STUDI ISLAM KOMPREHENSIF
STUDI ISLAM KOMPREHENSIF
DR. TAUFIK ABDILLAH SYUKUR, MA
BAB 1
PENGERTIAN ISLAM
1.1 Pengertian Islam Menurut Bahasa
Islam adalah agama yang
diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw
sebagai nabi dan rasul terakhir untuk menjadi pedoman hidup seluruh manusia
hingga akhir zaman.
Islam
(Arab: al-islām, الإسلام, "berserah diri kepada
Tuhan") adalah agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah SWT. Dalam Al-Quran, Islam disebut juga Agama Allah
atau Dienullah (Arab: دِينِ اللَّهِ).
أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ
فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ
"Maka apakah mereka
mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri
(aslama) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun
terpaksa dan hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan.” (QS. Ali Imran [3]:
83).
Dien (agama)
sendiri dalam Al-Quran artinya agama (QS 3:83), ketaatan (QS 16:52), dan ibadah
(QS.40:65).
Pengertian Islam menurut
bahasa, kata Islam berasal dari kata aslama yang berakar dari kata salama.
Kata Islam merupakan bentuk mashdar (infinitif) dari kata aslama
ini.
أَسْلَمَ يُسْلمُ
إِسْلَامًا
Ditinjau dari
segi bahasanya, yang dikaitkan dengan asal katanya (etimologis), Islam memiliki
beberapa pengertian, sebagai berikut:
1. Islam
berasal dari kata ‘salm’ (السَّلْم)
As-Salmu berarti damai
atau kedamaian. Firman Allah SWT dalam Al-Quran:
وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا
وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dan jika
mereka condong kepada perdamaian (lis salm), maka condonglah kepadanya
dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.” (QS. 8:61).
Kata ‘salm’
dalam ayat di atas memiliki arti damai atau perdamaian. Ini merupakan salah
satu makna dan ciri dari Islam, yaitu bahwa Islam merupakan agama yang
mengajarkan umatnya untuk cinta damai atau senantiasa memperjuangkan
perdamaian, bukan peperangan atau konflik dan kekacauan.
Sebagai salah
satu bukti Islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi perdamaian
adalah Allah SWT melalui Al-Quran baru mengizinkan atau memperbolehkan kaum
Muslimin berperang jika mereka diperangi oleh para musuh-musuhnya. Sebagaimana firman Allah Swt:
أُذِنَ
لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ
نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ
“Telah
diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya
mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong
mereka itu.” (QS. 22: 39).
2. Islam
Berasal dari kata ‘aslama’ (أَسْلَمَ)
Aslama artinya berserah diri atau pasrah, yakni berserah
diri kepada aturan Allah SWT.
Penyerahan diri seperti ini ditandai dengan pelaksanaan
terhadap apa yang Allah perintahkan serta menjauhi segala larangan-Nya.
وَمَنْ
أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ
مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۗ وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang
ikhlas menyerahkan dirinya (aslama wajhahu) kepada Allah, sedang
diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang
lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.”
(QS. 4: 125)
Karena
sesungguhnya jika kita renungkan, bahwa seluruh makhluk Allah baik yang ada di bumi
maupun di langit, mereka semua memasrahkan dirinya kepada Allah SWT, dengan
mengikuti sunnatullah-Nya.
اَفَغَيْرَ دِيْنِ
اللّٰهِ يَبْغُوْنَ وَلَهٗ ٓ اَسْلَمَ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ طَوْعًا
وَّكَرْهًا وَّاِلَيْهِ يُرْجَعُوْنَ
“Maka apakah
mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah
berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun
terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.” (QS. 3: 83)
3. Islam
Berasal dari kata istaslama–mustaslimun
Istaslama–mustaslimun artinya penyerahan total
kepada Allah SWT. Firman Allah SWT dalam Al-Quran:
بَلْ هُمُ الْيَوْمَ مُسْتَسْلِمُونَ
“Bahkan mereka pada hari itu menyerah diri.” (QS 37: 26)
Seorang Muslim diperintahkan
untuk secara total menyerahkan seluruh jiwa dan raga serta harta atau apa pun
yang dimiliki hanya kepada Allah SWT. Sebagaimana firman Allah Swt:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا
فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ
لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam
Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. 2: 208).
Masuk Islam secara keseluruhan berarti menyerahkan diri
secara total kepada Allah dalam melaksanakan segala yang diperintahkan dan
dalam menjauhi segala yang dilarang-Nya.
4. Berasal
dari kata ‘saliim’ (سَلِيْمٌ).
Salim artinya bersih dan suci.
إِلَّا مَنْ أَتَى الَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
"Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati
yang bersih" (QS. 26: 89).
إِذْ جَاءَ رَبَّهُ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
"(Ingatlah) ketika ia (Ibrahim) datang kepada Tuhannya
dengan hati yang suci." (QS. 37: 84)
Hal ini menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang suci
dan bersih, yang mampu menjadikan para pemeluknya untuk memiliki kebersihan dan
kesucian jiwa yang dapat mengantarkannya pada kebahagiaan hakiki, baik di dunia
maupun di akhirat.
5. Islam
Berasal dari ‘salam’ (سَلاَمٌ)
Salam berarti selamat dan sejahtera.
قَالَ سَلامٌ عَلَيْكَ سَأَسْتَغْفِرُ لَكَ
رَبِّي إِنَّهُ كَانَ بِي حَفِيًّا
"Berkata Ibrahim: 'Semoga keselamatan dilimpahkan
kepadamu, aku akan meminta ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat
baik kepadaku'." (QS. 19: 47).
Maknanya adalah bahwa Islam merupakan agama yang senantiasa
membawa umat manusia pada keselamatan dan kesejahteraan.
Pengertian Islam menurut Al-Quran tersebut sudah cukup
mengandung pesan bahwa kaum Muslim hendaknya cinta damai, pasrah kepada
ketentuan Allah SWT, bersih dan suci dari perbuatan nista, serta dijamin
selamat dunia-akhirat jika melaksanakan risalah Islam.
1.2 Pengertian Islam Menurut Istilah
Menurut istilah, Islam adalah
‘ketundukan seorang hamba kepada wahyu Ilahi yang diturunkan kepada para nabi
dan rasul khususnya Muhammad SAW guna dijadikan pedoman hidup dan juga sebagai
hukum/ aturan Allah SWT yang dapat membimbing umat manusia ke jalan yang lurus,
menuju ke kebahagiaan dunia dan akhirat.’
Secara istilah juga, Islam adalah
agama terakhir yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw sebagai Nabi
dan utusan Allah (Rasulullah) terakhir untuk umat manusia, berlaku
sepanjang zaman, bersumberkan Al-Quran dan As-Sunnah serta Ijma' Ulama. Berikut
penjelasannya:
1. Islam
sebagai Wahyu Ilahi
Wahyu ialah perintah atau kata-kata Allah (كلام الله) yang disampaikan kepada para Rasul-Nya. Nabi
Muhammad sebagai salah seorang Rasul Allah Ta'ala juga
menerima wahyu yang disampaikan melalui perantaraan malaikat Jibril.
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى
عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut
kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).” (QS. 53: 3-4).
Wahyu Allah kini terhimpun semuanya dalam Mushaf Al-Quran,
kitab suci Umat Islam, sebagai sumber utama ajaran agama Islam.
2. Diturunkan
kepada nabi dan rasul (khususnya Rasulullah SAW)
Allah Swt berfirman :
هَذَا بَصَائِرُ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِقَوْمٍ
يُوقِنُونَ
“Al-Qur’an ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan
rahmat bagi kaum yang meyakini" (QS. 45: 20).
Islam adalah
jalan hidup (way of life). Al-Quran sebagai sumber utama ajaran Islam
menjadi bacaan wajib sekaligus panduan dalam menjalani kehidupan.
3. Mencakup
hukum-hukum Allah dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW
Allah SWT berfirman:
وَاَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَآ
اَنْزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ اَنْ يَّفْتِنُوْكَ
عَنْۢ بَعْضِ مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ اِلَيْكَۗ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ
اَنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ اَنْ يُّصِيْبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوْبِهِمْ ۗوَاِنَّ
كَثِيْرًا مِّنَ النَّاسِ لَفٰسِقُوْنَ # اَفَحُكْمَ
الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ
يُّوْقِنُوْنَ
“Dan hendaklah kamu
memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap
mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah
diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah
diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan
menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan
sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum
Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada
(hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. 5: 49-50)
4. Membimbing
manusia ke jalan yang lurus.
Allah SWT berfirman (QS.
6: 153).
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا
تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ
بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan bahwa (yang Kami
perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah
kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu
mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah
kepadamu agar kamu bertakwa.”
Dalam QS Al-Fatihah, umat
Islam membaca doa "Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus":
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
5. Menuju
kebahagiaan dunia dan akhirat
Islam adalah agama yang
membawa pemeluknya kepada kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Dengan amal
kebaikan (amal shalih) yang dikerjakannya, sesuai dengan syariat Islam,
kaum Muslim akan menjalani kehidupan yang baik, tentram, dan di akhirat nanti
pun demikian.
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ
مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ
بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
"Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik
laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan" (QS. 16: 97).
BAB
2
SUMBER AJARAN ISLAM
2.1 Pengertian Sumber Ajaran Islam
Dalam Bahasa Indonesia, sumber diartikan mata
air misalnya mengambil air dari sumber dan berarti pula “asal”, misalnya kabar
dari sumber yang boleh dipercaya dan sekalian kutipan harus disebutkan
sumbernya. Dalam Bahasa Arab, Sumber disebut mashdar yang jamaknya mashadir,
yang dapat diartikan starting point (titik tolak), point of origin (sumber
asli), dan origin (asli).
Islam sebagai bangunan atau konstruksi yang
didalamnya terdapat nilai-nilai, ajaran, petunjuk hidup, dan sebagainya
membutuhkan sumber yang darinya dapat diambil bahan-bahan yang diperlukan guna
mengkonstruksi ajaran Islam tersebut. Mengacu kepada ayat Al-Quran yang
berbunyi:
يٰٓاَيُّهَا
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى
الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ
وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ
ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian,
jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
(Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
(QS. An-Nisa’ (4): 59) Dan Hadits Rasulullah SAW. Sebagai berikut :
تَرَكْتُ
فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ
اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
“Aku telah
tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada
keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya”. (H.R. Malik, al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu
Hazm).
Sebelum diutus ke Yaman
sebagai qadhi, Rasulullah menyodorkan sejumlah pertanyaan kepada Muadz bin
Jabal sebagaimana terangkum dalam hadits berikut:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لَمَّا أَرَادَ أَنْ
يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ " كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ
لَكَ قَضَاءٌ " . قَالَ أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ . قَالَ "
فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ" قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ
اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ
" فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
وَلاَ فِي كِتَابِ اللَّهِ " قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلاَ آلُو.
فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم صَدْرَهُ وَقَالَ " الْحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ
"
"Bagaimana kamu memutuskan perkara jika diajukan perkara
kepadamu dalam urusan hukum? Muaz menjawab, saya akan putuskan dengan kitab
Allah," jawab Muadz dengan lugas. Nabi SAW bertanya kembali, “Bagaimana
jika tidak engkau temukan dalam kitab Allah? “Saya akan putuskan dengan sunnah
Rasulullah, jawab Muaz. Rasulullah bertanya kembali, jika tidak engkau dapatkan
dalam sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitab Allah? Muaz menjawab, saya
akan berijtihad dengan pemikiran saya dan saya tidak akan berlebih-lebihan.
Maka Rasulullah SAW menepuk dadanya seraya bersabda, "Segala puji bagi
Allah yang telah menyamakan utusan dari utusan Allah sesuai dengan yang
diridhai Rasulullah.” (HR Abu Daud).
2.2 Macam–Macam Sumber Ajaran Islam
1. Al – Qur’an
Secara bahasa (etimologi), kata al-Quran berasal dari
kata qara’a yang berarti membaca. Qara’a juga
berarti mengumpulkan menjadi satu. Sedangkan secara istilah, al-Qur’an adalah kitab suci yang isinya
mengandung firman Allah, turunnya secara bertahap melalui malaikat Jibril, yang
diwahyukan kepada Rasulullah yang susunannya dimulai dari surah al-Fatihah
diakhiri surah an-Nas dan bernilai ibadah bagi yang membacanya.
Fungsi dari al-Qur’an itu sendiri adalah
sebagai konfirmasi dalam memperkuat keyakinan pendapat akal pikiran, dan
sebagai informasi terhadap hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh akal.
Kemudian, al-Qur’an juga berfungsi sebagai suatu tata cara atau aturan untuk
mengatur jalannya kehidupan manusia agar berjalan lurus, menjadi pedoman dalam
hidupnya, sehingga tidak mengherankan jika tema sentral al-Qur’an pembahasannya
adalah tentang manusia, yang didalamnya diterangkan mengenai hakikat manusia,
siapa dirinya, dari mana dia berasal, dimana dia berada, untuk apa ia
diciptakan, apa yang harus dilakukannya, dan hendak kemana ia pergi.
Isi kandungan al-Qur’an antara lain:
a. Aqidah dan Tauhid
Al-Qur’an banyak menjelaskan tentang
pokok-pokok ajaran akidah yang terkandung didalamnya, diantaranya surat
Al-Ikhlas:
قُلْ
هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اللَّهُ الصَّمَدُ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
Katakanlah, "Dialah Allah, Yang Maha
Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada
beranak dan tiada pula-diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara
dengan Dia.” (QS. Al Ikhlas: 1-4)
b. Ibadah dan Muamalah
Dalam Al Quran dijelaskan bahwa tujuan
penciptaan jin dan manusia tidak lain adalah untuk beribadah kepada Allah Swt.
Firman Allah Swt :
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz–Dzariyaat(51): 56).
Manusia harus menyadari bahwa dirinya ada
karena diciptakan oleh Allah Swt. Karena itu, manusia harus sadar bahwa dia
membutuhkan Allah Swt, dan kebutuhan terhadap Allah SWT itu diwujudkan dengan
bentuk beribadah kepada-Nya. Ibadah dapat dibedakan menjadi 2 macam,
yaitu: ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah. Ibadah mahdhah
artinya ibadah khusus yang tata caranya sudah ditentukan, seperti: shalat,
puasa, zakat dan haji. Sedangkan ibadah ghairu mahdhah artinya ibadah
yang bersifat umum, tata caranya tidak ditentukan secara khusus, yang bertujuan
untuk mencari ridha Allah SWT, misalnya: silaturrahim, bekerja mencari rizki
yang halal diniati untuk ibadah, belajar untuk menuntut ilmu, dsb.
Selain beribadah kepada Allah Swt. karena
kesadaran manusia sebagai makhluk ciptaan Allah Swt., manusia juga memiliki
kecenderungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bersama manusia lainnya. Maka
al-Qur’an tidak hanya memberikan ajaran tentang ibadah sebagai wujud kebutuhan
manusia terhadap Allah Swt. tetapi juga mengatur bagaimana memenuhi kebutuhan
lain manusia dengan hubungannya dalam kehidupan. (Misalnya: sillaturrahim, jual
beli, hutang piutang, sewa menyewa, dan kegiatan lain dalam kehidupan bermasyarakat.
Kegiatan dalam hubungan antar manusia ini disebut dengan mu’amalah,
contohnya adalah firman Allah Swt:
يٰٓاَيُّهَا
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى
فَاكْتُبُوْهُۗ وَلْيَكْتُبْ بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌۢ بِالْعَدْلِۖ
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila
kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya
dengan benar....” (QS. Al-Baqarah :282)
c. Akhlak
Ayat-ayat al-Qur’an tentang akhlak Nabi
Muhammad Saw antara lain adalah:
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ
وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sungguh, telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah
Swt.” (QS. al-Ahzab: 21)
d. Hukum
Beberapa ayat-ayat al-Qur’an yang berisi
ketentuan hukum antara lain:
إِنَّا
أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا
أَرَاكَ اللَّهُ ۚ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
“Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab
(al-Qur’an) kepadamu (Muhammad Saw) membawa kebenaran, agar engkau mengadili
antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah Swt kepadamu, dan
janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena
(membela) orang yang berkhianat.” (QS. an-Nisa’ : 105].
e. Sejarah / Kisah
Umat Masa Lalu
Al-Qur’an sebagai kitab suci bagi umat
Islam banyak menjelaskan tentang sejarah atau kisah umat pada masa lalu.
Sejarah atau kisah-kisah tersebut bukan hanya sekedar cerita atau dongeng
semata, tetapi dimaksudkan untuk menjadi ‘ibrah (pelajaran) bagi umat
Islam. Ibrah tersebut kemudian dapat dijadikan petunjuk untuk dapat
menjalani kehidupan agar senantiasa sesuai dengan petunjuk dan keridhaan Allah
Swt.
لَقَدْ
كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ ۗ مَا كَانَ حَدِيثًا
يُفْتَرَىٰ وَلَٰكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ
وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu
terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal. (al-Qur’an) itu bukanlah
cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya,
menjelaskan segala sesuatu, dan (sebagai) petunjuk dan rahmat bagi orang-orang
yang beriman.” (QS. Yusuf : 111).
f. Dasar–Dasar Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi
Al-Qur’an adalah kitab suci ilmiah.
Banyak ayat yang memberikan isyarat-isyarat ilmu pengetahuan (sains) dan
teknologi yang bersifat potensial untuk kemudian dapat dikembangkan guna
kemaslahatan dan kesejahteraan hidup manusia. Allah Swt. yang Maha memberi ilmu
telah mengajarkan kepada umat manusia untuk dapat menjalani hidup dan memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan baik. Al-Qur’an menekankan betapa pentingnya
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal itu diisyaratkan pada saat ayat
al-Qur’an untuk pertama kalinya diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Yaitu QS.
al-‘Alaq: 1-5
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ
الَّذِي خَلَقَ . خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ .
اقْرَأْ
وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ . الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ .
عَلَّمَ
الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu
yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah Yang Maha mulia, Yang mengajar
(manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak
diketahuinya." (QS. al-‘Alaq : 1-5)
Ayat yang pertama kali diturunkan tersebut
diawali dengan perintah untuk membaca. Membaca adalah satu faktor terpenting
dalam proses belajar untuk menguasai suatu ilmu pengetahuan. Ini
mengindikasikan bahwa al-Qur’an menekankan betapa pentingnya membaca dalam
upaya mencari dan menguasai ilmu pengetahuan. Ayat lain yang berisi dorongan
untuk menguasai ilmu pengetahuan juga dijelaskan dalam QS. al-Mujadalah ayat 11.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ
فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ
دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
"Hai orang-orang beriman apabila
kamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka lapangkanlah
niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan:
“Berdirilah kamu”, Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang
yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS.
al-Mujadalah : 11)
2. Al – Sunnah
Al-Sunnah secara etimologi adalah jalan
yang ditempuh, sedangkan secara terminologi adalah segala sesuatu yang
bersumber dari Nabi Muhammad Saw baik berupa perbuatan, perkataan atau
pernyataan di dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan hukum syariat.
Adapun Ḥadiṡ menurut bahasa adalah baru (lawan dari lama), sedangkan menurut
istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu ucapan,
perbuatan, atau perkataan (taqrir).
Ḥadiṡ Nabi merupakan sumber ajaran Islam
yang kedua, setelah al-Qur’an. Hal ini dikarenakan ḥadiṡ merupakan penafsiran
Al-Qur’an dalam praktik atau penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal.
Mengingat bahwa pribadi Nabi merupakan perwujudan dari Al-Qur’an yang
ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan
sehari-hari.
Dilihat dari periwayatannya, ḥadiṡ
berbeda dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an semuanya diriwayatkan secara muttawātir,
sehingga tidak diragukan lagi kebenaran atau keṣaḥīhannya. Adapun ḥadiṡ
Nabi, sebagiannya diriwayatkan secara muttawātir dan sebagian lainnya
secara ahād. Dengan demikian, jika dilihat dari periwayatannya ḥadiṡ muttawātir
tidak perlu diteliti lagi karena tidak diragukan kebenarannya, adapun ḥadiṡ ahad,
masih memerlukan penelitian. Dengan penelitian itu, akan diketahui, apakah ḥadiṡ
yang bersangkutan dapat diterima periwayatannya ataukah tidak.
Berikut ini adalah penjelasan mengenai
ucapan, perbuatan, dan perkataan.
Hadits Qauliyah (ucapan)
yaitu hadits-hadits Rasulullah SAW, yang diucapkannya dalam berbagai tujuan dan
persuaian (situasi).
Hadits Fi’liyah yaitu perbuatan-perbuatan
Nabi Muhammad SAW, seperti pekerjaan melakukan shalat lima waktu
dengan tatacaranya dan rukun-rukunnya, pekerjaan menunaikan ibadah hajinya dan
pekerjaannya mengadili dengan satu saksi dan sumpah dari pihak penuduh.
Hadits Taqririyah yaitu
perbuatan sebagian para sahabat Nabi yang telah diikrarkan oleh Nabi SAW, baik
perbuatan itu berbentuk ucapan atau perbuatan, sedangkan ikrar itu adakalanya
dengan cara mendiamkannya, dan atau melahirkan anggapan baik terhadap perbuatan
itu, sehingga dengan adanya ikrar dan persetujuan itu. Bila seseorang melakukan
suatu perbuatan atau mengemukakan suatu ucapan dihadapan Nabi atau pada masa
Nabi, Nabi mengetahui apa yang dilakukan orang itu dan mampu menyanggahnya,
namun Nabi diam dan tidak menyanggahnya, maka hal itu merupakan pengakuan dari
Nabi.
3. Al-Ra’yu
Secara etimologi
kata (ra’yu) berasal
dari bahasa Arab
yang berarti “melihat”. Kata ra’yu
memiliki arti: pengelihatan
dan pandangan dengan
mata atau hati,
segala sesuatu yang
dilihat oleh manusia, jamaknya (al-Ara’).
Secara terminologi, ra’yu yaitu segala sesuatu yang diutamakan manusia
setelah melalui proses berfikir dan merenung.
Ar-Rayu dipakai apabila ada suatu masalah yang
hukumnya tidak terdapat di al-Quran maupun Haditst, maka diperintahkan untuk
berijtihad dengan menggunakan akal pikiran dengan tetap mengacu kepada al-Quran
dan Hadits.
Jika kita berbicara ra'yu
tentunya tidak terlepas dengan kata ijtihad, karena ijtihad merupakan
bentuk dari implementasinya dalam menetapkan hukum. Oleh sebab itu, sangat
logis ketika ulama membahas masalah ra'yu selalu dihubungkan dengan
ijtihad. Dalam terminologi Usul fiqh, ijtihad adalah pencurahan kemampuan
secara maksimal yang dilakukan oleh faqih [mujtahid] untuk mendapatkan zann
[dugaan kuat] tentang hukum syar`i.
BAB
3
PRINSIP AJARAN ISLAM
3.1 Pengertian Prinsip Ajaran Islam
Prinsip adalah asas, dasar, kebenaran yang jadi
pokok dasar orang berpikir dan bertindak. Jadi kalau sumber adalah sesuatu yang
dijadikan tempat pengambilan bahan seperti al-Qur’an, Hadits dan Ra’yu
sedangkan prisip adalah asas atau dasar
yang dijadikan sandaran atau pijakan dalam membangun sesuatu atau untuk
mengembangkan konsep dan teori.
