STUDI ISLAM KOMPREHENSIF

STUDI ISLAM KOMPREHENSIF

DR. TAUFIK ABDILLAH SYUKUR, MA


BAB 1

PENGERTIAN ISLAM

 

1.1 Pengertian Islam Menurut Bahasa

Islam adalah agama yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw sebagai nabi dan rasul terakhir untuk menjadi pedoman hidup seluruh manusia hingga akhir zaman.

Islam (Arab: al-islām, الإسلام, "berserah diri kepada Tuhan") adalah agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah SWT.  Dalam Al-Quran, Islam disebut juga Agama Allah atau Dienullah (Arab: دِينِ اللَّهِ).

أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ

"Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri (aslama) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan.” (QS. Ali Imran [3]: 83).

Dien (agama) sendiri dalam Al-Quran artinya agama (QS 3:83), ketaatan (QS 16:52), dan ibadah (QS.40:65).

Pengertian Islam menurut bahasa, kata Islam berasal dari kata aslama yang berakar dari kata salama. Kata Islam merupakan bentuk mashdar (infinitif) dari kata aslama ini.

أَسْلَمَ يُسْلمُ إِسْلَامًا

Ditinjau dari segi bahasanya, yang dikaitkan dengan asal katanya (etimologis), Islam memiliki beberapa pengertian, sebagai berikut:

1. Islam berasal dari kata ‘salm’ (السَّلْم)

As-Salmu berarti damai atau kedamaian. Firman Allah SWT dalam Al-Quran:

وَإِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Dan jika mereka condong kepada perdamaian (lis salm), maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. 8:61).

Kata ‘salm’ dalam ayat di atas memiliki arti damai atau perdamaian. Ini merupakan salah satu makna dan ciri dari Islam, yaitu bahwa Islam merupakan agama yang mengajarkan umatnya untuk cinta damai atau senantiasa memperjuangkan perdamaian, bukan peperangan atau konflik dan kekacauan.

Sebagai salah satu bukti Islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi perdamaian adalah Allah SWT melalui Al-Quran baru mengizinkan atau memperbolehkan kaum Muslimin berperang jika mereka diperangi oleh para musuh-musuhnya. Sebagaimana firman Allah Swt:

 أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu.” (QS. 22: 39).

2. Islam Berasal dari kata ‘aslama’ (أَسْلَمَ)

          Aslama artinya berserah diri atau pasrah, yakni berserah diri kepada aturan Allah SWT.

          Penyerahan diri seperti ini ditandai dengan pelaksanaan terhadap apa yang Allah perintahkan serta menjauhi segala larangan-Nya.

 وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۗ وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا

          “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya (aslama wajhahu) kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.” (QS. 4: 125)

Karena sesungguhnya jika kita renungkan, bahwa seluruh makhluk Allah baik yang ada di bumi maupun di langit, mereka semua memasrahkan dirinya kepada Allah SWT, dengan mengikuti sunnatullah-Nya.

اَفَغَيْرَ دِيْنِ اللّٰهِ يَبْغُوْنَ وَلَهٗ ٓ اَسْلَمَ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ طَوْعًا وَّكَرْهًا وَّاِلَيْهِ يُرْجَعُوْنَ

“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.” (QS. 3: 83)

3. Islam Berasal dari kata istaslama–mustaslimun

          Istaslama–mustaslimun artinya penyerahan total kepada Allah SWT. Firman Allah SWT dalam Al-Quran:

بَلْ هُمُ الْيَوْمَ مُسْتَسْلِمُونَ

          “Bahkan mereka pada hari itu menyerah diri.” (QS 37: 26)

          Seorang Muslim diperintahkan untuk secara total menyerahkan seluruh jiwa dan raga serta harta atau apa pun yang dimiliki hanya kepada Allah SWT. Sebagaimana firman Allah Swt:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

          "Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”  (QS. 2: 208).

          Masuk Islam secara keseluruhan berarti menyerahkan diri secara total kepada Allah dalam melaksanakan segala yang diperintahkan dan dalam menjauhi segala yang dilarang-Nya.

