillah Syukur

 

Dosen Pembimbing :

Prof. DR. Abuddin Nata, MA

 

PROGRAM PASCASARJANA (S3)

UNIVERSITAS IBN KHALDUN (UIKA) BOGOR

2011 M/ 1433 H

 

ANALISIS KEBIJAKAN

 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NO: 55 TH. 2007

TENTANG PENDIDIKAN AGAMA DAN KEAGAMAAN

 

Beberapa point tentang analisis kebijakan PP RI No. 55 Tahun 2007, diantaranya :

1. Pengelolaan kurikulum pendidikan agama dalam PP tersebut diperuntukan untuk sekolah umum sebagaimana dan dilaksanakan oleh menteri agama termaktub dalam PP No. 55 tahun 2007 pada bab II pasal 3 ayat 2 “pengelolaan pendidikan agama dilaksanakan oleh menteri agama”.  Dalam PP nomor 55 tahun 2007 yang intinya untuk meningkatkan kualitas agama dan mengamalkan nilai-nilai agamanya, akan tetapi dalam tataran praktisnya pengelolaan pendidikan agama dan keagamaan lebih cenderung pada dikotomi ilmu agama dan umum. Bagaimana tidak, bila kita perhatikan saat ini porsi pendidikan agama di sekolah umum hanya dua jam dalam satu minggu. Dari porsi pembagian ini dapat menggambarkan bahwa sekolah hanya mempersiapkan peserta didik memenuhi dimensi individu dalam hal ini kognitif saja, tetapi dimensi agama, sosial, dan susila dianggap tidak penting.

2. Dalam PP No. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama kita bisa melihat pada pasal 5 ayat 6 menyebutkan “satuan pendidikan dapat menambah muatan pendidikan agama sesuai dengan kebutuhan”. Tetapi dalam tataran praktisnya ini sangat susah untuk kita temukan. Karena jam muatan lokal biasanya tidak diisi dengan pendidikan agama, melainkan diisi dengan bahasa daerah atau yang lainnya. Dan apabila iya itu dilaksanakan pada muatan lokal maka itupun hanya 2 jam pelajaran saja. Apakah ini cukup untuk menjadi peserta didik sesuai dengan PP tersebut. Jawabannya tentu tidak. Sedangkan porsi pendidikan umum di madrasah atau pesantren juga tidak kalah sedikitnya dengan porsi pendidikan agama di sekolah umum, ini juga sebagai indikasi bahwa semangat untuk mengembangkan pendidikan umum di sekolah berbasis agama tidak berkembang dengan baik. Akhirnya lulusan madrasah atau pesantren cenderung pengisi satu sektor bidang dalam kehidupan bermasyarakat. Hasil yang didapatkanpun tidak maksimal. Untuk itu dikotomi antara pendidikan umum dan pendidikan agama tidak boleh lagi terjadi dalam praktik pengelolaan pendidikan di Indonesia jika kita ingin merealisasikan tujuan pendidikan nasional. Siswa bukan hanya dituntut secara kognitif tetapi juga moral, responsibility terhadap masyarakat serta kedisiplinan dalam hidupnya.

3. Lahirnya PP No 55 tahun 2007 ini pemakalah melihat adanya kesempatan untuk dapat bantuan sama seperti lembaga pendidikan lain. Rekomendasi ini mengacu kepada Pasal 12 ayat 1, isinya adalah “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberi bantuan sumber daya pendidikan kepada pendidikan keagamaan”. Penjelasan dari pasal ini adalah, “Pemberian bantuan sumber daya pendidikan meliputi pendidik, tenaga kependidikan, dana, serta sarana dan prasarana pendidikan lainnya. Pemberian bantuan disalurkan secara adil kepada seluruh pendidikan keagamaan pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Bantuan dana pendidikan menggunakan satuan dan mata anggaran yang berlaku pada jenis pendidikan lain sesuai peraturan perundang-undangan” Pada pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren yang diatur dalam PP No. 55 tahun 2007, dengan memberikan penambahan-penambahan kompetensi serta lulus dari ujian nasional, maka lulusan lembaga-lembaga pendidikan memliki hak yang sama dengan lulusan sekolah formal. Adapun efek samping dari PP tersebut bagi pendidikan keagamaan adalah ketimpangan antara pemenuhan kewajiban dan eksekusi kewenangan pemerintah serta birokratisasi dan intervensi kurikulum pesantren/madrasah diniyah .