3.2 Macam-macam
Prinsip Ajaran Islam
1. Sesuai dengan
Fithrah Manusia
Fithrah adalah kecenderungan atau perasaan
mengakui adanya kekuasaan yang menguasai dirinya dan alam jagat raya, yang
selanjutnya disebut Tuhan. Dari pengertian ini, maka fithrah sering pula
disebut sebagai perasaan beragama sebagaimana firman Allah Swt:
فاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ
فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِ ذٰلِكَ
الدِّيْنُ الْقَيِّمُۙ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada
agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia
menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama
yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS: Ar-rum (30): 30).
Rasulullah Saw juga bersabda:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى
الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah. Kedua
orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari Muslim). Maka Islam datang untuk melindungi
fithrah tersebut.
2. Keseimbangan
(al-Tawazun)
Pada hakikatnya manusia terdiri dari dua unsur,
yaitu jasmani dan rohani. Jasmani berasal dari tanah yang melambangkan
kerendahan. Adapun rohani berasal dari Tuhan, dan bahkan ia merupakan unsur
ketuhanan (lahut) yang terdapat dalam diri manusia yang melambangkan
ketinggian. Jasmani cenderung kepada hal-hal yang bersifat materi, pragmatis,
sesaat, tujuan jangka pendek, menghalalkan segala cara, dan selanjutnya
melanggar. Adapun rohani cenderung kepada hal-hal yang bersifat immateri,
rohaniah, filosofis, abadi, tujuan jangka panjang, dan selalu berpihak kepada
kebenaran. Ketika jasmani dan rohani
menyatu dalam tubuh manusia, maka timbullah gejala-gejala kejiwaan, baik yang
positif maupun yang negatif. Gejala positif dan negatif ini digambarkan dalam
al-Qurán, dalam ayat berikut:
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا.
فَأَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوَاهَا
"Demi jiwa serta penyempurnaanya
(ciptaannya), maka Allah menghilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya". (QS. Asy-Syams (91): 7-8)
Hidup yang seimbang adalah hidup yang
memerhatikan kepentingan jasmani dan rohani. Prinsip hidup yang seimbang ini
diperintahkan Allah Swt sebagai berikut:
وَابْتَغِ فِيْمَا ءَاتىك الله الدَّرَ
الأَخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ
الله إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الفَسَادَ فِي الأَرْضِ إِنَّ الله لَا يُحِبُّ
المُفْسِدِيْنَ
“Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu
dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain), sebagaimana
Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu buat kerusakan di (muka)
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan,”
(QS. al-Qashash (28): 77)
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ
فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ
كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka
bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung”(QS. Al-Jumu’ah (62): 10)
3. Sesuai dengan Keadaan Zaman
dan Tempat (Shalihun Li Kulli Zaman wa Makan)
Islam sebagai agama yang terakhir, dan tidak
agama setelahnya yang diturunkan Allah swt. Maka dari itu, ajaran Islam yang
bersumber dari al-Qurán dan hadis akan terus berlaku sepanjang zaman dan di
semua tempat.
Untuk mengantisipasi berbagai perkembangan yang
terjadi, maka di dalam al-Qurán terdapat ayat-ayat yang bersifat qath’i (pasti),
yakni ayat-ayat yang pengertiannya sudah jelas, tegas, dan tidak dapat
diartikan dengan arti yang lain. Misalnya, ayat-ayat tentang akidah, akhlak,
ibadah, dan hal-hal yang berkaitan dengan hukum halal dan haram.
Ayat-ayat yang berkaitan dengan kehidupan
masyarakat bersifat dzanni, yakni dapat diinterpretasikan dengan
perkembangan zaman dengan catatan tidak bertentangan dengan kandungan ayat yang
bersifat qath’i. Dengan demikian, walaupun Islam memberikan keleluasaan
kepada manusia untuk menafsirkan ayat-ayat yang bersifat dzanni (tentang
kemasyarakatan), namun kebebasan tersebut tidak bersifat kebebasan mutlak
sebagaimana yang dikenal dalam masyarakat liberal di Barat, melainkan kebebasan
yang tidak keluar dari koridor atau batas-batas sebagaimana yang terdapat dalam
kandungan ayat yang bersifat qath’i.
Abdul Wahab Khlalaf berpendapat bahwa, ayat-ayat hukum yang terkandung
dalam al-Qur’an hanya 5,8 persen dari 6360 ayat al-Qur’an, sebagaimana berikut
ini;
a. Ibadah (shalat,
puasa, haji, dll) sebanyak 140 ayat
b. Hidup Kekeluargaan
(perkawinan, perceraian, hak waris, dsb) sebanyak 70 ayat
c. Perdagangan atau
Perekonomian (jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, gadai, perseroan, kontrak, dsb) sebanyak 70
ayat
d. Kriminal sebanyak 30
ayat
e. Hubungan Islam
dengan selain Islam sebanyak 25 ayat
f. Pengadilan sebanyak
13 ayat
g. Hubungan kaya dan
miskin sebanyak 10 ayat
h. Kenegaraan sebanyak
10 ayat.
Dari 368 ayat ahkam ini, hanya 228 atau 3,5
persen merupakan ayat yang mengurus kehidupan kemasyarakatan umat.
4. Tidak menyusahkan manusia
Ajaran Islam turun dalam rangka meningkatkan
harkat dan martabat, memberi rahmat, mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada
terang benderang, dan dari kebiadaban menjadi beradab. Ajaran Islam juga
memberikan toleransi kepada umatnya dalam hal ibadah, shalat, puasa, dan
makanan. Adanya berbagai kemudahan atau dispensasi tersebut menunjukan bahwa
Islam tidak mempersulit manusia, jikalau itu terjadi maka hal ini bertentangan
dengan tujuan ajaran islam itu sendiri yakni untuk memelihara jiwa, agama,
akal, harta, dan keturunan. Contohnya adalah firman Allah Swt:
وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى
سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗيُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا
يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia
tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu”. (QS. Al-Baqarah (2):185).
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِى ٱلْأَرْضِ فَلَيْسَ
عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُوا۟ مِنَ ٱلصَّلَوٰةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن
يَفْتِنَكُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱلْكَٰفِرِينَ كَانُوا۟ لَكُمْ
عَدُوًّا مُّبِينًا
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka
tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang
orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata
bagimu”. (QS. Surat An-Nisa
Ayat 101)
5. Sesuai Dengan Perkembangan
Ilmu Pengetahuan
Allah Ta’ala berfirman,
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
(1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3)
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5(
“Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang
menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Rabbmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qolam
(pena). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al
‘Alaq: 1-5).
Beramal tanpa ilmu itu tertolak, sebagaimana
disebut di dalam Kitab “Matan Zubad Fi Ilmil Fiqhi Alaa Madzhab Asy Syafi’i”
(Karya Asy Syeikh Ahmad Ibnu Ruslan Asy Syafi’iy Tahun 770H – 844H) ia
mengatakan:
وَكُلُّ مَنْ بِغَيْرِ عِلْمٍ يَعْمَلُ
– أَعْمَالُهُ مَرْدُوْدَةٌ لاَ تُقْبَلُ
“Setiap yang beramal tanpa ilmu maka amalan-amalannya tertolak tidak
diterima.”
Ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang
sangat lah berdampak positif bagi umat manusia, meskipun ada yang yang
berdampak negatif, disini lah peran
agama sebagai pedoman hidup menjadi sangat penting untuk ditengok kembali.
Dalam kajian ilmu Aqidah Islam sebagai dasar
IPTEK. Dijelaskan bahwasanya aqidah Islam harus dijadikan basis segala konsep
dan aplikasi iptek. Dan ini sudah diajarkan oleh rasulullah Saw dalam suatu
peristiwa gerhana matahari yang bertepatan dengan wafatnya putra rasulullah
beliau (Ibrahim). Orang-orang berkata “gerhana matahari ini terjadi karena
meninggalnya Ibrahim” maka rasulullah Saw segera menjelaskan “Sesungguhnya
gerhana matahari dan bulan tidak terjadi karena kematian atau kelahiran
seseorang, akan tetapi keduan nya termasuk tanda-tanda kebesaran Allah
dengannya allah memperingatkan hamba-hambanya.” (HR. Al Bukhari dan
An-Nasa’i).
6. Kesedarajatan
(al-Musawah)
Kesedarajatan dapat
diartikan sebuah pandangan, bahwa manusia dengan berbagai latar belakang
kebangsaan, agama, budaya, Bahasa, adat istiadat, jenis kelamin, warna kulit,
status sosial, ekonomi, pangkat, kedudukan, dan hal-hal lainnya yang bersifat
sementara, pada hakikatnya sama-sama ciptaan Tuhan. Adanya perbedaan tidak
menjadi alasan untuk menganggap orang yang satu lebih tinggi dari yang lain
yang selanjutnya saling menguasai, menjajah, mengeksploitasi, dan lain
sebagainya.
Prinsip kesedrajatan dalam Islam diarahkan pada
upaya pemberian kesempatan yang sama kepada semua orang untuk mengakses
berbagai peluang yang tersedia. Namun pada saat yang sama kepada setiap orang
tersebut diberikan reward dan punishment yang ukurannya bukan
hal-hal yang bersifat sementara, melainkan sesuatu yang bersifat permanen dan
mengandung aspek pendidikan dan pembelajaran.
Prinsip kesederajatan dalam Islam ini sangat
penting dilakukan, sesuai dengan firman Allah sebagai berikut:
يأيُّهَا النّاسُ إِنَّا خَلَقْنَكُم
مِّن ذَكَرٍ وَأُنْثى وَجَعَلْنَكُم شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفوا إِنَّ
أكْرَمَكُم عِندَ اللهِ أَتْقَكُم إِنَّ الله عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ.
“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling bertakwa di antara kamu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal”. (QS. al-Hujurat (49): 13). Rasulullah bersabda:
لَا فضل لِعَرَبِيْ عَلَى أَعْجَمِي
وَلَا أَبْيَض عَلَى أَسْوَد إِلا بِالتَقْوَى
“Seorang Arab tidak dianggap lebih utama atas
orang non-Arab orang berkulit putih atas orang yang berkulit hitam, (tetapi
keutamaan) itu didasarkan pada ketakwaannya.” (HR. Muslim)
7. Keadilan
Keadilan dapat diartikan sebagai sebuah
perlakuan seseorang atas orang lain yang didasarkan atas perasaan memberikan
kesempatan yang sama, seimbang, proposional, sesuai dengan peran, tugas, tanggung jawab, dan prestasi
yang dicapainya.
Prinsip keadilan dalam Islam merupakan perekat,
pemersatu, dan penyeimbang antara berbagai tindakan dan perbuatan yang dilakukan manusia,
yang memungkinkan setiap orang akan dapat menerimanya dengan rasa puas.
Sebaliknya, ketiadaan prinsip keadilan ini merupakan pangkal utama timbulnya
ketidakpuasan yang memicu Tindakan unjuk rasa, demo, dan perlawanan yang
disertai dengan tindakan arnakis.
Berkaitan dengan keadilan ini Allah swt.
berfirman:
إِنَّ الله يَأمُرُ بِالعَدْلِ وَالإِحْسَانِ
وَإِيْتَآئِ ذِى القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الفَحْشَآءِ وَالمًنْكَرِ وَالبَغْي
يَعِظُكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku
adil, berbuat kebajikan memberi (pertolongan) kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang berbuat keji, mungkar, dan zalim. Dia memberi pengajaran kepadamu,
agar kamu mendapat peringatan”.
8. Musyawarah
Kata musyawarah diambil dari bahasa Arab, yaitu
syūra yang diserap ke dalam bahasa Indonesia yang memiliki arti berunding dan
berembuk.
Adapun syūra menurut istilah berarti menyatukan
pendapat yang berbeda-beda berkenaan tentang masalah tertentu dengan cara mengujinya dari
berbagai pendapat hingga sampai kepada pendapat yang paling benar dan paling
baik. Syūra bukan berarti seseorang meminta nasihat kepada orang lain,
melainkan nasihat timbalbalik melalui diskusi.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa musyawarah diambil dari bahasa
Arab, berasal kata syūra yang memiliki makna berunding dan berembuk. Musyawarah
merupakan bentuk dari kedewasaan diri dalam menyelesaikan masalah, karena dalam
musyawarah kita belajar untuk menghargai pendapat orang lain, tidak
mementingkan diri sendiri. Keputusan yang diambil dalam musyawarah atas dasar
kesepakatan bersama, bukan kesepakatan individu atau golongan.
Istilah musyawarah ini sudah ada sejak zaman
Rasulullah SAW, yaitu semenjak beliau hijrah ke Madinah. Sesuai dengan petunjuk
Al-Qur’an, Rasulullah SAW mengembangkan budaya musyawarah di kalangan sahabat.
Musyawarah yang dilakukan oleh Rasulullah tidak terfokus kepada satu pola saja.
Terkadang beliau bermusyawarah dengan para sahabat senior. Kadang beliau hanya
meminta pendapat dari para sahabat. Tak jarang beliau melemparkan
masalah-masalah kepada pertemuan yang lebih besar, khususnya dalam masalah yang
menyangkut orang banyak dan memiliki dampak yang luas bagi masyarakat.
9. Ukhuwah
Ukhuwah Islamiyah berarti “persaudaraan yang
bersifat Islami atau yang diajarkan oleh Islam”. Terdapat empat macam persaudaraan yang
dijelaskan dalam Al-Qur’an yaitu: Ukhuwah Ubudiyah, Ukhuwah Insaniyah
(basyariyah). Ukhuwah wathoniyah Wa Annashab dan Ukhuwah fi din Al-Islam.
Dari beberapa macam Ukhuwah yang dijalaskan terdapat beberapa manfaat
ukhuwah Islamiyah yaitu merasakan lezatnya iman, dan mendapatkan perlindungan Allah di hari kiamat
(termasuk dalam 7 golongan yang dilindungi).
BAB
4
TUJUAN DAN SASARAN AJARAN ISLAM
4.1 Tujuan Ajaran Islam
Islam dibawa oleh Nabi Muhammad SAW bukan hanya
dalam bentuk nilai-nilai yang abstrak, namun juga dituangkan dalam
aturan-aturan yang disebut dengan Syariat Islam. Syariat Islam
adalah tata aturan (hukum-hukum) Allah SWT yang magatur tata hubungan manusia
dengan Allah SWT dan manusia dengan manusia.
Di dalam Al-Quran Allah menyebutkan beberapa
katan syari’ah, di antaranya adalah:
ثُمَّ جَعَلْنَٰكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ
مِّنَ ٱلْأَمْرِ فَٱتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَآءَ ٱلَّذِينَ لَا
يَعْلَمُون
Kemudian Kami jadikan kamu
berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah
syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui.(QS: Al-Jatsiyah: 18).
شَرَعَ لَكُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا
وَصَّىٰ بِهِۦ نُوحًا وَٱلَّذِىٓ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِۦ
إِبْرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰٓ أَنْ أَقِيمُوا ٱلدِّينَ وَلَا
تَتَفَرَّقُوا فِيه
Dia telah mensyari’atkan
bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang
telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim,
Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah
tentangnya.(QS: Asy-Syuura: 13).
Abu Ishaq al-Shatibi
merumuskan lima tujuan (hukum) Islam, yakni:
1. Untuk memeilhara agama (hifdz al-din) Tujuan ini sejalan dengan fitrah keagamaan yang terdapat dalam diri
manusia. Rasulullah saw bersabda : “setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan
membawa fitrah beragama, maka kedua orangtuanyalah yang menjadikan fitrah
keagamaan itu mengambil bentuk Yahudi, Nasrani atau Majusi” (HR. Bukhari dan
Muslim).
2. Untuk memelihara akal (hifdz al-aql). Berkenaan dengan tujuan ini
ajaran Islam melarang seseorang mengkonsumsi makanan dan minuman yang merusak
akal, seperti minuman yang beralkohol, dan berjudi. Untuk ini, ajaran Islam
menganjurkan seseorang agar mengisi akalnya dengan berbagai macam ilmu pengetahuan,
tidak membiarkan dirinya berada dalam kebodohan, dan seterusnya.
3. Untuk memelihara jiwa (hifdz al-nafs). Berkenaan dengan tujuan ini,
ajaran Islam melarang membunuh seseorang tanpa alasan yang dibenarkan syara’. Islam
melarang seseorang membiarkan dirinya jatuh dalam kebinasaan, dan hal-hal lain
yang menjadi penyebabnya, seperti mengkosumsi makanan dan minuman yang
memabukkan dan mematikan, bekerja diluar kemampuan fisiknya, dan membiarkan
penyakit tanpa mau berobat. Di dalam al-qur’an Allah SWT mengingatkan : S.
Al-Baqarah ayat 195 : “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan
janganlah kamu menjatuhkan diri sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat
baiklah, karena sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berbuat baik”.
4. Untuk memelihara harta (hifzl-maal). Berkenaan dengan ini, Islam
memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk memilih cara yag efektif untuk
mendapatkan harta yang dibutuhkan bagi dirinya. Islam juga melindungi yang
berkaitan dengan itu, misalnya melarang orang mencuri harta milik orang lain.
Didalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman S. Al-Maidah ayat 38 :”Laki-laki yang
mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai
pembalasan) bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan
Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana.
5. Untuk menjaga keturunan (hifzl al-nasl). Berkaitan dengan tujuan
ini, maka Islam menganjurkan kepada setiap orang untuk membangun kehidupan
rumah tangga, menjadi pasangan suami istri secara halal, membangun keluarga
yang sakinah, mawaddah wa rahmah yang selanjutnya dapat melahirkan
keturunan yang saleh dan salehah. Untuk mencapai tujuan ini, maka Islam
mengharuskan membangun rumah tangga yang dibentuk melalui sebuah perkawinan
secara Islami, memenuhi syarat dan rukun perkawinan sesuai ajaran Islam.
Kelima tujuan hukum Islam
tersebut di dalam kepustakaan disebut al-maqasid al-khamsah atau al-maqasid
al-shari’ah. Dengan 5 (lima) tujuan ini, maka kemaslahatan kehidupan
manusia terpenuhi.
Macam-macam mashlahah
ditinjau dari segi pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat, yaitu:
1. Al-Dharûriyât; Al-Mashâlih al-Dharûriyah adalah kemaslahatan
yang harus terwujud dalam kehidupan manusia, baik dalam beragama maupun dalam
kehidupan dunia. Apabila
salah satu darinya hilang, maka hancurlah kehidupan dunia, tersebarlah
kejahatan dan hilanglah kenikmatan hidup serta pelakunya akan beroleh iqab di
akhirat kelak. Kemaslahatan ini terkumpul dalam lima hal, yaitu yang
berkaitan dengan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
2. Al-Hâjiyât; Al-Mashâlih
al-hâjiyâh adalah kemaslahatan yang dibutuhkan manusia untuk
meringankan beban dan menghilangkan kesulitan. Apabila hal ini kurang atau
tidak ada, dapat memberatkan manusia dalam kehidupannya, tetapi tidak sampai
menghancurkan tatanan hidup masyarakat. Sebagai contoh adalah dalam masalah
ibadah, di mana Allah memberikan keringanan menjamak dan mengqashar shalat bagi
orang yang sedang dalam perjalanan, membolehkan berbuka puasa bagi orang yang
sedang sakit atau musafir dan lain-lain sebagainya.
3. Al-Tahsîniyât; Mashlahah ini adalah kemaslahatan yang
dipergunakan untuk menjaga muru’ah dan harga diri, yaitu untuk menjaga
kebiasaan yang baik di tengah-tengah kehidupan masyarakat dan untuk menciptakan
akhlaqul karimah. Apabila mashlahah ini hilang atau berkurang maka hal
itu tidaklah sampai menyebabkan rusaknya tatanan hidup bermasyarakat atau
membawa kesusahan bagi masyarakat, namun hal itu dapat menyebabkan terjadinya
pola hidup yang kotor dan tidak bermoral dalam pandangan akal manusia.
4.2 Sasaran Ajaran Islam
Sasaran ajaran Islam sudah
jelas diperuntukkan selurah umat manusia, karena Nabi Muhammad diutus bukan
untuk kaum arab saja melainkan seluruh umat di muka bumi, sebagai rahmat
seluruh alam.
BAB
5
Pokok-pokok Ajaran Islam
5.1 Ajaran Tentang
Ibadah
Kata ibadah berasal dari kata ‘abada yang
berarti patuh, tunduk, mengabdi, menyembah, merendahkan diri dihadapan Allah
SWT. Secara istilah ibadah berarti ketaatan kepada Allah, tunduk atas segala
perintah-Nya, dan pengabdian diri kepada Allah SWT.
Ibadah merupakan dimensi exoteric (luar)
dari ajaran Islam. Adapun keimanan merupakan dimensi esoteric (dalam)
dari ajaran Islam. Namun demikian, antara keimanan dan ibadah ini saling
mengisi. Keimanan merupakan jiwa, spirit, atau rohnya. Adapun ibadah merupakan
raga atau fisiknya.
Dalam Islam pokok-pokok ibadah terumuskan
dalam rukun Islam, sebagaimana terlukis pada hadits berikut: Islam dibangun
atas lima pekara. (1) Persaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad
Rasul Allah, (2) mendirikan shalat, (3) mengeluarkan zakat, (4) melaksanakan
ibadah haji, dan (5) berpuasa Ramadhan”. (HR Bukhari dan Muslim).
Ibadah tidak hanya sebatas dalam menjalankan
rukun Islam, tetapi ibadah juga berlaku pada semua aktivitas duniawi yang
didasari rasa ikhlas. Oleh karena itu ibadah terdapat dua klasifikasi yaitu
khusus (berkaitan dengan arkan al-Islam, seperti syahadat, shalat, zakat,
puasa, haji) dan umum (segala aktivitas yang titik tolaknya ikhlas yang
ditunjukkan untuk mencapai ridha Allah SWT berupa amal saleh).
Dalil naqli yang berkaitan dengan ibadah salah
satunya terdapat dalam surat Adz-Dzariyat ayat 56 – 57 yang artinya, ”Dan tidaklah
aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku Aku tidak
menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan tidak menghendaki supaya meraka
memberi aku makanan.”
5.2 Ajaran tentang Iman
Iman berasal dari bahasa Arab, yaitu diambil
dari kata kerja 'aamana'-yukminu'-iimanan yang berarti 'percaya' atau
'membenarkan'. Secara istilah, Iman adalah: “Membenarkan dengan hati,
mengikrarkan dengan lisan, mengamalkan dengan perbuatan”.
Iman atau kepercayaan juga disebut dengan
‘aqidah, berasal dari kata aqada, yu’qidu, aqdan, aqidatan yang berarti
ikatan, perjanjian, dan kokoh. ‘Aqidah merupakan hal yang dituntut pertama-tama
dan terdahulu dari segala sesuatu untuk dipercayai dengan suatu keimanan yang
tidak boleh dicampuri oleh keragu-raguan dan dipengaruhi oleh persangkaan.
Selain itu, dilihat dari objek yang diimaninya, yaitu hanya Allah SWT semata,
maka keimanan tersebut dinamakan tauhid. Istilah tauhid berasal dari bahasa
Arab, yang berarti mengesakan, yakni mengesakan Allah atau pengakuan bahwa di
alam semesta ini tiada Tuhan selain Allah.