4. Berasal dari kata ‘saliim’ (سَلِيْمٌ).

          Salim artinya bersih dan suci.

إِلَّا مَنْ أَتَى الَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

          "Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih" (QS. 26: 89).

إِذْ جَاءَ رَبَّهُ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

          "(Ingatlah) ketika ia (Ibrahim) datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci." (QS. 37: 84)  

          Hal ini menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang suci dan bersih, yang mampu menjadikan para pemeluknya untuk memiliki kebersihan dan kesucian jiwa yang dapat mengantarkannya pada kebahagiaan hakiki, baik di dunia maupun di akhirat.

5. Islam Berasal dari ‘salam’ (سَلاَمٌ)

          Salam berarti selamat dan sejahtera.

قَالَ سَلامٌ عَلَيْكَ سَأَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّي إِنَّهُ كَانَ بِي حَفِيًّا

          "Berkata Ibrahim: 'Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan meminta ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku'." (QS. 19: 47).

          Maknanya adalah bahwa Islam merupakan agama yang senantiasa membawa umat manusia pada keselamatan dan kesejahteraan.

          Pengertian Islam menurut Al-Quran tersebut sudah cukup mengandung pesan bahwa kaum Muslim hendaknya cinta damai, pasrah kepada ketentuan Allah SWT, bersih dan suci dari perbuatan nista, serta dijamin selamat dunia-akhirat jika melaksanakan risalah Islam.

 

1.2 Pengertian Islam Menurut Istilah

          Menurut istilah, Islam adalah ‘ketundukan seorang hamba kepada wahyu Ilahi yang diturunkan kepada para nabi dan rasul khususnya Muhammad SAW guna dijadikan pedoman hidup dan juga sebagai hukum/ aturan Allah SWT yang dapat membimbing umat manusia ke jalan yang lurus, menuju ke kebahagiaan dunia dan akhirat.’

          Secara istilah juga, Islam adalah agama terakhir yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw sebagai Nabi dan utusan Allah (Rasulullah) terakhir untuk umat manusia, berlaku sepanjang zaman, bersumberkan Al-Quran dan As-Sunnah serta Ijma' Ulama. Berikut penjelasannya:

1.    Islam sebagai Wahyu Ilahi

          Wahyu ialah perintah atau kata-kata Allah (كلام الله) yang disampaikan kepada para Rasul-Nya. Nabi Muhammad sebagai salah seorang Rasul Allah Ta'ala juga menerima wahyu yang disampaikan melalui perantaraan malaikat Jibril.

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى

          “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. 53: 3-4).

          Wahyu Allah kini terhimpun semuanya dalam Mushaf Al-Quran, kitab suci Umat Islam, sebagai sumber utama ajaran agama Islam.

2.      Diturunkan kepada nabi dan rasul (khususnya Rasulullah SAW)

Allah Swt berfirman :

هَذَا بَصَائِرُ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

          “Al-Qur’an ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini" (QS. 45: 20).

Islam adalah jalan hidup (way of life). Al-Quran sebagai sumber utama ajaran Islam menjadi bacaan wajib sekaligus panduan dalam menjalani kehidupan.

3.      Mencakup hukum-hukum Allah dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW

Allah SWT berfirman:

وَاَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ اَنْ يَّفْتِنُوْكَ عَنْۢ بَعْضِ مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ اِلَيْكَۗ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ اَنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ اَنْ يُّصِيْبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوْبِهِمْ ۗوَاِنَّ كَثِيْرًا مِّنَ النَّاسِ لَفٰسِقُوْنَ # اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. 5: 49-50)

4.      Membimbing manusia ke jalan yang lurus.

Allah SWT berfirman (QS. 6: 153).

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.”

Dalam QS Al-Fatihah, umat Islam membaca doa "Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus":

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

5.      Menuju kebahagiaan dunia dan akhirat

Islam adalah agama yang membawa pemeluknya kepada kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Dengan amal kebaikan (amal shalih) yang dikerjakannya, sesuai dengan syariat Islam, kaum Muslim akan menjalani kehidupan yang baik, tentram, dan di akhirat nanti pun demikian.