4. Dalam konteks nasional, telah terjadi pergeseran kebijakan pemerintah terhadap pesantren dan madrasah diniyah. Pada dekade 1990-an, pendidikan pesantren dimasukkan kategori pendidikan luar sekolah yang mendapatkan bantuan “ala kadarnya” dari pemerintah. PP 73/1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah –sebagai penjabaran UU 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)– menyebutkan bahwa pendidikan luar sekolah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan keagamaan, pendidikan jabatan kerja, pendidikan kedinasan dan pendidikan kejuruan. Kondisi ini berubah seiring disahkannya UU Sisdiknas 20 tahun 2003. Pada pasal 15 UU Sisdiknas menyebutkan bahwa jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan khusus. Selanjutnya, Pasal 30 ayat (3) menegaskan bahwa pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal dan informal. Ketentuan dalam konteks lokal, penyelenggaraan pendidikan seharusnya merupakan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah seiring penerapan desentralisasi dan otonomi daerah. Tetapi, dalam praktiknya, pendidikan merupakan sektor yang paling alergi terhadap penerapan desentralisasi. Departemen Pendidikan Nasional justru menjadi “pelopor” lahirnya berbagai kebijakan bernuansa soft centralization, seperti kebijakan ujian nasional dan penyaluran dana bantuan operasional sekolah (BOS) melalui mekanisme pembiayaan dekonsentrasi. Penerapan PP Nomor 55 tahun 2007 akan membuat pesantren berada di simpang kepentingan antara Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama serta pemerintah daerah sebagai pemilik sah kewenangan atas penyelenggaraan pendidikan inilah yang diterjemahkan lebih lanjut PP 55 tahun 2007.

5. Pendidikan diniyah dan pesantren adalah model atau sistem pembelajaran yang tumbuh dan berkembang berbasis nilai, karakter, dan budaya. Diantara keutamaannya adalah transformasi ilmu pengetahuan yang bersifat substansif dan egalitarian. Sistem pendidikan di pondok pesantren terbukti telah melahirkan format keilmuan yang multi dimensi yaitu ilmu pengetahuan agama, membangun kesadaran sosial dan karakter manusia sebagai hamba Allah. Atas dasar itu, maka dalam pengaturan PP Nomor 55 Tahun 2007 hendaknya memuat penegasan yang lebih kongkrit bukan saja terhadap masa depan pondok pesantren akan tetapi imbalan jasa yang patut di terima oleh pondok pesantren atas perannya dalam membina karakter bangsa.

6. Kehadiran PP Nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan diarahkan untuk memperkuat pelaksanaan pendidikan agama dan keagamaan. Regulasi ini menegaskan perlunya pendidikan yang memberikan pengetahuan dan pembentukan sikap, kepribadian, keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya dan pentingnya pendidikan keagamaan dalam mempersiapkan peserta didik memiliki pengetahuan agama dan menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan agamanya. Oleh karena itu regulasi ini memerlukan berupa Peraturan Menteri Agama yang dapat memperjelas maksud PP ini. Regulasi yang akan dikeluarkan akan lebih baik apabila tetap memelihara karakter pesantren itu sendiri antara lain kemandirian pesantren sehingga regulasi yang akan dibuat tetap menjamin otonomi kelembagaan, pengelolaan akademik yang terkait dengan sistem pembelajarannya.