Aqidah adalah ma ‘uqida ‘alayh al-qalb wa
al-dhami yang artinya sesuatu yang mengikat hati dan perasaan. Dari
etimologi diatas bisa diketahui bahwa yang di maksud dengan “akidah” ialah
keyakinan atau keimanan; dan hal itu diistilahkan sebagai akidah karena ia
mengikatkan hati seseorang kepada sesuatu yang di yakini atau di imaninya dan
ikatan tersebut tidak boleh di lepaskan selama hidupnya. Inilah makna asal
“akidah” yang merupakan derivasi dari kata ‘aqada-ya’qidu-‘aqdan yang
artinya mengikat.
Dalam ajaran islam, akidah merupakan landasan
atau akar sedangkan syari’ah merupakan batang, cabang-cabangnya. Hal itu
berimplikasi bahwa syari’ah tidak bisa berdiri sendiri atau tumbuh tanpa akar
yang berupa akidah. Dan syari’ah tanpa akidah bagaikan bangunan yang melayang
karena tidak ada pondasinya. Namun demikian, islam menyatakan bahwa hubungan
antara keduanya merupakan suatu keniscayaan, yang artinya bahwa antara akidah
dan syari’ah tidak bisa berdiri sendiri-sendiri. Jadi, ajaran islam terdiri dari
dua pokok, yakni: akidah/iman yaitu: mengatur hubungan manusia dengan sesamanya
dan aktifitasnya dalam masyarakat yang disebut “mu’amalah”.
Ruang Lingkup pembahasan tentang keimanan;
a. Ilahiah, yaitu pembahasan tentang sesuatu yang
berhubungan dengan ilah (Tuhan) seperti wujud Allah Swt., nama-nama Allah Swt.,
dan sifat-sifat Allah Swt., dan lain-lain.
b. Nubuwah, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu
yang berhubungan dengan nabi dan rasul termasuk pembicaraan mengenai
kitab-kitab Allah Swt., mukjizat dan sebagainya.
c. Ruhaniah, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu
yang berhubungan dengan alam metafisik, seperti malaikat, jin, iblis, setan dan
roh.
d. Sam’iyah, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu
yang hanya bisa diketahui melalui sam’i yakni dalil naqli berupa alquran dan
as-Sunnah, seperti alam barzakh, akhirat, azab kubur, dan sebagainya.
Kalau kita berbicara tentang akidah maka yang
menjadi topik pembicaraan adalah masalah keimanan yang berkaitan dengan
rukun-rukun iman dan peranannya dalam kehidupan beragama. Rukun iman yang
berupa keimanan kepada Allah dan sifat-sifat-Nya, para rasul-Nya, para
malaikat, kitab-kitab yang diturunkan kepada Rasul-rasul-Nya, hari akhir dan
qadha’ serta qadar, bisa ditemukan dalam beberapa ayat al-Qur’an dan hadist
Nabi SAW. Seperti yang terdapat dalam Q.S. Al-baqarah:285, Q.S. Al-baqarah:177,
Q.S. Al- Qamar:49.
Adapun pengaruh rukun iman dalam kehidupan
sebagai berikut:
a. Iman kepada Allah:
Keyakinan atau kepercayaan tentang adanya Allah sebagai Maha Pencipta, Maha
Pemberi Rezeki, Maha Pemelihara, Maha Pelindung, Maha Pengasih dan Maha
Penyayang, Maha gagah Perkasa, Maha Kaya, Maha Agung dan segala sifat agung.
b. Iman kepada
Malaikat: Senantiasa patuh dan tunduk terhadap segala perintah-Nya dan tidak
pernah durhaka kepada-Nya serta setia melaksanakan tugas-tugas yang spesifik
dari malaikat.
c. Iman kepada
Kitab-kitab Allah: Kitab-kitab tersebut benar-benar firman Allah dan
mengamalkan ajaran-Nya.
d. Iman kepada Para
Nabi dan Rosul: Menerima dan mematuhi segala ajarannya dan meneladani
akhlaknya. Memberi keyakinan pada umat muslim bahwa semua nabi dan rosul
mempunyai misi suci yang sama, yakni mengajak manusia untuk beriman dan
beribadah hanya semata-mata kepada Allah agar mendapat Ridho-Nya. Dan bahwa
Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir yang diberi tugas menyampaikan ajaran agama
yang paling lengkap untuk dijadikan way of life bagi seluruh umat
manusia.
e. Iman kepada Hari
Kiamat: Manusia akan senantiasa menjaga diri untuk selalu ta’at kepada Allah,
mengharapkan pahala dihari kemudian, dan menjauhi larangan karena takut akan
siksaan kelak dkemudian hari.
f. Iman kepada Qodho’
dan Qodar: dapat mendorong seseorang untuk bersikap berani dalam menegakkan
keadilan dan kebenaran, dalam meninggikan kalimat Allah. Ia tidak takut
menghadapi resiko dan bahaya yang mengancamnya, sebab ia yakin bahwa kematian,
rizki, nasib, dan sebagianya semuanya berada ditangan Allah.
5.3 Ajaran tentang Ihsan
Kata ihsan berasal dari bahasa Arab, yaitu ‘hasana-yuhsinu-husnaan’
yang berarti baik, bagus. Selain itu ihsan juga berarti beneficence (kemurahan
hati, derma). Di dalam hadis, ihsan dinyatakan sebagai berikut:
أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ
تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Engkau beribadah kepada Allah, seolah-olah
engkau melihat Allah, dan jika kamu tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya
Allah melihat engkau.” (HR. al-Bukhari).
Ihsan dapat diartikan melakukan berbagai amal
kebaikan kemanusiaan yang didasarkan atas ibadah semata-mata karena Allah SWT.
Ihsan dalam arti yang demikian itu pada hakikatnya dekat dengan akhlak
al-karimah. Kata ‘akhlak’ berasal dari bahasa arab, merupakan bentuk jamak dari
‘khuluq’ yang menurut bahasa berarti budi pekerti, perangai, tingkah
laku, atau tabiat. Akhlak al-karimah berarti sifat-sifat terpuji yang sudah
tertanam dalam jiwa yang dengannya, maka lahirlah macam-macam perbuatan, baik
atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan lagi.
Suatu perbuatan dapat dikatakan berakhlak jika
memiliki lima ciri sebagai berikut:
a. Perbuatan akhlak
adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah
melekat menjadi kepribadian dan karakternya.
b. Perbuatan akhlak
adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran lagi. Hal ini
terjadi karena perbuatan tersebut telah melekat dalam jiwa dan kepribadiannya,
sehingga dengan mudah dapat dilakukan.
c. Perbuatan akhlak
adalah perbuatan yang timbul atas kemauan sendiri dari orang yang
mengerjakannya, tanpa ada tekanan atau paksaan dari luar.
d. Perbuatan akhlak
adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau
berpura-pura.
e. Perbuatan akhlak
adalah perbuatan yang dilakukan karena semata-mata atas panggilan Allah SWT.
BAB
6
ILMU FIQIH
6.1 Pengertian Ilmu Fiqih
Fiqh berasal dari bahasa Arab faqiha,
yafqahu fiqhan. Menurut arti harfiah, fiqh berarti pintar, cerdas, paham. Bila dijadikan
kata kerja, maka ia berarti memikirkan, mempelajari, memahami. Orangnya
dinamakan faqih, dan kalau banyak (jamak) disebut fuqaha.
Kata fiqh dan tafaquh, yang
keduanya berarti “pemahaman yang mendalam” sudah kerap digunakan dalam
al-Qur’an dan hadis. Dalam al-Qur’an Allah swt. berfirman:
وَمَا كَانَ المُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا
كَآفَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ
لِّيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّيْنِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا
إِلَيْهِم لَعَلَّهُم يَحْذَرُونَ.
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan
perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka (tafaqquh) tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya,
supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS. at-Taibah (9): 122)”
Dalam hadis terdapat dalam doa yang disampaikan
oleh Nabi Muhammad saw. kepada sahabatnya Ibn ‘Abbas:
اَللهُم فَقِهْهُ فِي الديْن وَعَلمْهُ
التأْوِيْل
“Ya Allah berikanlah kepadanya (Ibn ‘Abbas)
kemampuan yang mendalam (tentang agama), dan ajarkan kepadanya kemampuan
al-ta’wil (berpikir metaforis). (HR. al-Bukhari dan Muslim)”
Adapun pengertian fiqh menurut istilah adalah:
العِلْمُ بِالأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ
العَمَلِيَّةِ المُكْتَسَبُ مِنْ أَدِلّتِهَا التَفْصِيْلِيَّةِ
“Ilmu mengenai hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis, yang diambil
dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci”.
6.2 Pengertian Ushul Fiqih
Ushul fiqh adalah tarkib idhafi (kalimat
majemuk) yang telah menjadi nama bagi suatu disiplin ilmu tertentu. Jika
ditinjau dari segi etimologi, ushul fiqh terdiri dari mudhaf dan mudhaf
ilaih. Menurut aslinya kalimat tersebut bukan merupakan nama dari bagi
suatu disiplin ilmu tertentu, tetapi masing-masing dari mudhaf dan mudhaf
ilaih mempunyai pengertian sendiri-sendiri. Untuk itu, sebelum memberikan
definisi ushul fiqh, terlebih dahulu kita harus mengetahui pengertian “ushul”
(yang menjadi mudhaf) dan lafazh “fiqh” (yang menjadi mudhaf ilaih).
Pengertian fiqh sudah kita bahas sebelumnya.
Untuk itu kita langsung membahas pengertian dari kata “ushul”. Kata ushul
merupakan bentuk jamak dari kata áshl mempunyai arti dasar (fundamen)
yang di atasnya dibangun sesuatu, pengertian ini sama dengan pengertian ushul secara terminology,
karena ushul fiqh menurut terminologi adalah dasar yang dijadikan pijakan oleh
ilmu fiqh.
Ushul fiqh adalah kaidah-kaidah yang
menjelaskan tentang cara (metode) pengambilan (penggalian) hukum-hukum yang
berkaitan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalil syarí. Sebagai contoh, ushul fiqh menetapkan, bahwa
perintah (amar) itu menunjukan hukum wajib, dan larangan (nahi)
menunjukkan hukum haram.
Jika seorang ahli fiqh akan menetapkan hukumnya
shalat, apakah wajib atau tidak, maka ia mengemukakan firman Allah di dalam
sura ar-Rum 31, al-Mujadalah 13, dan al-Muzammil 20 yang berbunyi:
وَأَقِيْمُوا الصَّلَاةَ
“Dirikanlah shalat”
Demikian juga jika ingin mengetahui hukumnya
meminum khamar (minuman yang memabukkan), maka ia akan mengemukakan firman Allah yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ
عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.
“Wahai orang-orang yang beriman!
Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi
nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan.
Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung”. (QS. Al-Maidah:
90)
Dari contoh tersebut, jelaslah perbedaan
antara fiqh dan ushul fiqh, bahwa ushul fiqh merupakan metode (cara) yang harus
ditempuh oleh ahli fiqh (faqih) di dalam menetapkan hukum-hukum syara’
bedasarkan dalil-dalil syarí, serta mengklasifikasikan dalil tersebut
berdasarkan kualitasnya. Dalil dari al-Qurán harus didahulukan dari pada qiyas
serta dalil-dalil yang tidak berdasarkan nash al-Qurán dan hadis. Sedangkan
fiqh adalah hasil hukum-hukum syarí berdasarkan metode-metode tersebut.
6.3 Objek Pembahasan Fiqih
Objek kajian fiqh adalah segala hal terkait
perbuatan seseorang yang telah mukalaf. Misalnya bagaimana ketentuan hukum
seorang mukalaf dalam muamalah seperti jual beli, sewa menyewa, pegadaian, pembunuhan,
tuduhan/menuduh orang lain berzina, pencurian, wakaf, dan lain sebagainya.
Termasuk juga ketentuan-ketentuan ibadah seperti shalat, puasa, haji, dan
zakat.
Di dalam fiqh terdapat ketentuan hukum,
seperti wajib (ijab: perintah), mandub (nadb:
anjuran), haram (tahrim: larangan), makruh (karahah:
dibenci), dan mubah (ibahah: boleh), atau menurut golongan
Hanafiyah: fardlu, wajib, tahrim. Karahah tahrim, nadb, dan mubah
mengenai berbagai kegiatan manusia sebagaimana disebutkan sebelumnya. Ketentuan
fiqh tersebut diproses melalui ijtihad dengan menggunakan bantuan berbagai ilmu
sebagai berikut:
a.
Bahasa Arab (Ilmu nahwu, tashrif, semantik,
dan balaghah)
b.
Logika
c.
Kajian Hadis
d.
Kajian Perawi
e.
Ushul Fiqh
f.
Ilmu Qawaid Fiqhiyah dan ilmu-ilmu bantu
lainnya (ekonomi, politik, sosial, komunikasi, dan lain sebagainya.
6.4 Objek Pembahasan Ushul
Fiqih
Objek pembahasan ushul fiqh adalah mengenai
metodelogi penetapan hukum-hukum fiqh. Di dalam ushul fiqh dan fiqh sama-sama
membahas dalil-dalil syara’akan tetapi tinjauannya berbeda. Fiqh membahas
dalil-dalil tersebut untuk menetapkan hukum-hukum cabang yang berhubungan
dengan perbuatan manusia. Sedangkan ushul fiqh meninjau dari segi metode
penetapan hukum, klasifikasi argumentasi serta situasi dan kondisi yang
melatarbelakangi dalil-dalil tersebut.
6.5. Pertumbuhan dan perkembangan Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih
1.
Zaman Nabi SAW
Pada periode nabi Muhammad saw., sumber hukum
Islam yang utama yakni al-Qurán, masih dalam proses turun yang memakan waktu
kurang lebih 23 tahun, tidak sekaligus, dan dengan cara yang berangsur-angsur,
yakni mulai di Mekkah hingga ke Madinah. Berdasarkan wahyu yang diturunkan
itulah, Nabi Muhammad saw. menyelesaikan persoalan hukum dalam masyarakat yang
cara penyelesaiannya belum terdapat di dalam al-Qurán. Dalam keadaan demikian,
maka Nabi Muhammad saw. menyelesaikannya dengan memakai ijtihad atau pendapat
yang dihasilkan pemikiran mendalam. Jika hasil ijtihad nabi itu benar, maka
tifdak lagi mendapat tentangan dengan turunnya wahyu untuk memperbaikinya. Namun jika
hasil ijtihadnya tidak benar, ayat turun untuk menjelaskan hukum yang
sebenarnya. Sehubungan dengan itu, maka ijtihad nabi dipandang mendapat
lindungan dari Tuhan dan tidak bisa salah (al-ma’shum). Ijtihad yang
dibuat nabi, diturunkan kepada generasi selanjutnya melalui sunah. Dengan demikian, sumber hukum yang
terdapat pada zaman nabi adalah al-Qurán dan sunah nabi.
2.
Zaman Khulafaur Rasyidin atau Sahabat
Pada periode sahabat, persoalan hukum yang
harus diselesaikan makin luas dan berkembang, dan lebih sulit menyelesaikannya
dibandingkan dengan persoalan hukum yang timbul di Semenanjung Arab sendiri.
Hal ini terjadi, karena pada periode ini daerah yang dikuasai Islam makin
bertambah luas dan termasuk ke dalamnya daerah-daerah di luar Semenanjung
Arabia yang telah mempunyai kebudayaan yang tinggi dan susunan masyarakat yang
bukan sederhana, disbandingkan dengan masyarakat Arabia ketia itu.
Guna permasalahan tersebut, para sahabat
menggunakan al-Qurán dan al-Sunah sebagai rujukan utama. Untuk kembali ke
al-Qurán tidak mengalami masalah, karena al-Qurán sudah ditulis serta dihafal
oleh para sahabat. Tetapi untuk kembali kepada al-Sunah tidaklah mudah. Hal
yang demikian disebabkan, karena al-Sunah tidak dihafal dan belum dibukukan
ketika itu. Di sini timbulah keadaan terpaksa mencari hadis, yang selanjutnya
membawa kepada timbulnya hadis-hadis yang diragukan berasal dari Nabi saw.,
atau yang selanjutnya dikenal sebagai hadis buatan.
Persoalan lainnya adalah, bahwa ayat-ayat
al-Qurán yang berkaitan dengan hukum jumlahnya hanya sedikit, yakni 368 ayat
atau ekitar 3,5%, dan karenanya tidak semua persoalan hukum dapat dikembalikan
kepada al-Qurán atau al-Sunah. Untuk menyelesaikan persoalan yang tidak
dijumpai dalam kedua sumber ini, maka khalifah dan para sahabat mengadakan
ijtihad pula. Namun kareana turunnya wahyu sudah terhenti, dan mereka tidak
tahu lagi apakah hasil ijtihadnya benar atau salah, maka untuk menguatakan
hasil ijtihadnya itu dipakailah ijma’, atau consensus sahabat. Dalam
kaitan ini, khalifah tidak memutuskan ketentuan hukum sendiri, tetapi terlebih
dahulu bertanya kepada sahabat-sahabat lain. Putusan yang diambil dengan suara
bulat (consensus) dipandang lebih kuat daripada putusan yang dibuat oleh
satu atau beberapa orang saja. Jika pada zaman Abu Bakar, consensus masih dapat
diadakan, karena tempat tinggal mereka masih berdekatan, tetapi mulai zaman
Umar penyelenggaraan consensus sudah sangat sulit, karena para sahabat sudah
tersebar di berbagai daerah yang letaknya berjauhan, seperti Mesir, Suria,
Irak, dan Persia. Namun demikian, karena para sahabat masih mempunyai wibawa
yang besar sebagai akibat dari
kedekatan mereka dengan Nabi Muhammad saw., maka ijtihad mereka dapat diterima umat. Dengan demikian,
sumber hukum pada zaman sahabat menjadi tiga, yaitu al-Qurán, al-Sunah dan para
sahabat.
Para ahli fiqh dari kalangan sahabat ini antara
lain Umar Ibn Khattab, Ali Ibn Abi Thalib, Zaid Ibn Tsabit, dan Abdullah Ibn
Umar di Madinah; Abdullah Ibn Abbas di Mekah; Abdullah Ibn Masúd di Kufah, Anas
bin Malik di Basrah, Muáz bin Jabal di Suria, dan Abdullah Ibn Ámr al-Al-Áas di
Mesir.
Para sahabat itu selanjutnya memiliki
murid-murid dari kalangan tabiín, dan seterusnya tabiín ini juga
mempunyai murid-murid pula. Di Madinah, pemuka-pemuka dari golongan tabiín yang
terkenal ialah fuqaha (ahli hukum) yang tujuh, seperti Saíd Ibn Musayyab, Úrwah Ibn al-Zubair, dan
Qasim Ibn Muhammad. Di antara murid-murid tabiín ini dikenal Muhammad Ibn
Sayyab al-Zuhri dan Yahya Ibn Saád. Pengikut yang termasyhur dari murid-murid tabiín
ini adalah Malik Ibn Anas, pendiri dari mazhab Maliki yang ada sekarang.
3.
Periode Umayyah dan Abbasiyah
Pada Periode ini, yang disebut juga sebagai
periode ijtihad, persoalan hukum semakin bertambah kompleks dan luas. Hal ini
disebabkan wilayah islam yang semakin luas hingga ke afrika, spanyol, asia
tenggara dan lain-lain, juga karena perkembangan ilmu agama, umum kebudayaan,
dan peradaban makin berkembang pula. Pada masa ini kegiatan pengumpulan, penyeleksian
pembuatan hadis palsu, dan pembukuan hadis makin berkembang. Demikian pula
dibidang bahasa arab, ilmu al-qur’an, ilmu hadis sebagaimana telah dikemukan
juga semakin berkembang.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan perkembangan
tradisi macam adat istiadat, sistem sosial sangat mempengaruhi perkembangan hukum dalam islam,
sehingga untuk mengatasi keadaan ini para ulama semakin meningkatkan
ijtihad-nya dengan bedasarkan pada Al-Qur’an, sunah nabi, dan sunah sahabat.
Pada periode ini lahirlah para ahli hukum yang
selanjutnya dikenal sebagai imam atau faqih dalam islam. Pada waktu itu dimekah
yang terkenal dengan ikrimah dan mujtahid yang memiliki murid (sufyan ibn
Uyaynah dan Muslim ibn Khalid, yang mana imam syafi’I pernah belajar kepada
mereka sewatu di Mekah,
kemudian di Kufah terdapat pemuka hukum islam
dari golongan tabi’in yang terkenal Alqomah ibn Qois dan Al Qodi Syuraih dan
murid meraka yang termasyur adalah abu Hanifah pendiri madzah hanafiah, pernah
belajar pada hammad ibn Abi Sualiman, Murid Al Nakha’i.
Di Mesir dikenal yazid ibn Habib dari golongan
tabi’in dan diantara muridnya adalah al-Laits ibn Sa’ad, Syaf’i pergi kemesir karena disana terdapat
ulama seperti al-Laits dan lain-lain.
Dari uraian diatas terlihat asal usul tiga dari
empat mazhab fiqih yang dikenal sekarang yakni Syafi’I, Hanafi, Maliki, dan Hambali yang di dirikan
oleh imam Ahmad ibn Hambal, mereka semua ini lahir pada periode ijtihad.
Sementara itu Malik bin anas yang tinggal di
madinah lebih banyak memakai sunah dan dengan demikian sanggup menyelesaikan
problema-problema yang timbul dalam masyarakat yang masih bersifat sederhana.
Hal ini berbeda dengan kufah yang tidak banyak menjumpai hadis.
Dari perbedaan diatas maka sumber hukum yang
digunakan untuk memproduk hukum mengalami perbedaan. Untuk yang menyelesaikan
kasus hukum abu Hanifah lebih banyak menggunakan pendpat (ra’yu, qiyas,
serta istihsan) karena sifat kehati-hatian nya terhadap penggunaan al-Sunah sebagai sumber hukum.
Malik ibn anas lahir pada tahun 713 M dan
berasal dari yaman, ia tidak pernah meniggalkan kota kecuali untuk melaksanakan
haji ke mekah. Ia wafat pada tahun 795 M.
Dalam melahirkan produk hukum, malik banyak
berpegang teguh pada sunah nabi dan sunah sahabat yang menurutnya bahwa dengan
sunah ia dapat berpegang teguh dengan Al-Quran dan hadis, jika tidak ditemukan
didalam nya maka ia akan menggunakan qiyas dan masalih al mursalah (al-quran,
sunah, tradisi).
Kemudian imam Al Syafi’I (Muhammad ibn Idris al
syafii Lahir di gaza pada tahun 767 M dari bangsa Quraisy yang pernah belajar
kepada Malik bin Anas. Yang mana al Syafi’i melahir kan dua mazhab yaitu qoulu qodim
(bagdhad) dan qoulu jadid (Mesir). Imam syafii dalam menetapkna suatu hukum dengan sumber
hukum Al-quran dan hadis, ijma, Qiyas atau analogi.