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

          "Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan" (QS. 16: 97).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB 2

SUMBER AJARAN ISLAM

 

2.1 Pengertian Sumber Ajaran Islam

Dalam Bahasa Indonesia, sumber diartikan mata air misalnya mengambil air dari sumber dan berarti pula “asal”, misalnya kabar dari sumber yang boleh dipercaya dan sekalian kutipan harus disebutkan sumbernya. Dalam Bahasa Arab, Sumber disebut mashdar yang jamaknya mashadir, yang dapat diartikan starting point (titik tolak), point of origin (sumber asli), dan origin (asli).

Islam sebagai bangunan atau konstruksi yang didalamnya terdapat nilai-nilai, ajaran, petunjuk hidup, dan sebagainya membutuhkan sumber yang darinya dapat diambil bahan-bahan yang diperlukan guna mengkonstruksi ajaran Islam tersebut. Mengacu kepada ayat Al-Quran yang berbunyi:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. An-Nisa’ (4): 59) Dan Hadits Rasulullah SAW. Sebagai berikut :

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ

          “Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya”. (H.R. Malik, al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm).

          Sebelum diutus ke Yaman sebagai qadhi, Rasulullah menyodorkan sejumlah pertanyaan kepada Muadz bin Jabal sebagaimana terangkum dalam hadits berikut:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ ‏"‏ كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ ‏"‏ ‏.‏ قَالَ أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ ‏.‏ قَالَ ‏"‏ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ"‏ ‏ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ ‏"‏ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَلاَ فِي كِتَابِ اللَّهِ ‏"‏ ‏ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلاَ آلُو.‏ فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم صَدْرَهُ وَقَالَ ‏"‏ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ ‏"‏

"Bagaimana kamu memutuskan perkara jika diajukan perkara kepadamu dalam urusan hukum? Muaz menjawab, saya akan putuskan dengan kitab Allah," jawab Muadz dengan lugas. Nabi SAW bertanya kembali, “Bagaimana jika tidak engkau temukan dalam kitab Allah? “Saya akan putuskan dengan sunnah Rasulullah, jawab Muaz. Rasulullah bertanya kembali, jika tidak engkau dapatkan dalam sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitab Allah? Muaz menjawab, saya akan berijtihad dengan pemikiran saya dan saya tidak akan berlebih-lebihan. Maka Rasulullah SAW menepuk dadanya seraya bersabda, "Segala puji bagi Allah yang telah menyamakan utusan dari utusan Allah sesuai dengan yang diridhai Rasulullah.” (HR Abu Daud).

2.2 Macam–Macam Sumber Ajaran Islam

1.   Al – Qur’an

Secara bahasa (etimologi), kata al-Quran berasal dari kata qara’a yang berarti membaca. Qara’a juga berarti mengumpulkan menjadi satu. Sedangkan secara istilah, al-Qur’an adalah kitab suci yang isinya mengandung firman Allah, turunnya secara bertahap melalui malaikat Jibril, yang diwahyukan kepada Rasulullah yang susunannya dimulai dari surah al-Fatihah diakhiri surah an-Nas dan bernilai ibadah bagi yang membacanya.

Fungsi dari al-Qur’an itu sendiri adalah sebagai konfirmasi dalam memperkuat keyakinan pendapat akal pikiran, dan sebagai informasi terhadap hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh akal. Kemudian, al-Qur’an juga berfungsi sebagai suatu tata cara atau aturan untuk mengatur jalannya kehidupan manusia agar berjalan lurus, menjadi pedoman dalam hidupnya, sehingga tidak mengherankan jika tema sentral al-Qur’an pembahasannya adalah tentang manusia, yang didalamnya diterangkan mengenai hakikat manusia, siapa dirinya, dari mana dia berasal, dimana dia berada, untuk apa ia diciptakan, apa yang harus dilakukannya, dan hendak kemana ia pergi.