7. Pengertian yang disebut pendidikan keagamaan formal, disebabkan kata “formal” menimbulkan masalah karena akan berhadapan dengan realitas pesantren yang secara historis memiliki otonomi kelembagaan, dan manajemen. Pasal 14 – 20: “Pendidikan diniyah diselenggarakan pada jalur formal, non formal dan informal”. Diperlukan penjelasan tentang ketiga jalur tersebut, apakah ketiga jalur tersebut harus ada atau hanya sekedar tawaran atau pilihan. Permbagian tersebut perlu penjelasan karena dipahami bahwa pendidikan diniyah adalah pendidikan nonformal. Penggunaan kata”formal” seperti “pendidikan diniyah formal” dalam PP tersebut memungkinkan terjadinya formalisasi pendidikan keagamaan yang dikhawatirkan pendidikan keagamaan yang sudah mapan di lapangan mengalami reduksi atau intervensi. Perlu adanya penegasan bahwa pencantuman “formal” itu hanyalah sebutan alternative atau opsi, dan dalam rangka proses memperoleh recognisi (pengakuan).

8. Pondok pesantren telah memiliki pendidikan diniyah. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah pemerintah masih perlu mendirikan pendidikan diniyah formal atau jalan keluarnya dengan adanya program pemerintah mendirikan pendidikan diniyah formal yang bersifat program percontohan akan tetapi tidak menyaingi lembaga pendidikan sejenis yang sudah ada. dan pada pasal17,18,19 apakah diperlukan pengaturan yang ketat tentang peserta didik, kurikulum dan ujian kalau terjadi pengaturan dikhawatirkan akan terganggu kemandirian dan keberlangsungan Pendidikan Diniyah.

 

 

 

 

 

 

ANALISIS KEBIJAKAN

 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NO: 55 TH. 2007

 ANALISIS KEBIJAKAN

 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NO: 55 TH. 2007

TENTANG PENDIDIKAN AGAMA DAN KEAGAMAAN

 

Tugas Akhir Mata Kuliah

Analisis kebijakan Pendidikan Islam

 

Oleh :

Taupik Abdillah Syukur

 

Dosen Pembimbing :

Prof. DR. Abuddin Nata, MA

 

PROGRAM PASCASARJANA (S3)

UNIVERSITAS IBN KHALDUN (UIKA) BOGOR

2011 M/ 1433 H

 

ANALISIS KEBIJAKAN

 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NO: 55 TH. 2007

TENTANG PENDIDIKAN AGAMA DAN KEAGAMAAN

 

Beberapa point tentang analisis kebijakan PP RI No. 55 Tahun 2007, diantaranya :

1. Pengelolaan kurikulum pendidikan agama dalam PP tersebut diperuntukan untuk sekolah umum sebagaimana dan dilaksanakan oleh menteri agama termaktub dalam PP No. 55 tahun 2007 pada bab II pasal 3 ayat 2 “pengelolaan pendidikan agama dilaksanakan oleh menteri agama”.  Dalam PP nomor 55 tahun 2007 yang intinya untuk meningkatkan kualitas agama dan mengamalkan nilai-nilai agamanya, akan tetapi dalam tataran praktisnya pengelolaan pendidikan agama dan keagamaan lebih cenderung pada dikotomi ilmu agama dan umum. Bagaimana tidak, bila kita perhatikan saat ini porsi pendidikan agama di sekolah umum hanya dua jam dalam satu minggu. Dari porsi pembagian ini dapat menggambarkan bahwa sekolah hanya mempersiapkan peserta didik memenuhi dimensi individu dalam hal ini kognitif saja, tetapi dimensi agama, sosial, dan susila dianggap tidak penting.

2. Dalam PP No. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama kita bisa melihat pada pasal 5 ayat 6 menyebutkan “satuan pendidikan dapat menambah muatan pendidikan agama sesuai dengan kebutuhan”. Tetapi dalam tataran praktisnya ini sangat susah untuk kita temukan. Karena jam muatan lokal biasanya tidak diisi dengan pendidikan agama, melainkan diisi dengan bahasa daerah atau yang lainnya. Dan apabila iya itu dilaksanakan pada muatan lokal maka itupun hanya 2 jam pelajaran saja. Apakah ini cukup untuk menjadi peserta didik sesuai dengan PP tersebut. Jawabannya tentu tidak. Sedangkan porsi pendidikan umum di madrasah atau pesantren juga tidak kalah sedikitnya dengan porsi pendidikan agama di sekolah umum, ini juga sebagai indikasi bahwa semangat untuk mengembangkan pendidikan umum di sekolah berbasis agama tidak berkembang dengan baik. Akhirnya lulusan madrasah atau pesantren cenderung pengisi satu sektor bidang dalam kehidupan bermasyarakat. Hasil yang didapatkanpun tidak maksimal. Untuk itu dikotomi antara pendidikan umum dan pendidikan agama tidak boleh lagi terjadi dalam praktik pengelolaan pendidikan di Indonesia jika kita ingin merealisasikan tujuan pendidikan nasional. Siswa bukan hanya dituntut secara kognitif tetapi juga moral, responsibility terhadap masyarakat serta kedisiplinan dalam hidupnya.