Kemudian imam Ahmad ibn Hambal lahir di Baghdad tahun 780 M dan berasal dari keturunan arab. Kemudian belajar
hadis yang diantara gurunya ialah Abu yusuf dan al Syafi’i. hingga ia sendiri
menjadi guru yang masyhur. Sumber hukum yang dibangun bedasarkan Al-Quran, sunah, pendapat
sahabat yang tidak ada pertentangan dengan sahabat lain dan qiyas. Hingga
mazhab ini digunakan di semenanjung arab hingga turki. Selain 4 mazhab tersebut dikalangan suni
sesungguhnya terdapat mazhab lain yakni sufyan al sauri, syuraih al-Nakha’i.
Faktor-faktor penyebab lahirnya mazhab yaitu:
a. Kesungguhan para
ulama dalam menjawab berbagai masalah yang timbul di tempat mereka berada;
b. Adanya perbedaan
latar Belakang kecakapan intelektual, kecenderungan kepribadian dan aliran yang dianut seorang muslim;
c. Perbedaan kondisi
sosial, politik kecenderungan pribadi, dan aliran yang pada suatu daerah yang
mana imam mazhab tersebut berbeda;
d. Terbukanya pintu Ijtihad;
e. Tidak ada larangan
bagi murid untuk memiliki
pandangan yang berbeda terhadap gurunya;
f. Sikap saling
menghargai pendapat.
4.
Periode Taqlid atau Penutupan Pintu Ijtihad
Periode ini dimulai sejak abad ke-4 H
(ke-11 M), pada masa ini, mazhab yang empat telah memiliki kedudukan yang
stabil dalam masyarakat, dan perhatian bukan lagi ditujukan kepada hukum asal,
melainkan buku-buku fikih yang ditulis oleh ulama fikih tersebut yang merujuk
kepada hukum asal yakni Al-Qur’an, hadis, dan Ra’yu.
Pada masa terakhir dari kekuasaan daulah
Abbasiyah perkembangan ilmu fikih mulai terhenti. Ulama-ulama pada waktu itu
sudah merasa cukup dengan pengumpulan karya-karya mazhab saja dan
mereka membatasi diri mereka dalam ijtihad hanya dalam masalah furu’.
Setelah jatuhnya negri Baghdad pada pertengan abad ke 7H/13M ulama-ulama fikih
mazhab sunni sepakat untuk menutup ijtihad, atas pertimbaangan hanya karena
rasa kekhawatiran tumbuhnya perselisihan-perselisihan pendapat saja. Mereka
merasa puas dengan ijtihad 4 mazhab tersebut.
Kemudian peradaban bangsa Arab mulai mundur
dan berangsur-angsur mengalami kemunduran dalam segala bidang. Pada masa itu
ulama-ulama tersebut belum mencapai derajat mujtahid, sehingga jika pintu
ijtihad dibuka maka akan timbul kekacauan dalam bidang hukum dalan dalam
masyarakat, dan masyarakat tidak boleh lagi ber-istinbat langsung kepada
Al-Quran, Sunnah dan memberi fatwa, disinilah timbul faham dan sifat taqlid
yang mengikuti pendapat-pendapat ulama sebelumnya yang masih terasa
hingga saat ini.
5.
Zaman Kebangkitan
Pada abad ke-14 M, terdapat sejumlah ulama
yang menyerukan untuk berijtihad dan tidak bertaqlid. Gerakan pembuka ijtihad
ini dilakukan oleh dunia Islam yang bersentuhan dengan peradaban modern yang dibawa para
penjajah barat.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut dapat
diketahui bahwa ilmu fiqih dan ushul fiqih adalah hasil ijtihad para ulama dalam rangka
melahirkan fikih yang mampu menjawab permasalahan-permasalahan yang dihadapi
masyarakat
6.6 Penerapan Hukum Islam
di Indonesia
Realitas masyarakat Indonesia, mayoritas
adalah umat Islam. Mereka telah membangun republik ini melalui perjuangan
politik di berbagai forum. upaya perjuangan umat Islam bangsa Indonesia dapat
digambarkan sebagai berikut:
Pertama, pada zaman penjajahan
belanda penerapan hukum Islam belum berhasil, karena C. Snouch Hurgronje selaku
penasihat pemerintah belanda, memandang bahwa hukum yang hidup dan berlaku di
dalam masyarakat Indonesia adalah hukum adat.
Kedua, pada masa pemerintahan
orde lama yakni setelah pemilu 1955, partai masyumi yang menjadi ujung tombak
dalam upaya penerapan syari’at Islam juga mengalami kegagalan.
Ketiga, pada zaman orde baru,
sejarah mencatat, walaupun keberhasilan soeharto mendapat dukungan dari umat
Islam, namun pemerintah yang memiliki kekuasaan, setelah enam belas tahun
kekuasaan soeharto penguasa orde baru baru menunjukkan sikap akomodatif
terhadap Islam sebagai terlihat ada lahirnya UU Nomor 02 Tahun 1989 tentang
Pendidikan Nasional yang mewajibkan penyelennggaraan Pendidikan untuk
memberikan pelajaran agama sesuai agaa yang dianut
Keempat, pada masa reformasi,
tahun 1998, ditandai dengan adanya demokrasi yang makin luas. Era ini
dimanfaatkan oleh umat Islam dengan sebaik-baiknya dengan melahirkan
undang-undang tentang zakat, penerapan Syariah dan kompilasi hukum Islam
lainnya. Oleh karena itu penerapan hukum Islam di Indonesia saat ini telah di
terapkan dengan menggunakan hukum Islam kontemporer dengan penyesuaian hukum
yang telah diterapkan dalam undang-undang dasar 1945.
BAB
7
ILMU KALAM
7.1 Pengertian dan Tujuan Ilmu Kalam
Ilmu kalam adalah ilmu
yang membicarakan tentang wujudnya Tuhan (Allah), sifat-sifat yang mesti ada
pada-Nya, sifat-sifat yang tidak boleh ada pada-Nya dan sifat-sifat yang
mungkin ada pada-Nya, serta membicarakan tentang rasul-rasul Tuhan, untuk
menetapkan kerasulannya dan mengetahui sifat-sifat yang mesti ada padanya,
sifat-sifat yang tidak boleh ada padanya, dan sifat-sifat yang mungkin ada
padanya.
Arti perkataan al kalam ialah kata-kata yang
tersusun yang menunjukkan suatu maksud. Kemudian al kalam dipakai untuk
menunjukkan salah satu sifat Tuhan, yaitu sifat berbicara (firman Allah)
sebagaimana terdapat pada ayat sebagai berikut:
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ
مَأْمَنَهُ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْلَمُونَ
Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin
itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat
mendengar kalamullah (firman Allah), kemudian antarkanlah ia ke tempat yang
aman baginya. Demikianlah itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.
(QS. At Taubah:6).
Hal-hal yang menjadi bahan perdebatan dalam
ilmu kalam ini termasuk tentang hakikat seorang muslim, tentang barunya alam,
sifat-sifat yang baik bagi Allah, berbagai argumen yang berkaitan sifat-sifat ma’nawiyah,
makna asma Allah Ta’ala, kebolehan melihat Allah di akhirat, penciptaan amal,
kesanggupan manusia, keadilan Tuhan, pahala dan siksa serta dihapuskannya amal,
bertambah dan berkurangnya iman, serta hal-hal yang berkaitan dengan tobat.
Dikalangan para ulama terdapat perbedaan
pendapat berkaitan dengan mempelajari dan mengajarkan dan menyusun ilmu kalam.
Sebagian berpendapat, bahwa mempelajari, mengajarkan dan menyusun ilmu kalam
itu dibolehkan, dan inilah pendapat yang umumnya terdapat di kalangan Ahl
Al-Sunah, yaitu pendapat semua pengikut Al-Asy’ari dan mu’tazilah. Sebagian
kecil ada ulama yang tidak membolehkan mempelajari, mengajarkan, dan menyusun
ilmu kalam tersebut, dan inilah pendapat yang umumnya dianut kalangan
muhadditsin.
Dilihat dari segi kandungan, peran dan
fungsinya, ilmu kalam ini juga dinamakan ilmu tauhid, yaitu ilmu yang
mempelajari tentang kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, tidak
menyekutukan-Nya, dengan tujuan menetapkan keesaan Allah dalam zat dan perbuatan-Nya
dalam menjadikan alam semesta dan hanya Ialah yang menjadi tempat tujuan
terakhir alam ini.
7.2 Latar Belakang Lahirnya Ilmu Kalam
Terdapat sejumlah teori yang digunakan para
ahli untuk menjelaskan latar belakang lahirnya ilmu kalam:
Pertama, teori politik. Teori ini antara lain
digunakan oleh Harun Nasution. Ia misalnya mengatakan bahwa, persoalan politik
antara Ali Bin Abi Talib dan Mu’awiyah tentang perebutan kekuasaan yang
diselesaikan dengan jalan arbitrase oleh kaum Khawarij dipandang bertentangan
dengan ajaran Islam. Menurutnya, bahwa penyelesaian sengketa dengan arbitrase
bukanlah penyelesaian menurut apa yang diperintahkan Tuhan, dan oleh karena itu
pihak-pihak yang menyetujui arbitrase ini telah menjadi kafir dalam pendapat kaum
Khawarij. Dengan demikian, Ali, Mu’awiyah, Abu Musa Al Asy’ari dan ‘Amr Ibn Al
Ash, menurut mereka telah kafir. Kafir dalam arti keluar dari Islam, yaitu
murtad, dan orang murtad wajib dibunuh. Mereka pun memutuskan untuk membunuh
keempat pemuka ini. Penentuan seorang kafir atau tidak kafir bukanlah lagi soal
politik, tetapi soal teologi.
Kedua, teori internal dan eksternal. Teori ini antara
lain dikemukakan oleh A. Hanafi. Menurutnya bahwa kita tidak akan dapat
memahami persoalan-persoalan ilmu kalam sebaik-baiknya kalau kita tidak dapat
mempelajari faktor-faktor yang memengaruhi timbulnya, kejadian politis dan
historis yang menyertai pertumbuhannya. Faktor ini sebenarnya banyak, akan
tetapi digolongkan kepada dua bagian, yaitu faktor-faktor yang datang dari
dalam Islam dan kaum muslimin sendiri, dan faktor-faktor yang datang dari luar
mereka, karena adanya kebudayaan lain dan agama-agama lain yang bukan Islam.
Secara internal, Al Qur’an sendiri di samping
ajarannya kepada tauhid dan mempercayai kenabian dan hal-hal lain yang
berhubungan dengan itu, menyinggung pula golongan dan agama-agama yang ada pada
masa Nabi Muhammad SAW yang mempunyai kepercayaan yang tidak benar. Al Qur’an
tidak membenarkan kepercayaan mereka dan membantah alasan-alasannya, antara
lain:
1. Golongan yang
mengingkari agama dan adanya Tuhan dan mereka mengatakan bahwa yang menyebabkan
kebinasaan dan kerusakan hanyalah waktu saja (lihat QS. Al Jatsiah ayat 24).
2. Golongan musyrik
yang menyembah bintang, bulan, matahari, (lihat QS. Al An’am ayat 76-78) yang
mempertuhankan Nabi Isa dan ibunya (lihat QS. Al Maidah ayat 116) dan yang
menyembah berhala (lihat QS Al An’am ayat 74 dan As Syu’ara ayat 9).
Menghadapi berbagai pandangan dan pemikiran
tersebut. Tuhan memberikan bantahan dengan alasan yang meyakinkan, dan
memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW agar menjalankan dakwahnya dengan
mengemukakan berbagai argumen dengan cara yang bijak, dan santun. Berbagai
bantahan dengan alasan tersebut merupakan kandungan kajian ilmu kalam.
7.3 Aliran-Aliran Dan Paham Dalam Ilmu Kalam
1. Aliran Khawarij
Secara harfiah, Khawarij berasal dari
kata kharaja yang berarti keluar. Adapun menurut istilah, Khawarij
adalah para pengikut Ali bin Abi Thalib yang meninggalkan kelompoknya, karena
tidak setuju dengan sikap Ali bin Abi Thalib dalam menerima arbitrase sebagai
jalan untuk menyelesaikan persengketaan tentang khalifah dengan Mu’awiyah bin
Abi Sufyan.
Pemimpin aliran Khawarij ini yang pertama
adalah Abdullah bin Wahb Al Rasidi yang dianggap sebagai ganti dari Ali bin Abi
Thalib. Aliran ini selanjutnya terbagi kepada beberapa sekte. Di antaranya Al
Muhakkimah, Al Ajaridah, Al Suftriah, dan Al Ibadiah.
Selain itu, kaum Khawarij secara umum memiliki
pandangan politik dan ketatanegaraan. Sungguhpun telah mengalami kekalahan,
kaum Khawarij menyusun barisan kembali dan meneruskan perlawanan terhadap
kekuasaan Islam resmi di zaman dinasti bani Umayah maupun di zaman dinasti bani
Abbas. Para pemegang kekuasaan yang ada pada waktu itu mereka anggap telah
menyeleweng dari Islam dan oleh karena itu mesti ditentang dan dijatuhkan.
Mereka juga memiliki paham demokratis, karena khalifah atau imam harus dipilih
secara bebas oleh seluruh umat Islam. Khalifah Abu Bakar dan Umar Bin Khattab
secara keseluruhan dapat mereka terima. Adapun kedua khalifah berikutnya: Usman
bin Affan dan Ali bin Abi Thalib mereka anggap telah menyimpang. Usman bin
Affan mereka anggap telah menyeleweng mulai dari tahun ketujuh dari masa
kekhalifahannya, dan juga Ali juga mereka anggap menyeleweng setelah peristiwa
arbitrase.
Kaum Khawarij pada umumnya terdiri dari
orang-orang Arab Badawi. Hidup di padang pasir yang serba tandus membuat mereka
bersifat sederhana dalam cara hidup dan pemikiran, tetapi keras hati serta
berani, dan bersikap merdeka, tidak bergantung pada orang lain. Ajaran Islam
sebagaimana terdapat dalam Al Qur’an dan Al Hadits, mereka artikan menurut
lafaznya dan harus dilaksanakan sepenuhnya. Oleh karena itu, iman dalam paham
mereka merupakan iman dan paham orang yang sederhana dalam pemikiran lagi
sempit akal serta fanatik. Iman yang tebal, tetapi sempit, ditambah lagi dengan
sikap fanatik ini membuat mereka tidak dapat menoleransi penyimpangan terhadap
ajaran Islam menurut paham mereka, walaupun hanya penyimpangan dalam bentuk
kecil.
2. Aliran Murji’ah
Murjiah berasal dari kata rajaa, yakni
mengembalikan kepada Tuhan, dan arja’a yang berarti menunda. Secara
politik, kaum Murjiah pada mulanya merupakan golongan yang tidak mau turut
campur dalam pertentangan yang terjadi ketika itu, dan mengambil sikap
menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidaknya orang yang bertentangan atau dianggap
kafir itu kepada Tuhan.
Berkaitan dengan dosa besar yang oleh kaum
Khawarij dianggap kafir, namun oleh kaum Murjiah masih dianggap mukmin. Bagi
mereka bahwa orang Islam yang berdosa besar itu mengakui, bahwa tiada Tuhan
selain Allah, dan bahwa nabi Muhammad SAW adalah Rasul-Nya. Dengan kata lain,
orang yang demikian itu tetap mengucapkan dua kalimah syahadat yang menjadi
dasar utama iman. Oleh karena itu, orang yang berdosa besar menurut kaum
Murjiah, masih dianggap mukmin dan bukan kafir. Dengan demikian, bagi golongan
ini yang terpenting dan diutamakan pada seorang mukmin adalah imannya dan bukan
perbuatannya, atau dengan kata lain bahwa perbuatan tidak memengaruhi keimanan
seseorang. Seseorang yang berbuat dosa besar, seperti membunuh, berzina,
durhaka kepada orangtua dan lainnya masih dianggap mukmin dan bukan kafir.
Selain mengandung arti menunda, kaum Murjiah
juga mengandung arti kaum yang memberi harapan (raja) bagi orang yang
berbuat dosa besar. Harapan ialah bahwa orang yang berbuat dosa besar tersebut
masih ada harapan mendapatkan rahmat dan ampunan dari Tuhan, sehingga ia bisa
masuk surga.
Kaum Murjiah, sebagaimana juga kaum Khawarij
terpecah belah pada beberapa golongan, yang secara umum terdiri dari golongan
yang moderat dan ekstrem. Golongan Murjiah yang moderat berpendapat, bahwa
orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi
akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan
ada kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya, dan oleh karena itu mereka
tidak akan masuk neraka sama sekali. Yang termasuk ke dalam golongan Murjiah
yang moderat ini yaitu Al Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abu
Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadits. Keimanan bagi golongan ini
mempunyai arti pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan, tentang Rasul-rasul-Nya
dan tentang segala apa yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan dan tidak dalam
perincian. Bagi mereka iman tidak mempunyai sifat bertambah dengan perbuatan
yang baik, dan tidak punya sifat berkurang karena perbuatan dosa.
Ajaran Murjiah yang ekstrem dengan tokohnya Al
Jahmiah serta para pengikut Jahm bin Safwan berpendapat, bahwa orang Islam yang
percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah
menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya hanyalah dalam hati, bukan dalam
bagian lain dari tubuh manusia. Orang yang demikian masih dianggap mukmin dan
tidak menjadi kafir, sungguhpun ia menyembah berhala, menjalankan ajaran agama
Yahudi atau Kristen dengan menyembah salib, menyatakan percaya pada Trinity,
dan kemudian mati. Orang yang demikian itu bagi Allah tetap merupakan seorang
mukmin yang sempurna imannya.
Ajaran Murjiah ekstrem sebagaimana dikemukakan
Harun Nasution ada bahayanya, karena dapat membawa pada moral latitude, sikap
memperlemah ikatan moral, atau masyarakat yang bersifat permissive, masyarakat
yang dapat menoleransi penyimpangan dari norma-norma akhlak yang berlaku.
Karena menurut golongan ini yang dipentingkan hanyalah iman. Adapun norma-norma
akhlak dapat dipandang kurang penting dan diabaikan oleh orang-orang yang
menganut paham demikian.
Paham Murjiah yang moderat tersebut selanjutnya
memiliki kesamaan dengan sebagian paham yang dianut kaum Asy’ariah. Menurut
Asy’ariyah, bahwa iman ialah pengakuan dalam hati tentang keesaan Tuhan dan
tentang kebenaran rasul-rasul serta segala apa yang mereka bawa. Mengucapkannya
dengan lisan dan mengerjakan rukun-rukun Islam merupakan cabang dari iman.
Orang yang berdosa besar, jika meninggal dunia tanpa tobat, nasibnya terletak
di tangan Tuhan. Ada kemungkinan Tuhan akan mengampuni dosa-dosanya, dan ada pula
kemungkinan Tuhan tidak akan mengampuninya dan akan menyiksanya sesuai dengan
dosa-dosa yang dibuatnya dan kemudian baru ia dimasukkan ke dalam surga.
3. Aliran Mu’tazilah
Kata Mu’tazilah berasal dari kata i’tazala yang
artinya menjauhkan atau memisahkan diri. Pengertian tentang ibadah Mu’tazilah
ini ada hubungannya dengan peristiwa Washil bin Atha serta temannya ‘Amr bin
‘Ubaid dan Hasan Al Basri di masjid Bashrah. Washil selalu mengikuti pelajaran
yang diberikan Hasan Al Basri di masjid Bashrah. Pada suatu hari datang
seseorang bertanya mengenai pendapatnya tentang orang yang berdosa besar yang
meninggal sebelum bertaubat. Sebagaimana dikemukakan tersebut, bahwa kaum
Khawarij berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu hukumnya kafir,
sedangkan kaum Murjiah memandang mereka masih mukmin. Ketika Hasan Al Basri
masih berpikir. Washil mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan mengatakan: ”Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu
bukanlah mukmin dan buka pula kafir, tetapi mengambil posisi di antara
keduanya, tidak mukmin dan tidak pula kafir.” Kemudian dia berdiri dan
menjauhkan diri dari Hasan Al Basri pergi ke tempat lain di masjid, di sana ia
mengulangi pendapatnya Kembali. Atas peristiwa ini Hasan Al Basri mengatakan
bahwa Washil menjauhkan diri dari kita (i’tazala ‘anna). Dengan
demikian, Washil bin Atha’ dan teman-temannya disebut kaum Mu’tazilah.
Kaum Mu’tazilah merumuskan ajaran pokoknya yang
dikenal dengan nama Al Ushul Al Khamsah, atau lima ajaran dasar, yaitu:
a. Al Tauhid, secara harfiah al-tauhid artinya
mengesakan Tuhan, atau meyakini sungguh-sungguh bahwa Tuhan hanya satu saja.
Tuhan dalam paham mereka akan benar-benar Maha Esa hanya kalua Tuhan merupakan
suatu zat yang unik, tidak ada yang serupa dengan Dia. Sehubungan dengan itu,
mereka menolak paham anthtropomorphismei yang menggambarkan Tuhan dekat
menyerupai makhluknya. Mereka juga menolak paham beatific-vision, yaitu bahwa
Tuhan dapat dilihat manusia dengan mata kepalanya.
b. Al-‘Adl, secara harfiah al-‘adl artinya
menempatkan sesuatu pada tempatnya (wadl’u syai fi mahallihi). Bagi
Mu’tazilah, paham al-‘adl ini memiliki hubungan dengan al-tauhid. Yakni jika
dengan al-tauhid kaum Mu’tazilah ingin menyucikan diri Tuhan dari persamaan
dengan makhluk, maka dengan al-‘adl mereka ingin menyucikan perbuatan Tuhan
dari persamaan dengan perbuatan makhluk. Bagi kaum Mu’tazilah, hanya Tuhanlah
yang berbuat adil; Tuhan tidak bisa berbuat zalim. Pada makhluk terdapat
perbuatan zalim. Dengan kata lain, kata al-tauhid membahas keunikan diri Tuhan,
maka al-‘adl membahas keunikan perbuatan Tuhan. Sehubungan dengan paham al-‘adl
ini, maka kaum Mu’tazilah menganut paham qadariah, yaitu bahwa segala perbuatan
yang dilakukan manusia terjadi atas kehendak dan pilihan bebas manusia, dan
bukan atas paksaan dari Tuhan. Karena itu, kalau perbuatan yang dilakukan
manusia terjadi karena kehendak Tuhan dan bukan pilihan bebas manusia, dan
kemudian Tuhan menghukum perbuatan tersebut, maka hukuman tersebut dapat dipandang
tidak adil.
c. Al-Wa’d wal-Wa’id, secara harfiah al-wa’ad dan al-wa’id
adalah janji kebaikan (surga) bagi orang yang berbuat baik, dan ancaman
keburukan (neraka) bagi orang yang berbuat buruk. Paham ini merupakan lanjutan
dari paham al-‘adl sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Tuhan tidak dapat
disebut adil. Jika Ia tidak dapat memberi pahala kepada orang yang berbuat baik
dan jika tidak menghukum orang yang berbuat buruk. Keadilan menghendaki agar
orang yang bersalah diberi hukuman, dan orang yang berbuat baik diberi upah,
sebagaimana dijanjikan Tuhan.
d. Al-Manzilah bain
Al-Manzilatain,
secara harfiah adalah posisi menengah bagi yang berbuat dosa besar, serta erat
hubungannya dengan paham keadilan Tuhan sebagaimana telah dikemukakan
sebelumnya. Menurut kaum Mu’tazilah, bahwa para pembuat dosa besar bukanlah
kafir, tetapi bukan pula mukmin, karena imannya tidak sempurna. Karena bukan
mukmin, makai a tidak dapat masuk surga, dan karena bukan pula kafir, makai a
tidak mesti masuk neraka. Ia seharusnya di tempat di luar surga dan di luar
neraka. Inilah sebenarnya keadilan. Namun karena di akhirat tidak ada tempat
selain surga dan neraka, maka pembuat dosa besar hatus dimasukkan ke dalam
salah satu tempat ini.
e. Amar Ma’ruf Nahi
Munkar, secara harfiah
adalah perintah mengerjakan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Paham
ini dianggap sebagai kewajiban bukan hanya oleh kaum Mu’tazilah saja, melainkan
juga oleh golongan umat Islam lainnya. Perbedaan yang terdapat antara golongan
itu adalah pelaksanaannya. Apakah perintah dan larangan itu cukup dijalankan
dengan penjelasan dan seruan saja, ataukah perlu diwujudkan dengan paksaan dan
kekerasan. Kaum Khawarij, sebagaimana dilihat memandang bahwa untuk itu perlu
dengan kekerasan. Kaum Mu’tazilah berpendapat kalau dapat cukup dengan seruan,
tetapi kalau perlu dengan kekerasan dalam menyiarkan ajaran mereka.