Isi kandungan al-Qur’an antara lain:

a. Aqidah dan Tauhid

Al-Qur’an banyak menjelaskan tentang pokok-pokok ajaran akidah yang terkandung didalamnya, diantaranya surat Al-Ikhlas:

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اللَّهُ الصَّمَدُ  لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ  وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

Katakanlah, "Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula-diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” (QS. Al Ikhlas: 1-4)

b. Ibadah dan Muamalah

Dalam Al Quran dijelaskan bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia tidak lain adalah untuk beribadah kepada Allah Swt. Firman Allah Swt :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz–Dzariyaat(51): 56).

Manusia harus menyadari bahwa dirinya ada karena diciptakan oleh Allah Swt. Karena itu, manusia harus sadar bahwa dia membutuhkan Allah Swt, dan kebutuhan terhadap Allah SWT itu diwujudkan dengan bentuk beribadah kepada-Nya.  Ibadah dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu: ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah. Ibadah mahdhah artinya ibadah khusus yang tata caranya sudah ditentukan, seperti: shalat, puasa, zakat dan haji. Sedangkan ibadah ghairu mahdhah artinya ibadah yang bersifat umum, tata caranya tidak ditentukan secara khusus, yang bertujuan untuk mencari ridha Allah SWT, misalnya: silaturrahim, bekerja mencari rizki yang halal diniati untuk ibadah, belajar untuk menuntut ilmu, dsb.

Selain beribadah kepada Allah Swt. karena kesadaran manusia sebagai makhluk ciptaan Allah Swt., manusia juga memiliki kecenderungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bersama manusia lainnya. Maka al-Qur’an tidak hanya memberikan ajaran tentang ibadah sebagai wujud kebutuhan manusia terhadap Allah Swt. tetapi juga mengatur bagaimana memenuhi kebutuhan lain manusia dengan hubungannya dalam kehidupan. (Misalnya: sillaturrahim, jual beli, hutang piutang, sewa menyewa, dan kegiatan lain dalam kehidupan bermasyarakat. Kegiatan dalam hubungan antar manusia ini disebut dengan mu’amalah, contohnya adalah firman Allah Swt:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ وَلْيَكْتُبْ بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌۢ بِالْعَدْلِۖ

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar....” (QS. Al-Baqarah :282)

c. Akhlak

Ayat-ayat al-Qur’an tentang akhlak Nabi Muhammad Saw antara lain adalah:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah Swt.” (QS. al-Ahzab: 21)

d. Hukum

Beberapa ayat-ayat al-Qur’an yang berisi ketentuan hukum antara lain:

إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ ۚ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا

“Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (al-Qur’an) kepadamu (Muhammad Saw) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah Swt kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang berkhianat.” (QS. an-Nisa’ : 105].

e. Sejarah / Kisah Umat Masa Lalu

Al-Qur’an sebagai kitab suci bagi umat Islam banyak menjelaskan tentang sejarah atau kisah umat pada masa lalu. Sejarah atau kisah-kisah tersebut bukan hanya sekedar cerita atau dongeng semata, tetapi dimaksudkan untuk menjadi ‘ibrah (pelajaran) bagi umat Islam. Ibrah tersebut kemudian dapat dijadikan petunjuk untuk dapat menjalani kehidupan agar senantiasa sesuai dengan petunjuk dan keridhaan Allah Swt.

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ ۗ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَىٰ وَلَٰكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

“Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal. (al-Qur’an) itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu, dan (sebagai) petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yusuf : 111).

f. Dasar–Dasar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Al-Qur’an adalah kitab suci ilmiah. Banyak ayat yang memberikan isyarat-isyarat ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi yang bersifat potensial untuk kemudian dapat dikembangkan guna kemaslahatan dan kesejahteraan hidup manusia. Allah Swt. yang Maha memberi ilmu telah mengajarkan kepada umat manusia untuk dapat menjalani hidup dan memenuhi kebutuhan hidupnya dengan baik. Al-Qur’an menekankan betapa pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal itu diisyaratkan pada saat ayat al-Qur’an untuk pertama kalinya diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Yaitu QS. al-‘Alaq: 1-5

 اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ . خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ . اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ . الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ . عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha mulia, Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya." (QS. al-‘Alaq : 1-5)

Ayat yang pertama kali diturunkan tersebut diawali dengan perintah untuk membaca. Membaca adalah satu faktor terpenting dalam proses belajar untuk menguasai suatu ilmu pengetahuan. Ini mengindikasikan bahwa al-Qur’an menekankan betapa pentingnya membaca dalam upaya mencari dan menguasai ilmu pengetahuan. Ayat lain yang berisi dorongan untuk menguasai ilmu pengetahuan juga dijelaskan dalam QS. al-Mujadalah ayat 11.

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

"Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. al-Mujadalah : 11)

 

2.   Al – Sunnah

Al-Sunnah secara etimologi adalah jalan yang ditempuh, sedangkan secara terminologi adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw baik berupa perbuatan, perkataan atau pernyataan di dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan hukum syariat. Adapun Ḥadiṡ menurut bahasa adalah baru (lawan dari lama), sedangkan menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu ucapan, perbuatan, atau perkataan (taqrir).

Ḥadiṡ Nabi merupakan sumber ajaran Islam yang kedua, setelah al-Qur’an. Hal ini dikarenakan ḥadiṡ merupakan penafsiran Al-Qur’an dalam praktik atau penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal. Mengingat bahwa pribadi Nabi merupakan perwujudan dari Al-Qur’an yang ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.

Dilihat dari periwayatannya, ḥadiṡ berbeda dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an semuanya diriwayatkan secara muttawātir, sehingga tidak diragukan lagi kebenaran atau keṣaḥīhannya. Adapun ḥadiṡ Nabi, sebagiannya diriwayatkan secara muttawātir dan sebagian lainnya secara ahād. Dengan demikian, jika dilihat dari periwayatannya ḥadiṡ muttawātir tidak perlu diteliti lagi karena tidak diragukan kebenarannya, adapun ḥadiṡ ahad, masih memerlukan penelitian. Dengan penelitian itu, akan diketahui, apakah ḥadiṡ yang bersangkutan dapat diterima periwayatannya ataukah tidak.

Berikut ini adalah penjelasan mengenai ucapan, perbuatan, dan perkataan.

Hadits Qauliyah (ucapan) yaitu hadits-hadits Rasulullah SAW, yang diucapkannya dalam berbagai tujuan dan persuaian (situasi).

Hadits Fi’liyah yaitu perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW, seperti  pekerjaan melakukan shalat lima waktu dengan tatacaranya dan rukun-rukunnya, pekerjaan menunaikan ibadah hajinya dan pekerjaannya mengadili dengan satu saksi dan sumpah dari pihak penuduh.

Hadits Taqririyah yaitu perbuatan sebagian para sahabat Nabi yang telah diikrarkan oleh Nabi SAW, baik perbuatan itu berbentuk ucapan atau perbuatan, sedangkan ikrar itu adakalanya dengan cara mendiamkannya, dan atau melahirkan anggapan baik terhadap perbuatan itu, sehingga dengan adanya ikrar dan persetujuan itu. Bila seseorang melakukan suatu perbuatan atau mengemukakan suatu ucapan dihadapan Nabi atau pada masa Nabi, Nabi mengetahui apa yang dilakukan orang itu dan mampu menyanggahnya, namun Nabi diam dan tidak menyanggahnya, maka hal itu merupakan pengakuan dari Nabi.

 

3.      Al-Ra’yu

Secara  etimologi  kata    (ra’yu)  berasal  dari  bahasa  Arab  yang  berarti  “melihat”. Kata  ra’yu  memiliki  arti:  pengelihatan  dan  pandangan  dengan  mata  atau  hati,  segala  sesuatu  yang  dilihat  oleh manusia, jamaknya (al-Ara’). Secara terminologi, ra’yu yaitu segala sesuatu yang diutamakan manusia setelah melalui proses berfikir dan merenung.