3. Lahirnya PP No 55 tahun 2007 ini pemakalah melihat adanya kesempatan untuk dapat bantuan sama seperti lembaga pendidikan lain. Rekomendasi ini mengacu kepada Pasal 12 ayat 1, isinya adalah “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberi bantuan sumber daya pendidikan kepada pendidikan keagamaan”. Penjelasan dari pasal ini adalah, “Pemberian bantuan sumber daya pendidikan meliputi pendidik, tenaga kependidikan, dana, serta sarana dan prasarana pendidikan lainnya. Pemberian bantuan disalurkan secara adil kepada seluruh pendidikan keagamaan pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Bantuan dana pendidikan menggunakan satuan dan mata anggaran yang berlaku pada jenis pendidikan lain sesuai peraturan perundang-undangan” Pada pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren yang diatur dalam PP No. 55 tahun 2007, dengan memberikan penambahan-penambahan kompetensi serta lulus dari ujian nasional, maka lulusan lembaga-lembaga pendidikan memliki hak yang sama dengan lulusan sekolah formal. Adapun efek samping dari PP tersebut bagi pendidikan keagamaan adalah ketimpangan antara pemenuhan kewajiban dan eksekusi kewenangan pemerintah serta birokratisasi dan intervensi kurikulum pesantren/madrasah diniyah .

4. Dalam konteks nasional, telah terjadi pergeseran kebijakan pemerintah terhadap pesantren dan madrasah diniyah. Pada dekade 1990-an, pendidikan pesantren dimasukkan kategori pendidikan luar sekolah yang mendapatkan bantuan “ala kadarnya” dari pemerintah. PP 73/1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah –sebagai penjabaran UU 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)– menyebutkan bahwa pendidikan luar sekolah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan keagamaan, pendidikan jabatan kerja, pendidikan kedinasan dan pendidikan kejuruan. Kondisi ini berubah seiring disahkannya UU Sisdiknas 20 tahun 2003. Pada pasal 15 UU Sisdiknas menyebutkan bahwa jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan khusus. Selanjutnya, Pasal 30 ayat (3) menegaskan bahwa pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal dan informal. Ketentuan dalam konteks lokal, penyelenggaraan pendidikan seharusnya merupakan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah seiring penerapan desentralisasi dan otonomi daerah. Tetapi, dalam praktiknya, pendidikan merupakan sektor yang paling alergi terhadap penerapan desentralisasi. Departemen Pendidikan Nasional justru menjadi “pelopor” lahirnya berbagai kebijakan bernuansa soft centralization, seperti kebijakan ujian nasional dan penyaluran dana bantuan operasional sekolah (BOS) melalui mekanisme pembiayaan dekonsentrasi. Penerapan PP Nomor 55 tahun 2007 akan membuat pesantren berada di simpang kepentingan antara Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama serta pemerintah daerah sebagai pemilik sah kewenangan atas penyelenggaraan pendidikan inilah yang diterjemahkan lebih lanjut PP 55 tahun 2007.