Jika kelima ajaran kaum Mu’tazilah tersebut
dianalisis secara seksama, terdapat beberapa catatan sebagai berikut:
Pertama, ajaran tersebut terkait dengan upaya
memurnikan tauhid, baik yang berkaitan dengan zat maupun perbuatan Tuhan, yakni
tauhid yang semurni-murninya.
Kedua, kaum Mu’tazilah pada dasarnya memiliki paham
tentang sifat, namun sifat bagi mereka sama dengan zat, atau sifat yang tidak
terpisah dengan zat. Sebab sifat yang terpisah dengan zat dapat menimbulkan
syirk yang bertentangan dengan paham al-tauhid.
Ketiga, dalam membangun pahamnya, kaum Mu’tazilah juga
membawa ayat-ayat Al Qur’an yang dipahami secara rasional.
Keempat, dalam hubungan manusia dengan Tuhan, kaum
Mu’tazilah menganut paham qadariyah, yakni paham bahwa perbuatan manusia
ditentukan oleh kehendak dan pilihan manusia sendiri, dan bukan oleh Tuhan.
Hal-hal yang bersifat baik yang mendapat balasan surga, dan hal-hal yang
bersifat buruk yang mendapatkan balasan neraka, dilakukan oleh manusia sendiri,
dan bukan atas paksaan (jabr) Tuhan.
Kelima, demi mempertahankan pahamnya yang
demikian terdapat pernyataan yang bersifat mewajibkan atau memaksa Tuhan, serta
menyatakan bahwa Tuhan tidak berdaya dalam melakukan yang buruk, adalah paham
yang tampaknya tidak sejalan dengan konsep kebebasan Tuhan.
4.
Aliran Ahl Al-Sunah Wal-Jama’ah (Asy’ariyah dan
Maturidiah)
Term ahli sunah dan jamaah menurut Harun
Nasution, kelihatannya timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham golongan
Mu’tazilah yang telah dijelaskan sebelumnya, dan terhadap sikap mereka dalam
menyiarkan ajarannya itu. Mulai dari Washil, usaha-usaha yang dijalankan
untuk menyebarkan ajaran itu, disamping usaha-usaha yang dijalankan menentang
serangan musuh Islam. Menurut Ibn Al-Murtadha, Washil mengirim
murid-muridnya ke Khurasan, Armenia, Yaman, Maroko, dan lain-lain. Kelihatannya
murid-murid ini berhasil dalam usahanya, karena menurut Yaqut, di Tahart, suatu
tempat di dekat Tilimsan di Maroko, terdapat kurang lebih 30 ribu pengikut
Washil.
Beberapa tokoh yang memiliki paham Ahl Al-Sunah
wa Al-Jama’ah ini diantara lain Asy’ariyah dan Maturidiah. Pemikiran dari kedua
tokoh ini dapat dikemukakan sebagi berikut:
a. Asy’ariyah
Asy’ariyah adalah suatu paham teologi yang
dinisbahkan kepada Abu Al Hasan ‘Ali bin Ismail Al-Asy’ari lahir di Bashar 873
M, dan wafat di Baghdad pada 935 M. Pada mulanya ia adalah murid Al-Jubba’I,
dan salah seorang terkemuka dalam golongan Mu’tazilah, sehingga menurut
Al-Husain bin Muhammad Al-‘Askari, Al-Jubba’I berani memercayakan perdebatan
dengan lawan kepadanya. Namun oleh
karena sebab-sebab yang tidak begitu jelas, Al-‘Asy’ari, sungguhpun telah
puluhan tahun menganut paham Mu’tazilah, akhirnya meninggalkan ajaran
Mu’tazilah. Sumber yang berasal dari Al -Subki dan bin Ibn Asakir biasanya
menjelaskan, bahwa pada suatu malam Al-‘Asy’ari bermimpi bertemu Nabi Muhammad
SAW, yang mengatakan kepadanya bahwa madzhab Ahl Al-Hadislah yang benar, dan
madzhab Mu’tazilah salah. Sumber lain mengatakan, bahwa Al’Asy’ari berdebat
dengan gurunya Al-Jubba’I dan dalam perdebatan ini guru tak dapat menjawab
tantangan murid. Beberapa paham teologi yang dikemukakan Al’Asy’ari antara
lain:
1. Paham tentang sifat.
Menurut Al-Asy’ari, mustahil Tuhan mengetahui dengan zat-Nya, karena dengan
demikian zat-Nya adalah pengetahuan, dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan.
Tuhan bukan pengetahuan (‘ilm), tetapi Yang Maha Mengetahui (‘Alim). Tuhan
mengetahui dengan pengetahuan, dan pengetahuan-Nya bukanlah zat-Nya. Demikian
pula dengan sifat-sifat seperti sifat hidup, berkuasa, mendengar, dan melihat.
2. Paham tentang Al
Qur’an. Menurut Al-Asy’ari, Al Qur’an bukanlah diciptakan, sebab kalau ia
diciptakan maka akan berantai tanpa kesudahan. Allah SWT berfirman:
اِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ اِذَآ
اَرَدْنٰهُ اَنْ نَّقُوْلَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ
Sesungguhnya
perkataan Kami terhadap sesuatu, apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan
kepadanya: “Kun (jadilah)”, maka jadilah ia. (Qs. An Nahl: 40). Untuk
penciptaan sebagaimana dimaksud ayat tersebut diperlukan kata kun, dan
untuk terciptanya kun ini perlu kata kun yang lain; begitulah seterusnya, sehingga terdapat
rentetan kata-kata kun yang tak berkesudahan. Ini tak mungkin. Oleh
karena itu, Al Qur’an tak mungkin diciptakan.
3. Paham tentang Tuhan
yang dapat dilihat di akhirat. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa sifat-sifat
yang tidak dapat diberikan kepada Tuhan hanyalah sifat-sifat yang akan membawa
kepada arti diciptakannya Tuhan. Sifat dapatnya Tuhan dilihat tidak membawa
kepada hal ini; karena apa yang dapat dilihat tidak mesti mengandung arti bahwa
ia mesti bersifat diciptakan. Dengan demikian, kalau dikatakan Tuhan dapat
dilihat, itu tidak mesti bahwa Tuhan harus bersifat diciptakan.
4. Paham tentang
perbuatan manusia. Menurut Al-Asy’ari, bahwa perbuatan manusia bukanlah
diwujudkan oleh manusia sendiri, sebagaimana pendapat Mu’tazilah, tetapi
diciptakan Tuhan.
5. Paham anthromorphism.
Al Asy’ari berpendapat, bahwa Tuhan mempunyai muka, tangan, mata, dan
sebagainya dengan ditentukan bagaimana (bila kaifa), yaitu dengan tidak
mempunyai bentuk dan batasan (laa yukayyaf wa laa yuhad).
6. Paham tentang
keadilan Tuhan. Menurut pendapat Al Asy’ari, bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan
tak ada suatu pun yang wajib bagi-Nya. Tuhan berbuat sekehendak-Nya, sehingga
kalau Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam surga bukanlah Ia bersifat tidak
adil, dan jika Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka tidaklah ia
bersifat zalim. Dengan demikian, ia juga tidak setuju dengan ajaran Mu’tazilah
tentang al-wa’d wa al-wa’id.
7. Paham tentang posisi
menengah. Bagi Al-Asy’ari bahwa orang yang berdosa besar tetap mukmin, karena
imannya masih ada, tetapi karena dosa besar yang dilakukannya ia menjadi fasik.
Sekiranya orang berdosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, maka dalam
dirinya akan tidak didapati kufur atau iman.
b. Maturidiyah
Maturidiah adalah aliran teologi yang dibangun oleh Abu
Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al Maturidi. Ia lahir pada pertengahan
kedua dari abad kesembilan Masehi di Samarkand, dan meninggal di tahun 944 M. Ia adalah pengikut Abu
Hanifah dan paham-paham teologinya banyak persamaannya dengan paham-paham yang
dimajukan Abu Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur
termasuk dalam golongan teologi Ahli Sunah dan dikenal dengan nama
Al-Maturidiah. Sebagai pengikut Abu Hanifah yang banyak memakai rasio dalam
pandangan keagamaannya, Al-Maturidi banyak pula memakai akal dalam sistem
teologinya. Dengan dasar ini, maka antara paham teologi Maturidiah dengan paham
teologi Al Asy’ari terdapat perbedaan, sungguhpun keduanya timbul sebagai reaksi
terhadap aliran Mu’tazilah. Paham teologi Maturidiah ini selengkapnya
dapat dilihat sebagai berikut:
1. Paham tentang sifat
Tuhan. Dalam soal sifat-sifat Tuhan terdapat persamaan pendapat antara
Al-Asy’ari dengan Al-Maturidi. Baginya Tuhan memiliki sifat-sifat. Tuhan
mengetahui bukan dengan zat-Nya, tetapi mengetahui dengan pengetahuan-Nya, dan
berkuasa bukan dengan zat-Nya. Pengetahuan dan perbuatan Tuhan itu adalah
sifat-sifat-Nya.
2. Paham tentang
perbuatan manusia. Dalam hal ini, Al Maturidi sependapat dengan golongan
Mu’tazilah, yakni bahwa manusialah yang sebenarnya mewujudkan perbuatannya.
Dengan demikian, Al Maturidi memiliki paham qadariah bukan paham jabbariah atau
kasb Al-Asy’ari.
3. Paham tentang al-shalah
wa al-ashlah. Dalam hal ini, Al-Maturidi menolak paham ajaran Mu’tazilah, namun ia sependapat dengan paham
Mu’tazilah, bahwa Tuhan mempunyai kewajiban tertentu.
4. Paham tentang Al
Qur’an. Dalam hal ini, Al Maturidi sependapat dengan Al-Asy’ari yang
berpendapat, bahwa kalam atau sabda Tuhan tidak diciptakan, tetapi bersifat
qadim.
5. Paham tentang orang
mukmin yang berbuat dosa besar. Dalam hal ini Al-Maturidi sepaham dengan
Al-Asy’ari yang mengatakan, bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin,
dan soal dosa besarnya akan ditentukan Tuhan kelak di akhirat. Dengan demikian,
Al-Maturidi dan Al-Asy’ari dekat dengan pendapat kaum Murjiah sebagaimana telah
diuraikan sebelumnya.
6. Paham tentang al-manzila
bain al-manzilatain. Dalam hal ini Al-Maturidi menolak paham posisi
menengah kaum Mu’tazilah.
7. Paham tentang al-wa’d
wa al-wa’id. Dalam hal ini, Al-Maturidi sependapat dengan kaum Mu’tazilah.
Menurut Al-Maturidi, bahwa janji-janji dan ancaman Tuhan, tak boleh tidak mesti
terjadi kelak.
8. Paham tentang
anthropomorphism. Dalam hal ini, Al-Maturidi sepaham dengan Mu’tazilah. Ia
tidak sependapat dengan Al-Asy’ari yang mengatakan, bahwa ayat-ayat
menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk jasmaniah tak dapat diberi interpretasi
atau ta’wil. Menurut pendapatnya, bahwa tangan, wajah, dan sebagainya mesti
diberi arti majazi atau kiasan.
Paham teologi Al-Maturidi tersebut memiliki
banyak pengikut. Salah satu pengikut penting dari Al-Maturidi ini ialah Abu
Al-Yusuf Muhammad Al-Bazdawi (421-493 H). Nenek Al-Bazdawi adalah murid dari
Al-Maturidi dan Al-Bazdawi mengetahui ajaran-ajaran Al-Maturidi dari
orangtuanya. Al -Bazdawi sendiri mempunyai murid-murid dan salah seorang dari
mereka ialah Najm Al-Din Muhammad Al-Nasafi (460-537 H), pengarang kitab Al - ‘Aqaid Al-Nasafiah.
Dengan demikian, Al Maturidiah ini paham
teologinya berada diantara Mu’tazilah dan Al-Asy’ariyah, namun lebih kepada
paham Al-Asy’ari. Hal ini dapat dilihat dari kedelapan paham teologinya
tersebut, hanya tiga pahamnya saja yang dekat Mu’tazilah, yakni paham tentang
perbuatan manusia (qadariyah), al-wa’d wa al-wa’id, dan anthropomorphism, atau
al-mutajassim (paham bahwa Tuhan memiliki tubuh atau raga). Dengan demikian,
bersalah jika Al-Maturidi dikelompokkan pada aliran Ahl al-Sunah wa Al-Jamaah.
BAB
8
ILMU TASAWUF
8.1 Pengertian Ilmu Tasawuf
Ada lima pendapat tentang asal kata dari
tasawuf.
Pertama, kata tasawuf dinisbahkan kepada perkataan ahl shuffah, yaitu nama yang diberikan kepada sebagian fakir
miskin di kalangan orang Islam pada masa awal Islam. Mereka adalah diantara
orang-orang yang tidak punya rumah, maka menempati gubuk yang telah dibangun
Rasulullah di luar masjid di Madinah. Ahl
al-Shuffah adalah sebuah komunitas yang memiliki ciri yang menyibukkan diri
dengan kegiatan ibadah. Mereka meninggalkan kehidupan dunia dan memilih pola
hidup zuhud. Mereka tinggal di masjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan
memakai pelana (sofa), mereka miskin tetapi berhati mulia. Para sahabat
nabi hasil produk shuffah ini antara lain Abu Darda’, Abu Dzar al
Ghifari dan Abu Hurairah
Kedua, ada pendapat yang mengatakan tasawuf berasal
dari kata shuf, yang berarti bulu domba. Berasal dari kata shuf karena
orang-orang ahli ibadah dan zahid pada masa dahulu menggunakan pakaian
sederhana terbuat dari bulu domba. Dalam sejarah tasawuf banyak kita dapati
cerita bahwa ketika seseorang ingin memasuki jalan kedekatan pada Allah mereka
meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol
kasar yang ditenun sederhana. Tradisi pakaian sederhana dan compang camping ini
dengan tujuan agar para ahli ibadah tidak timbul rasa riya’, ujub atau sombong.
Selanjutnya tasawuf dari aspek terminologis
juga didefinisikan secara beragam, dan dari berbagai sudut pandang. Hal ini
dikarenakan bebeda cara memandang aktifitas para kaum sufi. Ma’ruf al Karkhi
mendefinisikan tasawuf adalah “mengambil hakikat dan meninggalkan yang ada di
tangan mahkluk”. Abu Bakar Al Kattani
mengatakan tasawuf adalah” budi pekerti. Barangsiapa yang memberikan bekal budi
pekerti atasmu, berarti ia memberikan bekal bagimu atas dirimu dalam tasawuf”. Selanjutnya Muhammad Amin Kurdi mendefinisikan
tasawuf adalah “suatu yang dengannya diketahui hal ihwal kebaikan dan keburukan
jiwa, cara membersihkannya dari yang tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat
terpuji, cara melaksanakan suluk dan perjalanan menuju keridhaan Allah dan
meninggalkan larangannya.
Selanjutnya dari beberapa pengertian di atas
bila dihubungkan, maka segera tampak bahwa tasawuf pada intinya adalah upaya
melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari
pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin akhlak yang mulia dan dekat dengan
Allah Swt. Dengan kata lain tasawuf adalah bidang kegiatan yang berhubungan
dengan pembinaan mental rohaniah agar selalu dekat dengan Tuhan.
Ibnu Khaldun menyatakan, “Banyak sufi berusaha
mengungkapkan arti tasawuf dengan kalimat yang general dalam memberikna keterangan maknanya, tetapi tidak satu pun
pendapat yang tepat. Di antara mereka ada yang mengunkapkan kondisi-kondisi
permulaan, ada yang mengungkapkan kondisi-kondisi akhir, ada yang mengungkapkan
sebagai pertanda, ada yang mengungkapkan prinsip-prinsip dan dasar-dasarnya,
ada yang menyatukan prinsip dan dasarnya. Masing-masing dari mereka
mengungkapkan apa yang ditemukannya dan masing-masing bicara menurut derajat
spiritualnya. Masing-masing menyatakan apa yang terjadi pada dirinya, menurut
pencapaiannya dalam bentuk ilmu, atau amal, atau kondisi spiritual, atau dzauq
(cita rasa spiritual), atau selainnya. Seluruhnya adalah tasawuf.
8.2 Ruang Lingkup Ilmu Tasawuf
Ruang lingkup ilmu tasawuf
adalah hal-hal yang berkenaan dengan upaya-upaya/cara-cara untuk mendekatkan
diri kepada Tuhan yang bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus secara
langsung dari Tuhan.
8.3 Asal Usul Ilmu
Tasawuf
Para tokoh sufi dan juga termasuk dari kalangan
cendikian muslim memberikan pendapat bahwa sumber utama ajaran tasawaf adalah
bersumber dari al-Qur’an dan al- Hadits. Al-Qur’an adalah kitab yang di dalam
ditemukan sejumlah ayat yang berbicara tentang inti ajaran tasawuf.
Ajaran-ajaran tentang khauf, raja’, taubat, zuhud, tawakal, syukur, shabar, ridha, fana, cinta,
rindu, ikhlas, ketenangan dan sebagainya secara jelas diterangkan dalam
al-Qur’an. Antara lain tentang mahabbah (cinta) terdapat dalam surat al-Maidah
ayat 54, tentang taubat terdapat dalam surat al-Tahrim ayat 8, tentang tawakal
terdapat dalam surat at-Tholaq ayat 3, tentang syukur terdapat dalam surat
Ibrahim ayat 7, tentang shabar terdapat dalam surat al-Mukmin ayat 55, tentang
ridha terdapat dalam surat al Maidah ayat 119, dan sebagainya.
Timbulnya tasawuf dalam Islam tidak bisa
dipisahkan dengan kelahiran Islam itu sendiri, yaitu semenjak Muhammad diutus menjadi Rasul untuk segenap
umat manusia dan alam semesta. Fakta sejarah menunjukan bahwa pribadi Muhammad
Saw sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang kali melakukan tahanuts dan
khalwat di gua Hira’, disamping untuk mengasingkan diri dari masyarakat kota
Mekkah yang sedang mabuk memperturutkan hawa nafsu keduniaan Rasulullah mencari
petunjuk Tuhan dengan menenangkan diri didalam gua. Di sisi lain Muhammad Saw
juga berusaha mencari jalan untuk membersihkan hati dan mensucikan noda-noda
yang menghinggapi masyarakat pada masa itu. Tahanuts dan khalwat yang dilakukan
Muhammad Saw bertujuan untuk mencari ketenangan jiwa dan keberhasilan hati
dalam menempuh lika-liku probelma kehidupan yang beraneka ragam, berusaha untuk
memperoleh petunjuk dan hidayah serta mencari hakikat kebenaran. Dalam situasi
yang demikian, Nabi Muhammad Saw menerima Wahyu dari Allah Swt, yang berisi
ajaran-ajaran dan peraturan- peraturan sebagai pedoman dalam mencapai
kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Dalam sejarah Islam sebelum munculnya aliran
tasawuf, terlebih dahulu
muncul aliran zuhud pada akhir abad ke I (permulaan abad ke II). Pada abad I
Hijriyah lahirlah Hasan Basri seorang zahid pertama yang termashur dalam
sejarah tasawuf. Beliau lahir di Mekkah tahun 642 M, dan meninggal di Basrah
tahun 728M. ajaran Hasan Basri yang pertama adalah Khauf dan Rajah’ mempertebal
takut dan harap kepada Tuhan, setelah itu muncul guru- guru yang lain, yang
dinamakan qari’ , mengadakan gerakan pembaharuan hidup kerohanian di kalangan
umat muslim. Sebenarnya bibit tasawuf sudah ada sejak itu, garis-garis mengenai
tariq atau jalan beribadah sudah kelihatan disusun, dalam ajaran- ajaran yang
dikemukakan disana sini sudah mulai mengurangi makna (ju’), menjauhkan diri dari
keramaian dunia (zuhud).
Abu al- Wafa menyimpulkan, bahwa zuhud islam
pada abad I dan II Hijriyah mempunyai karakter sebagai berikut:
a. Menjaukan diri dari
dunia menuju akhirat yang berakar pada nas agama, yang dilatar belakangi oleh
sosipolitik, coraknya bersifat sederhana, praktis (belum berwujud dalam
sistematika dan teori tertentu), tujuanya untuk meningkatkan moral.
b. Masih bersifat
praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian untuk menyusun
prinsip-prinsip teoritis atas kezuhudannya itu. Sementara sarana-sarana
praktisnya adalah hidup dalam ketenangan dan kesederhanaan secara penuh,
sedikit makan maupun minum, banyak beribadah dan mengingat Allah Swt.,
berlebih- lebihan dalam merasa berdosa, tunduk mutlak kepada kehendak Nya., dan
berserah diri kepada Nya. Dengan demikian tasawuf pada masa itu mengarah pada
tujuan moral.
c. Motif zuhudnya ialah
rasa takut yaitu rasa takut, yaitu rasa takut yang muncul dari landasan amal
keagamaan secara sungguh-sungguh. Sementara pada akhir abad II Hijriyah,
ditangan Rabi’ah al- Adawiyah muncul motif rasa cinta, yang bebas dari rasa takut terhadap adab-Nya maupun harapan terhadap
pahala-Nya. Hal ini dicerminkan lewat penyucian diri dan abstraksinya dalam
hubungan antara manusia dengan Tuhan.
Akhir abad II Hijriyah, sebagian zahid,
khususnyadi Khurasan, dan Rabi’ah al- Adawiyah ditandai kedalaman membuat
analisa, yang bias dipandang sebagai masa pendahuluan tasawuf, atau cikal bakal
para pendiri tasawuf falsafati abad ke-III dan IV Hijriyah. Abu al- Wafa lebih
sependapat kalau mereka dinamakan zahid, qari’, dan nasik (bukan sufi) (Abu
al-Wafa, 1970). Sejalan dengan pemikiran ini, sebelum Abu al-Wafa, al-Qusyairi
tidak memasukkan Hasan al- Basri dan Rabi’ah al-Adawiyyah dalam deretan guru
tasawuf.