Ar-Rayu dipakai apabila ada suatu masalah yang hukumnya tidak terdapat di al-Quran maupun Haditst, maka diperintahkan untuk berijtihad dengan menggunakan akal pikiran dengan tetap mengacu kepada al-Quran dan Hadits.

Jika kita berbicara ra'yu tentunya tidak terlepas dengan kata ijtihad, karena ijtihad merupakan bentuk dari implementasinya dalam menetapkan hukum. Oleh sebab itu, sangat logis ketika ulama membahas masalah ra'yu selalu dihubungkan dengan ijtihad. Dalam terminologi Usul fiqh, ijtihad adalah pencurahan kemampuan secara maksimal yang dilakukan oleh faqih [mujtahid] untuk mendapatkan zann [dugaan kuat] tentang hukum syar`i.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB 3

PRINSIP AJARAN ISLAM

 

3.1 Pengertian Prinsip Ajaran Islam

Prinsip adalah asas, dasar, kebenaran yang jadi pokok dasar orang berpikir dan bertindak. Jadi kalau sumber adalah sesuatu yang dijadikan tempat pengambilan bahan seperti al-Qur’an, Hadits dan Ra’yu sedangkan prisip adalah asas atau dasar yang dijadikan sandaran atau pijakan dalam membangun sesuatu atau untuk mengembangkan konsep dan teori.

 

3.2 Macam-macam Prinsip Ajaran Islam

1.   Sesuai dengan Fithrah Manusia

Fithrah adalah kecenderungan atau perasaan mengakui adanya kekuasaan yang menguasai dirinya dan alam jagat raya, yang selanjutnya disebut Tuhan. Dari pengertian ini, maka fithrah sering pula disebut sebagai perasaan beragama sebagaimana firman Allah Swt:

فاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ  لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِ ذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُۙ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَ

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS: Ar-rum (30): 30).

Rasulullah Saw juga bersabda:

كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari Muslim). Maka Islam datang untuk melindungi fithrah tersebut.

2. Keseimbangan (al-Tawazun)

Pada hakikatnya manusia terdiri dari dua unsur, yaitu jasmani dan rohani. Jasmani berasal dari tanah yang melambangkan kerendahan. Adapun rohani berasal dari Tuhan, dan bahkan ia merupakan unsur ketuhanan (lahut) yang terdapat dalam diri manusia yang melambangkan ketinggian. Jasmani cenderung kepada hal-hal yang bersifat materi, pragmatis, sesaat, tujuan jangka pendek, menghalalkan segala cara, dan selanjutnya melanggar. Adapun rohani cenderung kepada hal-hal yang bersifat immateri, rohaniah, filosofis, abadi, tujuan jangka panjang, dan selalu berpihak kepada kebenaran.  Ketika jasmani dan rohani menyatu dalam tubuh manusia, maka timbullah gejala-gejala kejiwaan, baik yang positif maupun yang negatif. Gejala positif dan negatif ini digambarkan dalam al-Qurán, dalam ayat berikut:

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا. فَأَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوَاهَا

"Demi jiwa serta penyempurnaanya (ciptaannya), maka Allah menghilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya". (QS. Asy-Syams (91): 7-8)

Hidup yang seimbang adalah hidup yang memerhatikan kepentingan jasmani dan rohani. Prinsip hidup yang seimbang ini diperintahkan Allah Swt sebagai berikut:

وَابْتَغِ فِيْمَا ءَاتىك الله الدَّرَ الأَخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ الله إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الفَسَادَ فِي الأَرْضِ إِنَّ الله لَا يُحِبُّ المُفْسِدِيْنَ

“Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain), sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu buat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan,” (QS. al-Qashash (28): 77)

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung(QS. Al-Jumu’ah (62): 10)

 

3. Sesuai dengan Keadaan Zaman dan Tempat (Shalihun Li Kulli Zaman wa Makan)

Islam sebagai agama yang terakhir, dan tidak agama setelahnya yang diturunkan Allah swt. Maka dari itu, ajaran Islam yang bersumber dari al-Qurán dan hadis akan terus berlaku sepanjang zaman dan di semua tempat.