5. Pendidikan diniyah dan pesantren adalah model atau sistem pembelajaran yang tumbuh dan berkembang berbasis nilai, karakter, dan budaya. Diantara keutamaannya adalah transformasi ilmu pengetahuan yang bersifat substansif dan egalitarian. Sistem pendidikan di pondok pesantren terbukti telah melahirkan format keilmuan yang multi dimensi yaitu ilmu pengetahuan agama, membangun kesadaran sosial dan karakter manusia sebagai hamba Allah. Atas dasar itu, maka dalam pengaturan PP Nomor 55 Tahun 2007 hendaknya memuat penegasan yang lebih kongkrit bukan saja terhadap masa depan pondok pesantren akan tetapi imbalan jasa yang patut di terima oleh pondok pesantren atas perannya dalam membina karakter bangsa.

6. Kehadiran PP Nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan diarahkan untuk memperkuat pelaksanaan pendidikan agama dan keagamaan. Regulasi ini menegaskan perlunya pendidikan yang memberikan pengetahuan dan pembentukan sikap, kepribadian, keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya dan pentingnya pendidikan keagamaan dalam mempersiapkan peserta didik memiliki pengetahuan agama dan menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan agamanya. Oleh karena itu regulasi ini memerlukan berupa Peraturan Menteri Agama yang dapat memperjelas maksud PP ini. Regulasi yang akan dikeluarkan akan lebih baik apabila tetap memelihara karakter pesantren itu sendiri antara lain kemandirian pesantren sehingga regulasi yang akan dibuat tetap menjamin otonomi kelembagaan, pengelolaan akademik yang terkait dengan sistem pembelajarannya.

7. Pengertian yang disebut pendidikan keagamaan formal, disebabkan kata “formal” menimbulkan masalah karena akan berhadapan dengan realitas pesantren yang secara historis memiliki otonomi kelembagaan, dan manajemen. Pasal 14 – 20: “Pendidikan diniyah diselenggarakan pada jalur formal, non formal dan informal”. Diperlukan penjelasan tentang ketiga jalur tersebut, apakah ketiga jalur tersebut harus ada atau hanya sekedar tawaran atau pilihan. Permbagian tersebut perlu penjelasan karena dipahami bahwa pendidikan diniyah adalah pendidikan nonformal. Penggunaan kata”formal” seperti “pendidikan diniyah formal” dalam PP tersebut memungkinkan terjadinya formalisasi pendidikan keagamaan yang dikhawatirkan pendidikan keagamaan yang sudah mapan di lapangan mengalami reduksi atau intervensi. Perlu adanya penegasan bahwa pencantuman “formal” itu hanyalah sebutan alternative atau opsi, dan dalam rangka proses memperoleh recognisi (pengakuan).

8. Pondok pesantren telah memiliki pendidikan diniyah. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah pemerintah masih perlu mendirikan pendidikan diniyah formal atau jalan keluarnya dengan adanya program pemerintah mendirikan pendidikan diniyah formal yang bersifat program percontohan akan tetapi tidak menyaingi lembaga pendidikan sejenis yang sudah ada. dan pada pasal17,18,19 apakah diperlukan pengaturan yang ketat tentang peserta didik, kurikulum dan ujian kalau terjadi pengaturan dikhawatirkan akan terganggu kemandirian dan keberlangsungan Pendidikan Diniyah.

 

 

 

 

 

 

ANALISIS KEBIJAKAN

 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NO: 55 TH. 2007

TENTANG PENDIDIKAN AGAMA DAN KEAGAMAAN

 

Tugas Akhir Mata Kuliah

Analisis kebijakan Pendidikan Islam


Oleh :

Taupik Abdillah Syukur

 

Dosen Pembimbing :

Prof. DR. Abuddin Nata, MA

 

PROGRAM PASCASARJANA (S3)

UNIVERSITAS IBN KHALDUN (UIKA) BOGOR

2011 M/ 1433 H

 

Tugas Akhir Mata Kuliah

Analisis kebijakan Pendidikan Islam


Oleh :

Taupik Abdillah Syukur

 

Dosen Pembimbing :

Prof. DR. Abuddin Nata, MA

 

PROGRAM PASCASARJANA (S3)

UNIVERSITAS IBN KHALDUN (UIKA) BOGOR

2011 M/ 1433 H

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STUDI ISLAM KOMPREHENSIF

PSIKOLOGI PENDIDIKAN ISLAM