Sedangkan zuhud menurut para ahli sejarah
tasawuf adalah fase yang mendahului tasawuf. Menurut Harun Nasution, station
yang terpenting bagi seorang calon sufi ialah zuhud yaitu keadaan meninggalkan
dunia dan hidup kematerian. Sebelum menjadi sufi, seorang calon harus terlebih
dahulu menjadi zahid. Sesudah menjadi zahid, barulah ia meningkat menjadi sufi.
Dengan demikian tiap sufi ialah zahid, tetapi sebaliknya tidak setiap zahid
merupakan sufi. Secara etimologis, zuhud berarti raghaba ‘ansyai’in wa tarakahu,
artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi
al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.
Berbicara tentang arti zuhud secara
terminologis menurut Prof. Dr. Amin Syukur, tidak bisa dilepaskan dari dua hal.
Pertama, zuhud sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud
sebagai moral (akhlak) Islam dan gerakan protes. Apabila tasawuf diartikan
adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai
perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu station (maqam) menuju tercapainya
“perjumpaan” atau ma’rifat kepada-Nya. Dalam posisi ini menurut A. Mukti Ali,
zuhud berarti menghindar dari berkehendak terhadap hal–hal yang bersifat
duniawi atau ma siwa Allah. Berkaitan dengan ini al-Hakim Hasan menjelaskan
bahwa zuhud adalah “berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah
melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan semedi (khalwat),
berkelana, puasa, mengurangi makan dan memperbanyak dzikir”.
Jadi zuhud merupakan hal yang tidak bisa
terpisahkan dengan tasawuf sebagai seorang zahid yang menjauhkan diri dari
kelezatan dunia serta mengingkarinya serta lebih mengutamakan kehidupan yang
kekal dengan mendekatkan diri untuk supaya tercapai keridhoan dan makrifat
perjumpaan dengan-Nya. Hal ini agar lebih mendekatkan diri sebagai makhluk
dengan Kholik sehingga dapat meraih keuntungan akhirat. Kedua, zuhud sebagai
moral (akhlak) Islam, dan gerakan protes yaitu sikap hidup yang seharusnya
dilakukan oleh seorang muslim dalam menatap dunia fana ini. Dunia dipandang
sebagai sarana ibadah dan untuk meraih keridlaan Allah swt., bukan tujuan
tujuan hidup, dan di sadari bahwa mencintai dunia akan membawa sifat-sifat
mazmumah (tercela). Keadaan seperti ini telah dicontohkan oleh Nabi dan para
sahabatnya.
Kalau ditilik dari segi historis tasawuf,
menurut kalangan peneliti yang menjadi faktor penyebab munculnya antara lain:
a. Karena adanya “pious
opposition” (oposisi yang bermuatan kesalehan) dari sekelompok umat Islam
terhadap praktek-praktek regementer pemerintahan Bani Umayah di Damaskus.
b. Karena ada
sekelompok (dalam hal ini para sahabat) yang selalu ingin meniru seperti
pekerti Rasulullah Saw, khususnya Khulafa al-Rasyid.
Menurut Prof. Dr. H. Asmaran As, MA, bahwa asal-usul dan motivasi lahirnya tasawuf
adalah:
a. Beberapa asumsi
orang yang melatarbelakangi lahirnya tasawuf dalam Islam sepertiadanya unsur
kristen, teori filsafat, unsur India, unsur Persia.
b. Ayat-ayat Alquran
yang dijadikan landasan maqamat dan ahwal dalam tasawuf.
c. Kehidupan dan sabda
Rasulullah Saw
d. Kehidupan dan ucapan
sahabat dan Tabi’in, serta
e. Dari gerakan zuhud
menjadi tasawuf.
8.4 Para Tokoh Tasawuf dan Fahamnya
1. Hasan Basri
Meskipun ada banyak alternatif yang menjelaskan
munculnya sejarah tasawuf, narasi populer memberi tahu kita bahwa Ali bin Abi
Thalib atau Abu Bakar As-Shiddiq adalah generasi pertama para sufi. Dari waktu
ke waktu, sufisme berkembang luas, salah satunya adalah dengan hadirnya
pemikiran tasawuf dari Hasan Al-Basri.
Perilaku sufi pertama termasuk kerap
diidentikkan dengan sering menangis dan tidak tertawa, kesedihan terus menerus,
ketakutan dan cinta kepada Allah. Di antara tokoh- tokoh terkemuka dari periode
awal tasawuf itu antara lain Rabia al-Adawiyah, Said bin Musayyab, dan Hasan
al-Basri. Mereka dapat dicatat karena ketenaran mereka di kalangan Muslim dari
segala usia. Hasan Al-Basri khususnya dianggap sebagai patriarki tradisi sufi
oleh banyak orang.
Al-Basri lahir pada 642 Hijriyah, sembilan
tahun setelah kematian Nabi Muhammad SAW. Beliau dilahirkan di Madinah dari
pasangan Yaser dan Khayra. Atas kelahiran Al-Basri, keduanya membebaskan budak.
Hasan Al Basri dibesarkan dalam lingkaran keluarga Nabi.
Umar bin Khattab dikatakan telah memberikan
nama Hasan (yang berarti indah) kepadanya dan berdoa untuknya ketika ia masih
kecil. Dia bertemu lebih dari 100 sahabat Nabi, 70 di antaranya adalah ghazi
yang bergabung dengan Pertempuran Badr.
Hasan pergi ke Wadi al-Qura untuk belajar. Anas
bin Malik, seorang sahabat Nabi, adalah tutornya. Setelah itu, keluarga
Al-Basri pindah ke Basra setelah Pertempuran Siffin yang mengakibatkan
bentrokan politik bersenjata antar sekte.
Basra berfungsi baik sebagai pelabuhan
komersial dan sebagai pangkalan militer. Ekspedisi militer turun dari Basra ke
timur, beberapa di antaranya ikut Al-Basri. Ia menemani Rebi ibn Ziyad,
komandan salah satu ekspedisi semacam itu, sebagai juru tulisnya. Dia juga
berpartisipasi dalam ekspedisi militer lain di Kabul.
Setelah kembali ke Basra, Hasan bertindak
sebagai qadi (hakim Islam) tanpa dibayar untuk sementara waktu atas permintaan
gubernur, Suleiman ibn Harb. Setelah berhenti dari pekerjaannya, ia mulai
bergelut di bidang dakwah Muslim.
Dalam khutbah - khutbahnya, ia kebanyakan menggarisbawahi bahwa seorang Muslim sejati tidak hanya harus
menghindari dosa tetapi tetap berada dalam kecemasan yang terus-menerus
terhadap kenyataan bahwa kematian itu pasti, dan tidak ada yang bisa memastikan
nasib mereka sendiri di dunia lain. Mentalitas yang berhati-hati ini akan
mengarah pada fondasi asketisme dan mistisisme dalam Islam. Ajaran-ajaran Hasan
Al- Bashri adalah anjuran kepada setiap orang untuk senantiasa bersedih hati
dan takut kalau tidak mampu melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi
larangan- larangan-Nya Lebih jauh lagi, Hamka mengemukakan bahwa ajaran tasawuf
Hasan yaitu: Perasaan takut yang
menyebabkan hatimu tentram lebih baik dari pada rasa tentram yang menimbulkan perasaan takut. Dunia adalah negeri tempat
beramal. Barang siapa bertemu dunia dengan perasaanbenci
dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah darinya. Namun, barang siapa yang bertemu dunia dengan
perasaan rindu dan hatinya bertambal dengan dunia, ia akan sengsara dan akan
berhadapan dengan penderitaan yang tidak akan ditanggungnya.”
2. Ibrahim Bin Adham
Ibrahim bin Ad-ham bin Mansur bin Yazid bin
al-‘Ijli, lahir di Khurasan 112 H dan wafat di wilayah Romawi 165 H. Selama
menjadi penguasa di wilayah Balkhi yang menggantikan ayahnya sebagai Amir,
tiba-tiba selalu digoda oleh Malaikat, antara lain suatu ketika di atas atap
istananya berkejar-kejaran dua anak remaja yang mencari untanya yang hilang.
Setelah kedua anak itu dipaksa turun dari atap istana, lalu Ibrahim memarahinya
dengan mengatakan, mana ada unta yang hilang di atas atap istana ini, suatu hal
yang tidak bisa diterima oleh akal sehat. Kedua anak tersebut, membalas dengan
mengatakan, mana ada penguasa yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah,
padahal dia diliputi oleh kemewahan dunia. Tiba-tiba kedua anak itu menghilang
seketika, kemudian Ibrahim berkeyakinan bahwa dia adalah dua malaikat yang berupaya menegur kesalahan dirinya. Ibrahim
menyadari hal tersebut, sebagai suatu pelajaran besar baginya, sehingga ia
memilih meletakkan jabatan sebagai penguasa di Propinsi Balkhi, lalu mengembara
mencari guru tasawuf yang ditempati belajar dan menuntunnya untuk menekuni
berbagai macam ibadah. Maka ia bertemu dan belajar di beberapa ulama besar;
antara lain Imam Abu Hanifah (hidup 80-150 H/699-767 M), Sofyan al-Thauri
(hidup 94-161 H), dan Fuadail bin ‘Iyad (hidup 105-187 H/723-803 M).
Ia sangat alim dalam ilmu tasawufnya, dan
termasuk salah seorang guru Syaqiq al- Balkhi, wafat (194 H/810 M). Sebagai
seorang sufi, yang sebelumnya pernah menjadi penguasa yang diliputi kemewahan
dunia, ia sering menyampaikan nasehatnya kepada beberapa putra raja dengan
mengatakan: Jadikanlah Allah sebagai sahabatmu, lalu tinggalkan manusia jauh
(dibelakangmu). Selanjutnya ia mengatakan, tasawuf adalah keindahan dan
kebesaran hati menuju kepada kebebasan sejati, bukan kehidupan yang susah,
bukan pula meninggalkan fitrah, tetapi tasawuf adalah pilihan yang benar, hidup
zuhud, adil dan keutamaan yang dapat mengantarkan manusia kepada kesucian
batin. Dan setelah manusia dapat meninggalkan taqwa, hingga hamba dapat
beribadah dengan ikhlas. Maka memancarkanlah kesucian hati, untuk mendapatkan
hikmah yang luar biasa dari Allah SWT.
Kisah ini selanjutnya memaparkan bagaimana ia
mengembara dari suatu tempat ketempat lain dalam upaya menemukan jalan hidup
yang halal. Akhiranya ia hidup dari bekerja sebagai tukang kebun di Syria.
Namun akhirnya, orang tahu juga siapa dia sebenarnya. Maka pergilah dan
hiduplah ia digurun. Disana, kata Arberry, ia berkawan dengan zahid-zahid
Kristen. Dan secara eksplesit dia mengatakan bahwa tasawuf Islam itu
terpengaruh oleh ajaran Kristen.
Memang perlu menyelidikikan yang mendalam
tentang kebenaran pendapat Arberry ini, juga pendapat orientalis-orientalis
lainnya. Tapi serba sedikit maslah ini telah dibahas diatas. Ibrahim bin Adham
adalah salah seorang zahid di Khurasan yang sangat menonjol di zamannya.
Kendatipun dia putera seorang raja dan pangeran kerajaan Balkh, menurut
Nicholson, dia tidak terpesona oleh kekuasaan dan kerajaan yang dibawahinya.
Dia lebih suka memakai baju bulu domba yang kasar dan mengarahkan pandangannya
ke negri Syam (Syria), dimana ia hidup sebagai penjaga kebun dan kerja kasar
lainnya. Suatu ketika ia ditanya: “Mengapa anda menjauhi orang banyak?” Dia
menjawab: “Kupegang teguh agama didadaku. Dengannya aku lari dari satu negeri
ke negeri yang lain, dari bumi yang kutinggalkan menuju bumi yang akan
kudatangi. Setiap orang yang melihatku menyangka aku seorang pengembala atau
orang gila. Hal ini kulakukan dengan harapan aku bisa memelihara kehidupan
beragamaku dari godaan setan dan menjaga keimananku, sehingga selamat sampai ke
pintu gerbang kematian.
3. Rabiah Adawiyah
Rabiah diperkirakan lahir pada 713-717 M atau
95-99 H di Kota Basrah. Ia adalah ibu dari para sufi besar setelahnya.
Pandangan-pandangan spiritualnya terus hidup di kalangan sufi selanjutnya.
Ulama yang menaruh hormat kepadanya antara lain adalah Sufyan At-Tsauri,
Al-Hasan Al-Bashri, Malik bin Dinar, dan Syaqiq Al-Balkhi.
Rabi’ah al-Adawiyah adalah seorang sufi wanita
yang nama dan ajaran-ajarannya telah memberi inspirasi bagi para pecinta Ilahi.
Rabi’ah adalah seorang sufi legendaries. Sejarah hidupnya banyak diungkap oleh
berbagai kalangan, baik di dunia sufi maupun akademisi. Rabi’ah adalah sufi
pertama yang memperkenalkan ajaran Mahabbah (Cinta) Ilahi, sebuah jenjang
(maqam) atau tingkatan yang dilalui oleh seorang salik (penempuh jalan Ilahi).
Selain Rabi’ah al-Adawiyah, sufi lain yang memperkenalkan ajaran mahabbah adalah
Maulana Jalaluddin Rumi, sufi penyair yang lahir di Persia tahun 604 H/1207 M
dan wafat tahun 672 H/1273 M. Jalaluddin Rumi banyak mengenalkan konsep
Mahabbah melalui syai’ir-sya’irnya, terutama dalam Matsnawi dan Diwan-i
Syam-ITabriz.
Rabiatul Adawiyah ahli ibadah perempuan yang
kerap menangis dan bersedih karena ingat akan kekurangan-kekurangan dirinya di
hadapan Allah. Jika mendengar keterangan perihal neraka, Rabiah jatuh tak
sadarkan diri untuk beberapa saat. Rabiatul Adawiyah dapat dikategorikan
sebagai khawashul khawash dalam tingkatan Imam Al- Ghazali atau superistimewa,
tingkat tertinggi setelah tingkat orang kebanyakan (awam) dan tingkat orang
istimewa (khawash). Kalau kebanyakan orang beristighfar atau meminta ampunan
Allah atas dosa, Rabiah beristighfar untuk ibadah yang tidak sempurna. Rabiah
menganggap ibadahnya penuh kekurangan baik secara lahiriyah- formal maupun
batin-spiritual karena masih tercampur niat-niat yang kurang tulus dan segala
penyakit batin yang menyertai ibadah tersebut. Istighfar di akhir ibadah
merupakan pengakuan atas kekurangan dalam ibadah tersebut. Ahli makrifat
menyepakati anjuran istighfar usai beramal saleh.
Dalam riwayat, para sahabat bercerita bahwa
Rasulullah SAW beristighfar tiga kali tiap selepas sembahyang wajib. Maksudnya,
menetapkan syariat istighfar usai beramal bagi umatnya sekaligus mengingatkan
akan ketidaksempurnaan ibadah mereka. Baca juga: Mu‘adzah Al-Adawiyah, Sufi
Perempuan yang Melawan Mati dalam Lalai Kita kemudian mengenal ucapan yang
populer dari Rabiatul Adawiyah, “Istighfāruna yahtāju ilā istigfārin” atau
“Kalimat istighfar atau permohonan ampun kita (baca: ibadah) perlu juga
dimintakan ampun kembali.” (Al- Ghazali, Ihya Ulumiddin; An-Nawawi, Al-Adzkar;
dan As-Sya’rani, At-Thabaqatul Kubra: 65). Rabiah bukan tipe orang yang mudah
menerima pemberian orang lain. Ia begitu zuhud. Ia kerap menolak pemberian
orang lain. Ia akan dengan jujur mengatakan, “Aku tidak terlalu berhajat pada
dunia.”
Memasuki usia ke-80, fisiknya melemah. Tubuhnya
begitu kurus sehingga hampir- hampir jatuh ketika berjalan. Tempat sujud Rabiah
persis seperti tempat genangan air. Tempat sujudnya selalu basah dengan air
mata. Rabiah sering terlibat percakapan dengan Sufyan At-Tsauri. Suatu ketika,
ia mendengar Sufyan At-Tsauri menyatakan prihatin atas dirinya, “Alangkah
sedihnya.” Rabiah lalu menjawab, “Betapa kecil kesedihan itu. Andai aku
bersedih, niscaya tidak ada kehidupan di sana.” Sufyan At- Tsauri pernah berdoa
di dekat Rabiah, “Ya Allah, berikanlah ridha-Mu padaku.” Rabiah menanggapinya,
“Apakah kau tidak malu kepada Allah dengan meminta ridha-Nya. Sedangkan dirimu
tidak ridha atas ketentuan-Nya.” Sufyan AtTsauri kemudian beristighfar.
4. Zunnun Al-Misri
Abu al-Fayd Tauban bin Ibrahim bin Ibrahim bin
Muhammad al-Anshari (772 -860 M) yang dijuluki Sahib al-Hut (pemilik ikan). Ia
dikenal sebagai sufi yang mengembangkan teori tentang marifat. Marifat dalam terma sufistik memiliki pengertian yang berbeda dengan
istilah ― ilm, yakni sesuatu yang bisa diperoleh melalui jalan usaha dan proses
pembelajaran. Sedangkan marifat dalam terma sufi lebih merujuk pada pengertian salah satu
metode yang bisa ditempuh untuk mencapai tingkatan spiritual. Sebagaimana
diketahui bahwa kalangan sufi membedakan jalan sufistik ke dalam tiga macam:
(1) makhafah (jalan kecemasan dan penyucian diri; tokohnya adalah Hasan
al-Basri); (2) mahabbah (jalan cinta, pengorbanan dan penyucian diri, dengan tokohnya
Rabiah al- Adawiyah); (3) marifah
(jalan pengetahuan). Menurutnya, marifah
adalah fadl (anugerah) semata
dari Allah. Dan ini hanya bisa dicapai melalui jalan pengetahuan. Semakin seseorang mengenal Allahnya, maka semakin pula ia dekat,
khusyu dan mencintaiNya. Ia termasuk meyakini bahwa marifat sebenarnya adalah puncak dari etika baik vertical maupun
horizontal. Jadi, marifat terkait erat dengan syariat,
sehingga ilmu batin tidak menyebabkan seseorang dapat membatalkan atau
melecehkan kewajiban dari ilmu zahir yang juga dimuliakan oleh Allah. Demikian
pula, dalam kehidupan sesama, seorang - arif akan senantiasa mengedepankan
sikap kelapangan hati dan kesabaran dibanding
ketegasan dan keadilan.
Hakikat marifat bagi Dzun al- Nun al-Misri adalah al-Haq itu sendiri.
Yakni, cahaya mata hati seorang - arif dengan anugerah.
Dari-Nya sanggup melihat realitas sebagaimana al-Haq melihatnya. Pada
tingkatan marifat, seorang ― arif akan mendapati penyingkapan hijab (kasyf al-hijab). Dengan pengetahuan inilah,
segala gerakgerik sang ― arif senantiasa dalam kendali dan campur tangan Allah.
Ia menjadi mata, lidah, tangan dan segala macam perbuatan dari Allah. Dzunun
menegaskan bahwa, Aku marifat pada Allahku
sebab Allahku, andai
kata bukan karena Allahku, niscaya aku tidak akan marifat kepadaNya.
Ia membagi marifat menjadi tiga macam: (1) marifat
altauhid, yakni doktrin
bahwa seorang mumin bisa
mengenal Allahnya karena
memang demikian ajaran
yang telah dia terima;
(2) marifat al-hujjah
wa al-bayan, yakni
ma‖rifat yang diperoleh
melalui jalan argumentasi, nalar dan logika. Bentuk konkretnya, mencari
dalil atau argumen penguat dengan akal sehingga diyakini adanya Allah. Tetapi,
marifat kaum teolog ini belum bisa merasakan lezatnya marifat tersebut; (3)
marifat sifat alwahdaniyah wa al- fardhiyah, yakni marifat kaum muqarrabin yang mencari Allahnya dengan pedoman
cinta. Sehingga yang diutamakan adalah ilham atau fadl (limpahan karunia Allah)
atau kasyf (ketersingkapan tabir antara Allah dengan manusia). Karena pada
tingkatan ini, sebenarnya yang lebih berbicara adalah hati dan bukannya akal.
5. Abu Yazid Al-Bustami
Al-Busthami adalah orang pertama yang memakai
istilah fana sebagai kosa kata sufistik. Dia mengadopsi teori monisme dari
gnostisisme hindu-budha. Konsep muraqabah (pendekatan spiritual) yang
dipahaminya disejajarkan dengan ajaran samadi (meditation) yang pada puncaknya
mencapai ekstase (fana) di mana terjadi penyatuan antara ―yang mendekat (muraqib, yakni sufi) dan ―yang didekati (muraqab, yakni Allah). Pada konteks ini
diketahui bahwa Busthami memilah antara konsep ibadah dan marifah di mana ahli
ibadah (ritual normatif)
dipersepsikan sebagai orang
yang jauh untuk dapat
meraih marifah (tingkat
spiritualitas hasil pendakian
sufistik). Harun Nasution
memandang bahwa ittihad (yang menjadi teori sentral darial-Busthami) tampak
sebagai suatu tingkatan dalam tasawuf di mana yang mencintai dan yang dicintai
telah menjadi satu, sehingga salah satu kepada yang lainnya dapat saling
berkata: hai aku (ya ana!).
Konsep
ittihad ini merupakan
pengembangan dari konsep fana
dan baqa yang dicetuskannya. Menurutnya, setelah mencapai marifat,
seseorang dapat melanjutkan kepada maqam
selanjutnya yaitu fana,
baqa dan
akhirnya ittihad. Fana adalah penyirnaan diri dari sifat
keduniawian yang dilukiskan laksana kematian jasad dan lepasnya roh menuju
kepada kekekalan (baqa) dan dari sini dapat melangkah kepada penyatuan
denganAllah (ittihad). Pada titik ini kerap terjadi apa yang diistilahkan
dalamdunia sufi sebagai syatahat atau keadaan tidak sadar karena telah terjadi
penyatuan di mana dia seolah menjadi Allah
itu sendiri. Konsep fana sebenarnya memiliki beberapa
pemaknaan yang dapat diikhtisarkan sebagai berikut: (1) ungkapan majazi bagi
penyucian jiwa dari hasrat-hasrat keduniawian; (2) pemusatan akal untuk
berpikir tentang Allah semata dan bukan selainnya; (3) peniadaan secara total
kesadaran atas eksistensi diri dengan meleburkan kesadaran dalam eksistensi
Allah semata. Inilah yang disebut sebagai fi al-fana fana (peniadaan dalam peniadaan) atau baqa fi
Allah (menyatu dalam Allah)
6. Al-Hallaj
Al-Hallāj (858-922 M) merupakan seorang
proponen paling awal yang disebut-sebut menerima klaim keselamatan eskatologis
di luar Islām. Diantara tebaran pemikirannya, memang terdapat ideide yang dapat
dipersepsi sebagai sumbangsihnya bagi paham pluralisme agama yang sekarang
menjadi wacana keislaman aktual. Semisal yang terekamdalamtafsirnya atas kisah
Musa ketika diajak bicara oleh Allāh, yang tampak di mata telanjangnya sebagai
pohon belukar api (burning bush) yang berbicara. Pelajaran yang bisa diambil
adalah, bahwa ketika seseorang telah sampai padatitik kesadaran diri di mana ia
terserap ke dalam hakikat kebenaran, maka kebenaran itu tampak hadir dalam
setiap apa yang dilihatnya secara lahir. Paham al-Hallāj didasarkan pada
pandangannya tentang Tauhid, di mana Allah adalah satu, unik, sendiri, dan
terbukti satu (one, unique, alone, and attested one). Maka tauhid dalam
keyakinannyapun mempersilakan kehadiran konsep keAllahan yang beraneka ragam.
Baginya, Allah tak dapat disifati dengan apapun. Penyifatan justru hanya akan
membatasiNya.
Dari sinilah terpahami mengapa ia tidak menyoal
penyembahan melalui konsep monoteisme dan politeisme, karena pada dasarnya,
kufur dan iman itu hanya berbeda dari segi nama dan logikanya, yakni antara
yang satu dan banyak, bukan dari segi hakikatnya. Menurutnya, jika ditelusuri,
niscaya akan dijumpai bahwa kepercayaan- kepercayaan tersebut akan mengarah
kepada satu Allah. Al-Hallāj mengatakan jika perenungannya terhadap agama-agama
yang berbeda telah menghasilkan simpulan yang mengantarnya pada pemahaman bahwa
ternyata terdapat suatu prinsip unik yang merajut keseluruhan agama-agama
tersebut. Prinsip tersebut akan hadir dengan sendirinya kepada seseorang
sehingga mampu memahaminya. Maka dari itu, seseorang tak usahlah dipinta agar
memeluk suatu kepercayaan, karena hal itu justru dapat menjauhkannya dari
meraih prinsip yang fundamental tersebut.
Pemikiran al-Hallāj ini terkait erat dengan
pemikirannya tentang konsep hulul dan Nur Muhammad. Al-Hallāj memang seorang
tokoh yang terkenal dengan ucapannya, ―Ana al-Haqq (Akulah Allāh). Dijelaskan
oleh Mahmud jika ucapan hululiyah-nya tersebut tidak tepat jika dimaknai
sebagai kesatuan diri hamba dan diri Allahnya sebagaimana terpahami oleh konsep
kesatuan wujudnya (Wahdat al-Wujud) Ibn―Arabī. Sedangkan Nūr Muhammad adalah
konsep yang menegaskan emanasi wujud segala sesuatu, termasuk para nabi, dari cahaya
Muhammad (di alam azali); sehingga pada prinsipnyasemua agama adalah sama
karena memancar dari jalan petunjuk yang satu. Maka dari itu, al-Hallāj
menyalahkan mereka yang menyalahkan agama orang lain. Hal penting baginya
adalah hakikat, bukan bentuk lahirnya. Selaras dengan pandangan tersebut,
relevan jika dikemukakan juga pemikiran tentang kewalian (wilāyah). Kewalian
adalah intisari (jauhar) kenabian, sehingga seseorang yang telah mencapai
derajat kewalian yang sempurna, maka
syariat yang dibawa
para nabi tidak
lagi mengikat dirinya. Pemikiran ini di kemudian hari dinilai menjadi
lahan subur bagi perkembangan pemikiran
tentang kesatuan ibadah
(tauhid al-ibādah)dan kesatuan agama-agama (wahdat al-adyān) dalam
aliran Ibn ― Arabī.
7. Ibn Arabi
Ada dua figur besar dalam dunia Islam yang
menyandang nama “Ibn ‘Arabi>”. Keduanya berasal dari Andalusia (Spanyol).
Pertama, Abu> Bakr Muhammad Ibn ‘Abd Allah Ibn al-‘Arabi al-Ma’a>rifi>
(468-543/1076-1148), seorang pakar hadis
dari sevilla, pengarang kitab Ah}ka>m al-Qur’a>n. Ia adalah mantan
qa>dli> di kota ini, beliau dikenal dengan sebutan Ibn al-‘Arabi, tetapi
kemudian mengundurkan diri dan mengabdikan hidupnya sepenuhnya dengan menulis
dan mengajar. Kedua, Abu Bakr Muhammad Muhy al-Din al-Andalusi, di Andalusia
beliau dikenal dengan sebutan Ibn Suraqah, sedangkan di negeri Timur beliau
dikenal dengan sebutan Ibn ‘Arabi tanpa memakai artikel al. Ibn ‘Arabi inilah
yang menjadi fokus kajian ini, yang bergelar Muḥy al-Dīn (Penghidup Agama) dan
Shaikh al-Akbar (doctor maximus).
Nama Ibn ‘Arabi> tentu sudah tidak asing
lagi. Mengenal sosoknya, berarti berkenalan dengan sebuah figur yang sangat
komplek. Selain terkenal sebagai seorang sufi, Ibn ‘Arabi juga dikenal luas
dalam kapasitasnya sebagai pengarang dan penyair yang produktif. Kepopuleran
Ibn ‘Arabi ini bisa dipahami mengingat.
kehidupannya yang unik dan pemikirannya yang
kontroversial. Dalam sepuluh abad terakhir, kebesaran nama Ibn ‘Arabi> di
dunia Islam mungkin hanya dapat ditandingi oleh al-Ghaza>li>, seorang
pemikir yang dikenal luas berpengaruh terhadap dunia Sunni. Namun, sedikit
berbeda dengan al-Ghazali, pengaruh Ibn ‘Arabi agaknya lebih luas sehingga ia
diterima oleh hampir semua kalangan, baik Sunni maupun Syi’ah.
Ibn ‘Arabi lahir pada 17 Ramadhan 560 H/28 Juli 1165 M, di
Mursia, Spanyol bagian tenggara. Tahun kelahirannya yang bertepatan dengan
tahun wafatnya sufi besar Shaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani menimbulkan spekulasi
bahwa Ibn ‘Arabi memang dilahirkan untuk menggantikan kedudukan spiritual
Shaikh ini, yang dikenal luas di dunia Islam atau Barat sebagai seorang wali,
“kekasih Tuhan”.
Ibn ‘Arabi lahir di tengah situasi Andalusia
yang tak menentu. Peperangan dan pemberontakan menjadi ancaman yang
sewaktu-waktu muncul ke permukaan. Penyebab tidak stabilnya kondisi ini adalah
ancaman penaklukan Andalusia oleh sekelompok tentara Kristen yang menyebut diri
mereka sebagai Reconquista (para penakluk). Upaya Reconquista yang dimulai
dengan penaklukan Toledo pada 1085 oleh Alphoso VI dan berlanjut dengan
penaklukan Saragosa pada 1118, dengan segera mendapat tanggapan keras Dinasti
al-Murabitun yang berkuasa pada waktu itu. Perang dan perebutan kekuasaan sejak
al-Murabitun berkuasa hingga kemudian digantikan oleh Dinasti Muwahhidun, sejak
saat itu selalu mendominasi suasana sosial dan politik Andalusia.
Di tengah suasana itulah Ibn ‘Arabi tumbuh dan
berkembang dewasa. Ibn ‘Arabi beruntung lahir di tengah keluarga terpandang.
Ayahnya adalah seorang pejabat tinggi istana al-Muwahhidun yang terkenal saleh
dan terpercaya. Ia menduduki jabatan sebagai orang kepercayaan istana
berturut-turut pada dua masa kepemimpinan Abu Ya’qub Yusuf dan raja al-Mu’min
III, Abu Yu>suf al-Mansur. Sedangkan dari pihak ibu, Ibn ‘Arabi memiliki
seorang paman yang juga penguasa di Tlemcen bernama Yahya ibn Yughan al-Sanhaji.
Sejak saat itu Ibn ‘Arabi berkelana ke berbagai
tempat di Spanyol dan Afrika Utara. Kegemaran untuk melakukan perjalanan jauh
ini membawa Ibn ‘Arabi muda berkenalan dengan banyak intelektual pada zamannya.
Dalam interaksinya dengan para cendekiawan itu, Ibn ‘Arabi tidak
membeda-bedakan para sufi dengan para teolog serta sarjana-sarjana lain. Semua
orang yang bisa ditemuinya, dijadikan guru dan sahabat untuk terus memperkaya
wawasan dan pengalaman religiusnya. Tidak heran bila guru-guru Ibn ‘Arabi
sangatlah banyak dan mencakup banyak mazhab dan aliran.
Pada tahun yang sama pula Ibn ‘Arabi
mengunjungi ‘Abd al-‘Aziz alMahdawi, seorang guru sufi yang sangat dihormati
Ibn ‘Arabi lantaran kedalaman wawasannya tentang filsafat dan tasawuf. Dari
al-Mahdawi, Ibn ‘Arabi mempelajari karya Ibn Barrajan yang cukup monumental
pada saat itu, karya al-Hikmah. Seperti halnya Ibn Qashi, Ibn Barrajan dikenal
luas sebagai seorang sufi yang suka memberontak terhadap penguasa setempat. Ia
terlibat konflik dengan penguasa alMurabitun karena ajaran- ajarannya serta
kegigihannya dalam mempertahankan keyakinannya, membuatnya tetap dihormati
sebagai salah seorang sufi yang paling berpengaruh di Andalusia.
8.5 Peranan Tasawuf dalam Masyarakat Modern
Modernitas senyatanya tidak hanya menghadirkan
dampak positif, tapi juga dampak negatif. Sementara modernitas dengan niscaya
terus bergerak dengan tanpa memperdulikan apakah di balik gerakannya terdapat
bias negatif. Modernitas yang merupakan kristalisasi budi daya manusia adalah
keharusan sejarah yang tak terbantahkan, dengan demikian satu-satunya yang
dapat dilakukan adalah menjadi partisipan aktif dalam arus perubahan
modernitas, sekaligus membuat proteksi dari akses negatif yang akan
dimunculkan. John Naisbitt dan Patricia Aburdene mengatakan bahwa dalam kondisi
seperti ini, maka agama merupakan satu tawaran dalam kegersangan dan kehampaan
spiritualitas manusia modern. Kondisi
kekinian telah membawa orang jauh dari Tuhannya. Untuk itu, jalan untuk
membawanya kembali adalah dengan menginternalkan nilai-nilai spritual (dalam
Islam disebut tasawuf) atau membumikannya dalam kehidupan masa kini. Salah satu
tokoh era modern yang begitu sungguh-sungguh memperjuangkan internalisasi
nilai-nilai spritual Islam adalah Sayyid Husein Nashr. Ia melihat datangnya
malapetaka dalam manusia modern akibat hilangnya spritualitas yang sesungguhnya
inhern dalam tradisi Islam. Bahkan beliau juga menyesali tindakan akomodatif
dari kalangan modernis dan reformis dunia Islam yang telah berakibat
menghancurkan seni dan budaya Islam serta menciptakan kegersangan dalam jiwa
seorang muslim.
Dalam situasi kebingungan seperti ini,
sementara bagi mereka selama berabad-abad Islam dipandangnya dari isinya yang
legalistik formalistis, tidak memiliki dimensi esoteris (batiniah) maka kini
saatnya dimensi batiniyah Islam harus diperkenalkan sebagai alternatif. Menurut Komarudin Hidayat yang dikutip oleh
Abudin Nata sufisme perlu untuk dimasyarakatkan dengan tujuan: Pertama, turut
serta terlibat dalam berbagai peran dalam menyelamatkan kemanusiaan dari
kondisi kebingungan akibat hilangnya nilai-nilai spritual. Kedua,
memperkenalkan literatur atau pemahaman tentang aspek esoteris (kebatinan
Islam), baik terhadap masyarakat Islam yang mulai melupakannya maupun non Islam, khususnya terhadap masyarakat
Barat. Ketiga, untuk memberikan penegasan kembali bahwa sesungguhnya aspek
esoteris Islam, yakni sufisme, adalah jantung ajaran Islam, sehingga bila
wilayah ini kering dan tidak berdenyut, maka keringlah aspek-aspek yang lain
ajaran Islam.
Islam memiliki semua hal yang diperlukan bagi
realisasi kerohanian dalam artian yang luhur. Tasawuf adalah kendaraan pilihan
untuk tujuan ini. Oleh karena tasawuf merupakan dimensi esoterik dan dimensi
dalam daripada Islam ia tidak dapat dipraktekkan terpisah dari Islam, hanya
Islam yang dapat membimbing mereka dalam mencapai istana batin kesenangan dan
kedamaian yang bernama tasawuf. Tasawuf tidak didasarkan atas penarikan diri
secara lahir dari dunia melainkan didasarkan atas pembebasan batin. Pembebasan batin
dalam kenyataan bisa berpadu dengan aktivitas lahir yang intens. Tasawuf sampai
kepada perpaduan kehidupan aktif dan kontemplatif selaras dengan sifat
penyatuan Islam sendiri terhadap kedua bentuk kehidupan ini. Kekuatan rohani
Islam menciptakan suatu iklim di dalam kehidupan lahiriah melalui aktivitas
yang intens. Nurcholis Majid sebagaimana yang dikutip oleh Simuh mengatakan
bahwa sebagai sistem ajaran keagamaan yang lengkap dan utuh Islam memberi
tempat kepada jenis penghayatan keagamaan yang lengkap dan utuh. Islam memberi
tempat kepada jenis penghayatan keagamaan eksoterik (lahiri) dan esoterik
(batini) sekaligus.
Tasawuf bukan berarti mengabaikan nilai-nilai
syari’at (nilainilai formalistik dalam Islam). Tasawuf yang benar adalah adanya
tawazun (keseimbangan) antara keduanya yaitu unsur lahir (formalistik) dan
batin (substansialistik). Untuk betul-betul membumikan tasawuf (nilai-nilai
spiritual Islam) di era kekinian atau dalam rangka mensosialisasikan tasawuf
untuk mengatasi masalah moral yang ada pada saat ini diperlukan adanya
pemahaman baru (interpretasi baru) terhadap term-term tasawuf yang selama ini
dipandang sebagai penyebab melemahnya daya juang di kalangan umat Islam yang
akhirnya menghantarkan umat Islam menjadi mandeg (statis). Fazlur rahman
mengatakan bahwa tidak dapat diragukan lagi bahwa pada dasarnya sufisme
mengemukakan kebutuhankebutuhan religius yang penting dalam diri manusia. Yang
perlu kita lakukan pada saat sekarang ini adalah mengambil unsur-unsur yang
diperlukan tersebut, memisahkan unsur-unsur tersebut dari serpihan-serpihan
yang bersifat emosional dan sosiologikal, dan mengintegrasikan unsur-unsur
tersebut ke dalam suatu Islam yang seragam dan integral.
Intisari ajaran tasawuf adalah bertujuan
memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga orang merasa
dengan kesadarannya itu berada dihadirat-Nya. Kemampuan berhubungan dengan
Tuhan ini dapat mengintegrasikan seluruh ilmu pengetahuan yang nampak
berserakan. Karena melalui tasawuf ini seseorang disadarkan bahwa sumber segala
yang ada ini berasal dari Tuhan, bahwa dalam faham wahdatul wujud, alam dan
manusia yang menjadi objek ilmu pengetahuan ini sebenarnya adalah bayang-
bayang atau foto copy Tuhan. Dengan cara demikian antara satu ilmu dengan ilmu
lainnya akan saling mengarah pada Tuhan. Dengan adanya bantuan tasawuf, maka
ilmu pengetahuan satu dan lainnya tidak akan bertabrakan, karena ia berada
dalam satu jalan dan satu tujuan. Tasawuf melatih manusia agar memiliki
ketajaman bathin dan kehalusan budi pekerti, sikap bathin dan kehalusan budi
yang tajam ini menyebabkan ia akan selalu mengutamakan pertimbangan kemanusiaan
pada setiap masalah yang dihadapi, dengan cara demikian, ia akan terhindar dari
melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela menurut agama.
Selanjutnya tasawuf melatih manusia agar
memiliki ketajaman batin dan kehalusan budi pekerti. Sikap batin dan kehalusan
budi pekerti yang tajam ini menyebabkan ia akan selalu mengutamakan
pertimbangan kemanusiaan pada setiap masalah yang dihadapi. Dengan cara
demikian, ia akan terhindar dari melakukan perbuatan- perbuatan yang tercela
menurut agama. Sikap materialistik dan hedonistik yang merajalela dalam
kehidupan modern ini dapat diatasi dengan menerapkan konsep zuhud
(asketisisme). Dalam Islam asketisisme ini mempunyai pengertian khusus. Ia
bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi, tetapi merupakan
hikmah yang membuat penganutnya mempunyai visi khusus terhadap kehidupan, di
mana mereka tetap bekerja dan berusaha, namun kehidupan duniawi itu tidak
menguasai kecendrungan hati mereka, serta tidak membuat mereka mengingkari
Tuhannya. Konsep zuhud, yang pada intinya sikap tidak mau diperbudak atau
terperangkap oleh pengaruh duniawi yang sementara itu, atau menghindarkan diri
dari kecendrungan-kecendrungan hati yang terlalu mencintai dunia.
Jika sikap ini telah mantap, maka ia tidak akan
berani menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan. Sebab tujuan yang ingin
dicapai dalam tasawuf adalah menuju Tuhan, maka caranya pun harus ditempuh
dengan cara yang disukai oleh Tuhan. Selanjutnya sikap frustasi, putus asa
dapat diatasi dengan sikap ridha yang diajarkan dalam tasawuf, yaitu selalu
menerima terhadap segala keputusan Tuhan setelah berusaha dengan semaksimal
mungkin. Ajaran Uzlah yang terdapat dalam tasawuf, yaitu usaha mengasingkan
diri dari terperangkap oleh tipu daya keduniawiaan, dapat pula digunakan untuk
membekali manusia modern agar tidak menjadi sekruft dari mesin kehidupannya,
yang tidak tahu lagi arahnya mau dibawa ke mana. Tasawuf dengan konsep
uzlahnya, berusaha membebaskan
manusia dari perangkap-perangkap kehidupan yang memperbudaknya. Ini tidak
berarti seseorang harus jadi pertapa, ia tetap terlibat dalam berbagai kehidupan, tetapi
tetap mengendalikan aktifitasnya sesuai ddengan nilai-nilai ketuhanan, dan
bukan sebaliknya larut dalam pengaruh keduniaan.
Gangguan-gangguan kejiwaan yang diderita oleh
manusia modern, ternyata bisa diobati dengan terapi tasawuf, sebagaimana
dikatakan Omar Alishah dalam bukunya “Tasawuf Sebagai Terapi” menawarkan cara
Islami dalam pengobatan gangguan kejiwaan yang dialami manusia, yaitu dengan
cara melalui terapi sufi. Terapi tasawuf bukanlah bermaksud mengubah posisi
maupun menggantikan tempat yang selama ini di dominasi oleh medis, justru cara
terapi sufi ini memiliki karakter dan fungsi melengkapi. Karena terapi tasawuf merupakan
terapi pengobatan yang bersifat alternatif. Tradisi terapi di dunia sufi
sangatlah khas dan unik. Ia telah dipraktekkan selama berabad-abad lamanya,
namun anehnya baru di zaman-zaman sekarang ini menarik perhatian luas baik di
kalangan medis pada umumnya, maupun kalangan terapis umum pada khususnya.
Karena menurut Omar Alisyah, terapi sufi adalah
cara yang tidak bisa diremehkan begitu saja dalam dunia terapi dan penanganan
penyakit (gangguan jiwa), ia adalah sebuah alternatif yang sangat penting.
Tradisi sufi (tasawuf) sama sekali tidak bertujuan mengubah pola-pola terapi
psikomodern dan terapi medis dengan terapi sufis yang penuh dengan spiritual,
sebaliknya apa yang dilakukan Omar justru melengkapi dan membatu konsepkonsep
terapi yang telah ada dengan cara mengoptimalkan peluang kekuatan individu seseorang
untuk menyembuhkan dirinya, beberapa tehnik yang digunakan Omar Alishah dalam
upaya terapeutik yang berasal dari tradisi-tradisi tasawuf antara lain yaitu
tehnik “transmisi energi dan tehnik metafor”, Menurut Jalaluddin Rahmat, di
seluruh dunia sekarang ini, timbul kesadaran betapa pentingnya memperhatikan
etika dalam pengembangan sains. Jadi sains harus dilandasi dengan etika, tapi
karena etika akarnya adalah pemikiran filsafat, maka diperlukan akhlak yang
bersumber pada al Qur’an dan al Hadits.
BAB
9 MENYIKAPI PERBEDAAN PENDAPAT
DALAM ISLAM
9.1 Pengertian Mazhab
Kata mazhab berasal dari bahasa Arab,
yang artinya tempat pergi, rujukan, atau sandaran dalam mengamalkan ibadah.
Selain itu, mazhab juga dapat berarti aliran (firqah), golongan (thaifah), dan
sekte.
Menurut Ali Hasan, mazhab adalah
mengikuti hasil seorang ijtihad seorang Imam tentang hukum suatu masalah atau
tentang kaidah-kaidah istinbatnya.
Menurut M. Husain Abdullah,
madzhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang
digali dari dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah (qawa’id) dan
landasan (ushul) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu
sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.
Jadi, mazhab adalah pokok
pikiran dasar yang digunakan oleh Imam mujtahid dalam memecahkan masalah atau
mengistibathkan hukum Islam.
9.2 Syarat dan Fungsi Mazhab Ijtihad
Mazhab
memiliki fungsi sebagai sandaran, rujukan (referensi), dan sumber pengetahuan
dan pegangan bagi masyarakat dalam mencari suatu jawaban masalah yang dihadapi.
Keadaan demikian dilakukan, karena pendapat yang terdapat dalam mazhab ini
dibuat atau disusun oleh ahli dalam bidangnya yang selanjutnya disebut
mujtahid. Pendapat para mujtahid ini dianggap representatif dan dapat
diandalkan, karena di dalam melahirkan ketetapan atau pendapat tersebut mereka
melakukan ijtihad, yaitu mencurahkan tenaga, memeras pikiran, berusaha
sungguh-sungguh, bekerja secara maksimal. Selain itu, seorang mujtahid adalah
orang yang menggunakan segala kesanggupan daya rohaniah untuk mengeluarkan
hukum syara', menyusun suatu pendapat dari suatu masalah hukum berdasar
Al-Qur'an dan Sunah. Orang yang melakukan ijtihad dinamakan mujtahid dan
persoalan yang dipertimbangkannya disebut mujtahad fiqh.
Ijtihad
dengan artinya yang demikian itu sangat diperlukan, karena ia dapat menopang
risalah Islam yang abadi. Ia menjadi bukti bagi manusia, bahwa Islam selalu
memberikan pintu terbuka buat intelek manusia yang selalu berusaha mencari
kebenaran dan kebaikan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidup manusia.
Ijtihad dalam Islam bukan saja diperkenankan melainkan diperintahkan.
Tentang
diperkenankan atau diperintahkannya berijtihad tersebut, selain dapat dipahami
dari sekian banyak ayat Al-Qur'an yang memerintahkan manusia berpikir
(menggunakan akal sehatnya), juga dapat dipahami dari Hadis Rasulullah SAW yang
berisi dialog beliau dengan sahabatnya Mu'adz bin Jabal, ketika Nabi mengangkat
dia menjadi gubernur di Yaman. Dialog ini selengkapnya ber bunyi:
Nabi:
"Bagaimana engkau akan memutuskan perkara yang dibawa Orang
kepadamu?"
Mu'adz:
"Hamba akan memutuskan menurut Kitabullah (Al-Qur'an)."
Nabi:
"Dan jika di dalam Kitabullah engkau tidak menemukan sesuatu mengenai soal
itu?"
Mu'adz:
"Jika begitu, hamba akan memutuskan menurut Sunah Rasulullah."
Nabi:
"Dan jika engkau tidak menemukan sesuatu mengenai hal itu di dalam Sunah
Rasulullah?"
Mu'adz:
"Hamba akan menggunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (ajta hidu bi
ra'yi), tanpa bimbang sedikit pun."
Nabi:
"Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah menyebabkan utusan
Rasul-Nya menyenangkan hati Rasulullah.”
Selanjutnya,
sebagaimana diketahui bahwa Al-Qur'an dan Al-Sunah merupakan pedoman hidup yang
dapat menjamin manusia yang berpegang pada duanya untuk tidak tersesat
selamanya. Sebagai pedoman hidup, Al-Qur'an ajaran yang berkaitan dengan
masalah akidah, ibadah, akhlak, dan muamalabso sial ekonomi, politik, hukum,
pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, dan lain sebagainya. Namun demikian,
sebagian besar ayat-ayat Al-Quran yang memat berbagai ajaran tersebut tampil
dalam bentuk isyarat isyarat yang umum yang apabila ingin diterapkan dalam
kehidupan membutuhkan penjelasan dari Hadis, dan jika tidak ada penjelasannya
dalam Hadis, maka dengan menggunakan al rayu (pemikiran) melalui kegiatan
ijtihad.
Guna
menjamin hasil ijtihad tersebut benar-benar dapat dipertanggungjawabkan, baik
secara akademik dan moral, maka seorang mujtahid yang dapat melakukan ijtihad
tersebut diharuskan memiliki persyaratan yang ketat, antara lain menguasai
bahasa Arab dengan segala cabangnya, menguasai ilmu Al-Qur'an dan ilmu Hadis
dengan berbagai cabangnya, menguasai ilmu fikih dan ilmu shul fiqh, memiliki
keahlian ilmu tertentu, memiliki kepribadian dan akhlak yang mu lia, serta
kesungguhan untuk memajukan dan memuliakan Islam. Sebelum sese orang memiliki
persyaratan yang demikian ini, sebaiknya seseorang menahan diri lebih dahulu
untuk tidak berijtihad secara mutlak. Untuk sementara waktu. Sambil mempersiapkan diri dengan persyaratan
ini, maka sebaiknya seseorang berpegang pada hasil pemikiran seorang mujtahid
dengan sikap yang objektif, kritis, dan tidak fanatis. Dengan cara demikian, ia akan membuka diri untuk
menerima setiap hasil pemikiran mujtahid mana pun yang sesuai dengan ajar an
Al-Qur'an dan Al-Sunah, situasi dan kondisi, serta lingkungan sosial, politik,
dan budaya yang sesuai pula. Selanjutnya, secara bertahap, ketika ia sudah
mulai memiliki dasar-dasar yang kuat serta persyaratan mujtahid yang
diperlukan, ba rulah ia berijtihad dalam batas-batas yang disesuaikan dengan
kemampuannya. la misalnya kembali pada Al-Qur'an dan Al-Sunah, tetapi dengan
memerhatikan pendapat para imam mujtahid yang telah berijtihad terhadap masalah
yang se dang dipikirkan oleh si mujtahid tersebut. Dengan kata lain, sebelum ia benar benar menjadi seorang mujtahid yang
mutlak (independent), ia terlebih dahulu dapat menjadi mujtahid yang bersandar
pada pendapat mujtahid lain atau yang lebih dikenal dengan mujtahid fi
al-madzhab, atau mujtahid muqayyad.
9.3 Sebab-sebab Timbulnya Berbagai Mazhab
Terdapat
sejumlah faktor yang menjadi penyebab lahirnya berbagai mazhab seperti berikut
ini:
Pertama,
adanya ayat-ayat Al-Qur'an yang memiliki makna yang lebih dari satu arti (ayat
musytarak), makna yang multitafsir (interpretable), makna yang tidak tegas
(mutasyahihat), makna yang global (umum), dan makna yang singkat Cijaz).
Menghadapi ayat-ayat yang karakternya seperti ini, para mujtahid menaf sirkanya
dengan cara-cara yang berbeda-beda. Misalnya kata lamastum pada ayat aulamastum
al-nisa (QS. al-Maidah, 5: 6) mengandung arti hakiki yakni bersen tuh kulit,
dan mengandung arti majazi, yakni melakukan hubungan suami istri (senggama).
Perbedaan pemaknaan terhadap ayat ini menimbulkan penetapan hukum yang
berbeda-beda. Bagi ulama, seperti mazhab Syafil yang mengartikan lamastum
bersentuh kulit dengan perempuan yang bukan muhrim, maka men jadi batal
wudhunya. Adapun bagi mazhab Abu Hanifah yang mengartikan la mastum bersetubuh,
maka kalau hanya bersentuh kulit tidaklah batal wudhunya.
Kedua,
adanya Hadis-Hadis Nabi Muhammad SAW yang derajatnya bukan Hadis mutawatir,
melainkan Hadis ahad. Setelah dilakukan penelitian terhadap Hadis akad ini oleh
para ulama, hasilnya berbeda-beda. Ulama yang satu meng anggap Hadis ahad ini
derajatnya shahih, sedangkan ulama yang satu lagi menilai Hadis ahad ini
derajatnya dha'if. Perbedaan dalam penilaian derajat Hadis ini mengakibatkan
terjadinya perbedaan dalam penetapan hukum tersebut. Misal nya, Hadis tentang
kesiangannya Rasulullah SAW di bulan Ramadhan dalam ke adaan berhadas besar.
Sebagian mengatakan bahwa Rasulullah SAW melanjutkan puasanya ini, dengan
berdasarkan pada keterangan yang diberikan oleh Siti Ai syah dan puasanya sah.
Sebagian lain mengatakan bahwa Rasulullah melanjutkan puasanya ini hanya
sekadar menghormati, namun puasanya ini dianggap tidak sah, dan harus
membayarnya di hari yang lain, dengan berdasar pada keterangan yang diberikan
oleh Abu Hurairah. Sebagian ulama lebih berpegang kepada kete rangan yang
diberikan Siti Aisyah daripada keterangan yang diberikan oleh Abu Hurairah.
Alasannya ialah karena selain sebagai sahabat Nabi, Siti Aisyah juga sebagai
istrinya, sehingga pendapatnya dianggap lebih kuat daripada pendapat Abu
Hurairah.
Ketiga,
adanya perbedaan kondisi geografis dan lingkungan sosial. Sebagai mana
diketahui, di antara para ulama mujtahid tersebut bertempat tinggal di wilayah
yang keadaan geografis dan lingkungannya berbeda-beda antara satu dan lainnya.
Abu Hanifah misalnya banyak tinggal di Kufah yang saat itu sudah merupakan kota besar yang sudah maju, dan kosmopolitan.
Keadaan masyara katnya sudah lebih terdidik, lebih maju, dan permasalahan yang
timbul sangat kompleks dan beragam. Sedangkan jumlah para pakar Hadis di daerah terseb sangat
terbatas. Keadaan ini mazhab Abu Hanifals banyak berp gang pada akal pikiran
dalam bentuk istikoan dan qiyas (analog) yang bank menggunakan akal pikiran,
dan karenanya bersifat rasional Sementara itu Malik banyak tinggal di Madinah
yang saat ini keadaan masyarakatnya belum semaju masyarakat Kufah, dan jumlah
pakar Hladis melebihi kebutuhan, karen Madinah adalah kota Nabi, dan juga
berarti gudang Hadis. Keadaan ini menye babkan Imam Malik banyak berpegang ada
Hash Al-Qur'an dan Hadis dalam melahirkan ijtihadnya, dan karenanya bersifat
tradisional. Dalam pada itu, Imam Syafi'i yang pernah hidup di dua tempat,
yaitu di Kufah yang keadaannya sebagai kota yang maju, dan di Mesir, yang pada
saat itu keadaan masyarakatnya masih sebagai desa yang tradisional. Keadaan ini
menyebabkan Imam Syafi'i memilik dua corak hasil ijtihad yang berbeda, yaitu
hasil ijtihadnya ketika berada di Kufah yang dikenal dengan pendapat yang lama
(qaul qadim), dan hasil ijtihadnya ke tika berada di Mesir yang selanjutnya
dikenal dengan pendapat yang baru (qaul jadid).
Keempat,
tingkat kecerdasan, wawasan dan kegeniusan mujtahid. Kegiatan ijtihad atau
mengeluarkan produk hukum dan lainnya telah ada sejak zaman Rasulullah SAW dan
para sahabatnya. Sebagai manusia biasa, Rasulullah SAW juga sering berijtihad,
dan ijtihadnya ada pula yang dikoreksi oleh Allah SWT. Demikian pula para
sahabat sering berijtihad. Karena tingkat kecerdasan, wawasan dan kegeniusan
sahabat juga berbeda-beda, maka hasil ijtihadnya juga berbeda-beda. Umar Ibri
Khattab misalnya dikenal sebagai sahabat yang genius, berani menggunakan akal
pikiran, dan lebih berpikir substantif daripada forma listik. Keadaan Umar bin
Khattab yang demikian itu menyebabkan ijtihad Umar bin Khatab dikenal rasional,
berani keluar dari hukum yang terdapat pada ayat dan masuk pada hukum yang
terdapat pada ayat lain. Ia misalnya pernah berijti had untuk tidak lagi
memberikan bagian zakat kepada mu'allaf yang sudah tam pak kuat keislamannya,
sungguhpun di dalam Al-Qur'an surat at-Taubah ayat 90, scorang muallaf termasuk
mustahik zakat. Ijtijad Umar bin Khattab tersebut didasarkan pada illat yang
menjadi alasan seorang muallaf memperoleh bagian zakat, yakni ketika iman dan
Islamnya masih lemah. Adapun jika iman dan Is lam si mu'allaf tersebut sudah
kukuh, maka illat untuk memberikan zakat kepada si muallaf tersebut menjadi
hilang dengan sendirinya, dan dengan demikian si muallaf tersebut tidak lagi
mendapat bagian zakat.
Kelima,
pertentangan politik. Sejarah mencatat, bahwa antara Khulafaur Ra syidin yang
keempat, yakni pada zaman Ali bin Abi Thalib terjadi pertempuran dengan
Mu'awiyah bin Abi Sufyan di Shiffin, karena memperebutkan kekuasian. Mu'awiyah
yang saat itu sebagai gubernur di Damaskus melakukan pemberon takan terhadap
khalifah Ali bin Abi Thalib. Dalam pertempuran yang diselesaikan dengan cara tahkim (arbitrase) atau perundingan itu
ternyata memperkuat posisi Mu'awiyah bin Abi Sufyan dan memperlemah posisi Ali
bin Abi Thalib. Penyele saikan pertempuran dengan cara tahkim itu dinilai oleh suatu kelompok sebagai
yang tidak sesuai dengan Al-Qur'an dan Al-Sunah. Kelompok yang selanjutnya
dinamai kaum Khawarij itu menuduh Ali dan Mu'awiyah serta orang-orang yang
terlibat di dalamnya sebagai kafir. Sementara oleh kelompok lain yang
selanjutnya disebut kaum Murjiah mengatakan, bahwa Ali, Muawiyah, dan para
pendukung keduanya masih dianggap orang beriman. Adapun soal dosa dari yang
bersang kutan, terserah kepada kebijaksanaan Tuhan di akhirat. Dalam pada itu,
ada pula yang berpendapat, bahwa mereka yang berdosa itu, tidak dapat disebut
mukmin dan juga tidak dapat disebut kafir. Mereka itu berada di antara mukmin
dan kafir dan tempatnya berada
di antara surga dan neraka. Pendapat yang terakhir ini se lanjutnya dinamai
kaum Mu'tazilah. Hal tersebut memperlihatkan dengan jelas, bahwa perbedaan
paham politik sangat berpengaruh besar pada lahirnya mazhab dalam bidang
teologi.
Keenam,
perbedaan paham teologi dan politik para mujtahid. Pada zaman khalifah bani
Ummayah, Abbasiyah dan seterusnya, sudah terdapat aliran Kha warij, Murji'ah,
Mu'tazilah, Ahlus Sunnah wa al-Jama'ah (Sunni), Syi'ah, dan lain sebagainya. Di antara para Imam Mujtahid ada yang menganut
paham Mu'tazilah. Paham Ahlus Sunah, paham Syi'ah, dan lainnya. Ternyata paham teologi yang
dianut para imam mujtahid tersebut berpengaruh terhadap corak hasil ijtihad
mereka. Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad Ibn Hambal dari
kalangan Ahlu Sunnah wa al-Jama'ah misalnya berbeda dengan hasil ijtihad para
mujtahid dari kalangan Syi'ah. Tata cara berwudhu, shalat, berdoa, khotbah dari kalangan
Sunni misalnya berbeda dengan tata cara berwudhu, shalat, ber doa, dan lainnya.
Ketujuh, perbedaan bidang keahlian, dan latar belakang pendidikan para
mujtahid. Sebagaimana diketahui, bahwa di kalangan para mujtahid di samping y k
tempuh, termasuk para gura tempat mereka mesinde dens, joga me mengaruhi hasil
had para mujtahid.
Berdasarkan
stratan tersebut terlihat dengan jelas, bahiva lahirnya beran karegan mazhab
atau aliran dalam studi Islam disebabkan faktor-faktor yang sangat kompleks
Perbedaan pendapat tersebut bukan lahir dalam ruang yg hampa, melainkan lahir
karena adanya berbagai faktor yang memengaruhi.
9.4 Sikap Menghargai Berbagai Mazhab
Agar
perbedaan mazhab tersebut tidak menimbulkan bencana perpecahan dan fitnah di
kalangan umat, maka diperlukan adanya sikap kedewasaan dalam beragama, yaitu
sikap yang arif, bijaksana, ramah, toleran, saling memban kerja sama, dan
bersahabat di antara umat yang menganut mazhab yang berbeda-beda tersebut.
Sikap kedewasaan dalam beragama tersebut dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
Pertama,
memandang bahwa berbagai pendapat yang terdapat dalam ma hab tersebut sebagai
hasil ijtihad yang mengandung kebenaran dan kesalahan. Dengan pandangan yang
demikian itu, maka antara satu mazhab dan mazhab yang lain tidak dapat
mengklaim sebagai yang paling benar, dan yang lainnya salah. Yang berhak
menentukan mazhab yang benar atau yang salah hanyalah Allah SWT di akhirat
nanti. Selama masih di dunia ini, belum ada yang tahu, siapa di mereka yang
mazhabnya benar atau salah Penilaian manusia atas kebenaran atau kesalahan
suatu mazhab di dunia ini boleh-boleh saja, namun tidak bisa dipaksakan pada
orang lain, dan tidak boleh pula saling memaksakan penilaiannya itu. Jika
keadaan saling memaksakan ini dilakukan, maka akan terjadi ketegangan dan ketidakharmonisan,
bahkan perpecahan. Dalam salah satu Hadisnya, yang diriwayatkan Bukhari Muslim,
Rasulullah SAW bersabda:
إِذَا حَكَمَ
اْلحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانٍ، وَإِذَا حَكَمَ
فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ. (رواه البخاري
ومسلم)
"Apabila seorang hakim memutuskan perkara dengan jalan ytihad
kemudian benar, maka ia mendapat dua pahala. Dan apabila dia memutuskan dengan
jalan judad ke mudian helina, maka ia hanya mendapat satu pahala (HR Al Bukhan
dan Muslim)
Sejalan dengan pandangan tersebut, maka di kalangan para Imam Mujtahid (Imam Abu Hanifah, Imam
Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad Ibn Hambal) tidak ada satu pun di antara
mereka yang mengklaim pendapatnya sebagai yang paling benar.
a. Imam Malik berkata:
إنما أنا بشر مثلكم أخطئ وأصيب فانظروا في
رأيي، كل ما وافق الكتاب والسنة فخذوا به، وما لم يوافق الكتاب والسنة فاتركوه
Aku ini hanya
seorang manusia yang mungkin salah dan mungkin benar, maka korek silah
pendapatku. Segala yang sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunah ambillah ia, dan
segala yang tidak sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunah tinggalkanlah.
b. Imam Syafi'i
berkata:
"ما قلت وكان النبي صلى الله عليه وسلم قد قال بخلاف قولي
فما صح عن النبي صلى الله عليه وسلم أولى ولا
تقلدني
Apa yang telah
kukatakan padahal bertentangan dengan perkataan Nabi, maka apa yang sahih dari
Nabi itulah yang lebih patut kamu ikuti, janganlah kamu taklid kepadaku
c. Imam Ahmad bin
Hambal berkata:
لا تقلدني ولا مالكا
ولا الشافعي ولا الثوري وخذ من حيث أخذوا
Janganlah kamu
taklid kepadaku! Jangan pula kepada Malik, Syafii, dan al-Tsaury! Dan ambillah
dari sumber mana mereka mengambil.[1]
Pendapat para Imam Mujtahid itu pada dasarnya mengingatkan kepada kaum muslimin agar:
1) Jangan bersikap
takdid, yakni meniru atau mengikuti suatu pendapat, tanpa mengetahui sumber
pendapat tersebut. b
2) Bersikap kritis dan
korektif terhadap suatu pendapat, karena boleh jadi di dalam pendapat tersebut
ada yang tidak sesuai dengan Al-Qur'an dan AlSunah.
3) Bersikap berani
mengakses Al-Qur'an dan Al-Sunah dengan jalan berani berijtihad yang dapat
dipertanggungjawabkan secara akademik dan moral.
4) Tidak menganggap
hanya pendapat imam mazhab tertentu saja yang paling benar, sedangkan pendapat
mazhab lainnya sebagai yang salah.
Kedua, memandang bahwa semua pendapat dalam
mazhab tersebut tidak keluar dari Islam, atau tidak ada satu pun pendapat
mazhab tersebut yang dapat dikatakan kafir. Karena di antara pendapat mazhab
tersebut tidak ada yang ber tentangan dengan hal-hal yang pokok dalam Islam.
Misalnya, tidak ada satu pun mazhab yang berpendapat bahwa Tuhan tidak ada,
Muhammad SAW bukan se bagai Nabi dan Rasululullah, Al-Qur'an bukan kalamullah,
dan sebagainya. Me reka semua percaya pada Allah SWT sebagai Tuhan Yang Maha
Esa, Muhammad SAW sebagai Rasulullahı, Al-Qur'an sebagai kalamullah, dan
sebagainya. Yang mereka perdebatkan atau yang terkadang diterima oleh satu
mazhab dan dito lak oleh mazhab lain adalah masalah yang bersifat cabang
(furu'iyah) yang tidak membawa keluar dari Islam.
Ketiga, memandang bahwa perbedaan dalam hal
yang bersifat furu'iyah (cabang) tidak boleh menghalangi seseorang untuk saling
berbuat baik, tolong-me nolong, bantu membantu, tegur sapa, antara satu dan lainnya. Dengan demikian,
perbedaan pendapat tersebut tidak akan menimbulkan perpecahan.
Keempat, bersikap saling menghormati,
menghargai, memuliakan, dan mem berikan peluang kepada masing-masing mazhab
untuk meyakini, pemahami, menghayati dan mengamalkan paham mazhabnya itu dengan
tenang, tidak ada yang mengganggu dan seterusnya.
Kelima, membangun dialog dan kerja sama di antara para penganut mazhab tersebut,
baik dalam bidang sosial, ekonomi, politik, agama, dan lain sebagainya. Dengan
cara demikian, satu dan
lainnya akan dapat saling memperkaya pema haman dan pengamalan mazhabnya
masing-masing.
Keenam, memandang bahwa perbedaan mazhab
merupakan sebuah realitas dan keniscayaan yang tidak dapat ditolak. Perbedaan
pendapat terjadi karena sebab-sebab yang berada di luar kemampuan manusia, melainkan sebagai
sesuatu yang alami.
Ketujuh, memandang bahwa adanya mazhab yang
beragam itu merupakan sebuah
kekayaan intelektual dan kultural yang sangat berharga la tak ubahnya seperti
supermarket yang menyediakan berbagai kebutuhan manusia yang semuanya baik dan
halal. Dengan adanya berbagai kebutuhan tersebut, mattia dapat menentukan pilihannya
yang sesuai dengan keadaan dirinya.
DAFTAR PUSAKA
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang:
Dina Utama Semarang, 1994
Abduh Muhammad, Risalah Al-Tauhid, Mesir; Dar Al-Ma’arif, 1968
Abudin Nata, Studi Islam Komprehensif,
Jakarta: Kencana, 2011, Cet. Ke-1
Bambang Samsul Arifin, Psikologi Kepribadian
Islam, Bandung: CV Pusaka Setia, 2018
Hanafi, A, Theology Islam (Ilmu Kalam), Jakarta; Bulan Bintang.1986. Cetakan ke-6
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,
Jilid II, Jakarta; UI Press, 1979
Harun Nasution, Teology Islam; Aliran-Aliran Seajarah
Analisa Perbandingan, Jakarta; Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1972
Hasbi, Pendidikan Islam Era Modern, Yogyakarta:
LeutikaPrio, 2019
Muhammad Ali Hasan, Perbandingan Mazhab,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995)
Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam (Upaya
Pembentukan Pemikiran Dan Kepribadian Muslim), Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2006
Muhammad Daud Ali, Pendidikan
Agama Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2013
Rizal Qosim, Pengalaman Fikih, Solo: PT. Tiga
Serangkai Mandiri, 2009
Rois Mahfud, Al-Islam (Pendidikan Agama Islam),
Jakarta: Erlangga, 2011
Satria Effendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2015
Syarifuddin, Amir. ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta:
Kencana, 2014
Taufik Abdillah Syukur,
Pendidikan Karakter Berbasis Hadits, Depok: Rajawali Pers, 2014
Taufik Abdillah Syukur, Ilmu
Pendidikan Islam, Depok: Rajawali Pers, 2020
Taufik Abdillah Syukur,
Pembelajaran Fiqih, Ciputat: Patju Kreasi, 2020
Taufik Abdillah Syukur,
Filsafat Pendidikan Islam, Ciputat: Patju Kreasi, 2021
Taufik Abdillah Syukur,
Pengantar Ilmu Pendidikan, Ciputat: Patju Kreasi, 2022
KATA PENGANTAR
Dewasa ini kehadiran agama semakin
dituntut agar ikut terlibat secara aktif didalam memecahkan berbagai masalah
yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya menjadi lambang kesalehan
atau berhenti hanya sampai sekedar disampaikan dalam khutbah, melainkan secara
konsepsional menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan
masalah.
Berkenaan dengan pemikiran diatas,
maka buku ini akan mengkaji studi Islam sebagai suatu pengantar agar pembaca
dapat memahami agama yang dianutnya. Agar kedepan agama tidak lagi disalah
artikan. Karena dengan buku ini, agama akan lebih mudah dipahami atau dirasakan
fungsinya oleh penganut agama itu sendiri. Sebaliknya tanpa pengetahuan tersebut
maka tidak mustahil apabila agama dibuuat menjadi sulit untuk dipahami dan
lebih parahnya masyarakat menjadi tidak mengerti mengenai apa fungsi dari agama
yang mereka anut, sehingga mencari pemecahan masalah kepada selain agama, dan
hal itu tidak semestinya terjadi, karena
fungsi dari agama itu sendiri adalah sebagai sumber jawaban dari segala
permasalahan.
Jakarta,
21 Januari 2023
Penulis
Komentar
Posting Komentar