Untuk mengantisipasi berbagai perkembangan yang terjadi, maka di dalam al-Qurán terdapat ayat-ayat yang bersifat qath’i (pasti), yakni ayat-ayat yang pengertiannya sudah jelas, tegas, dan tidak dapat diartikan dengan arti yang lain. Misalnya, ayat-ayat tentang akidah, akhlak, ibadah, dan hal-hal yang berkaitan dengan hukum halal dan haram.

Ayat-ayat yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat bersifat dzanni, yakni dapat diinterpretasikan dengan perkembangan zaman dengan catatan tidak bertentangan dengan kandungan ayat yang bersifat qath’i. Dengan demikian, walaupun Islam memberikan keleluasaan kepada manusia untuk menafsirkan ayat-ayat yang bersifat dzanni (tentang kemasyarakatan), namun kebebasan tersebut tidak bersifat kebebasan mutlak sebagaimana yang dikenal dalam masyarakat liberal di Barat, melainkan kebebasan yang tidak keluar dari koridor atau batas-batas sebagaimana yang terdapat dalam kandungan ayat yang bersifat qath’i.

Abdul Wahab Khlalaf berpendapat bahwa, ayat-ayat hukum yang terkandung dalam al-Qur’an hanya 5,8 persen dari 6360 ayat al-Qur’an, sebagaimana berikut ini;

a.    Ibadah (shalat, puasa, haji, dll) sebanyak 140 ayat

b.    Hidup Kekeluargaan (perkawinan, perceraian, hak waris, dsb) sebanyak 70 ayat

c.     Perdagangan atau Perekonomian (jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, gadai, perseroan, kontrak, dsb) sebanyak 70 ayat

d.    Kriminal sebanyak 30 ayat

e.    Hubungan Islam dengan selain Islam sebanyak 25 ayat

f.      Pengadilan sebanyak 13 ayat

g.    Hubungan kaya dan miskin sebanyak 10 ayat

h.    Kenegaraan sebanyak 10 ayat.

Dari 368 ayat ahkam ini, hanya 228 atau 3,5 persen merupakan ayat yang mengurus kehidupan kemasyarakatan umat.

4. Tidak menyusahkan manusia

Ajaran Islam turun dalam rangka meningkatkan harkat dan martabat, memberi rahmat, mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada terang benderang, dan dari kebiadaban menjadi beradab. Ajaran Islam juga memberikan toleransi kepada umatnya dalam hal ibadah, shalat, puasa, dan makanan. Adanya berbagai kemudahan atau dispensasi tersebut menunjukan bahwa Islam tidak mempersulit manusia, jikalau itu terjadi maka hal ini bertentangan dengan tujuan ajaran islam itu sendiri yakni untuk memelihara jiwa, agama, akal, harta, dan keturunan. Contohnya adalah firman Allah Swt:

وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗيُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (QS. Al-Baqarah (2):185).

 وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِى ٱلْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُوا۟ مِنَ ٱلصَّلَوٰةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱلْكَٰفِرِينَ كَانُوا۟ لَكُمْ عَدُوًّا مُّبِينًا

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu”. (QS. Surat An-Nisa Ayat 101)

5. Sesuai Dengan Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Allah Ta’ala berfirman,

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5(

“Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qolam (pena). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al ‘Alaq: 1-5).

Beramal tanpa ilmu itu tertolak, sebagaimana disebut di dalam Kitab “Matan Zubad Fi Ilmil Fiqhi Alaa Madzhab Asy Syafi’i” (Karya Asy Syeikh Ahmad Ibnu Ruslan Asy Syafi’iy Tahun 770H – 844H) ia mengatakan:

وَكُلُّ مَنْ بِغَيْرِ عِلْمٍ يَعْمَلُ – أَعْمَالُهُ مَرْدُوْدَةٌ لاَ تُقْبَلُ

“Setiap yang beramal tanpa ilmu maka amalan-amalannya tertolak tidak diterima.

Ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang sangat lah berdampak positif bagi umat manusia, meskipun ada yang yang berdampak negatif, disini lah peran agama sebagai pedoman hidup menjadi sangat penting untuk ditengok kembali.

Dalam kajian ilmu Aqidah Islam sebagai dasar IPTEK. Dijelaskan bahwasanya aqidah Islam harus dijadikan basis segala konsep dan aplikasi iptek. Dan ini sudah diajarkan oleh rasulullah Saw dalam suatu peristiwa gerhana matahari yang bertepatan dengan wafatnya putra rasulullah beliau (Ibrahim). Orang-orang berkata “gerhana matahari ini terjadi karena meninggalnya Ibrahim” maka rasulullah Saw segera menjelaskan “Sesungguhnya gerhana matahari dan bulan tidak terjadi karena kematian atau kelahiran seseorang, akan tetapi keduan nya termasuk tanda-tanda kebesaran Allah dengannya allah memperingatkan hamba-hambanya.” (HR. Al Bukhari dan An-Nasa’i).

6. Kesedarajatan (al-Musawah)

Kesedarajatan dapat diartikan sebuah pandangan, bahwa manusia dengan berbagai latar belakang kebangsaan, agama, budaya, Bahasa, adat istiadat, jenis kelamin, warna kulit, status sosial, ekonomi, pangkat, kedudukan, dan hal-hal lainnya yang bersifat sementara, pada hakikatnya sama-sama ciptaan Tuhan. Adanya perbedaan tidak menjadi alasan untuk menganggap orang yang satu lebih tinggi dari yang lain yang selanjutnya saling menguasai, menjajah, mengeksploitasi, dan lain sebagainya.

Prinsip kesedrajatan dalam Islam diarahkan pada upaya pemberian kesempatan yang sama kepada semua orang untuk mengakses berbagai peluang yang tersedia. Namun pada saat yang sama kepada setiap orang tersebut diberikan reward dan punishment yang ukurannya bukan hal-hal yang bersifat sementara, melainkan sesuatu yang bersifat permanen dan mengandung aspek pendidikan dan pembelajaran. 

Prinsip kesederajatan dalam Islam ini sangat penting dilakukan, sesuai dengan firman Allah sebagai berikut:

يأيُّهَا النّاسُ إِنَّا خَلَقْنَكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنْثى وَجَعَلْنَكُم شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفوا إِنَّ أكْرَمَكُم عِندَ اللهِ أَتْقَكُم إِنَّ الله عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ.

“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. al-Hujurat (49): 13). Rasulullah bersabda:

لَا فضل لِعَرَبِيْ عَلَى أَعْجَمِي وَلَا أَبْيَض عَلَى أَسْوَد إِلا بِالتَقْوَى

“Seorang Arab tidak dianggap lebih utama atas orang non-Arab orang berkulit putih atas orang yang berkulit hitam, (tetapi keutamaan) itu didasarkan pada ketakwaannya.” (HR. Muslim)

7. Keadilan

Keadilan dapat diartikan sebagai sebuah perlakuan seseorang atas orang lain yang didasarkan atas perasaan memberikan kesempatan yang sama, seimbang, proposional, sesuai dengan peran, tugas, tanggung jawab, dan prestasi yang dicapainya.

Prinsip keadilan dalam Islam merupakan perekat, pemersatu, dan penyeimbang antara berbagai tindakan dan perbuatan yang dilakukan manusia, yang memungkinkan setiap orang akan dapat menerimanya dengan rasa puas. Sebaliknya, ketiadaan prinsip keadilan ini merupakan pangkal utama timbulnya ketidakpuasan yang memicu Tindakan unjuk rasa, demo, dan perlawanan yang disertai dengan tindakan arnakis.

Berkaitan dengan keadilan ini Allah swt. berfirman:

إِنَّ الله يَأمُرُ بِالعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَآئِ ذِى القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الفَحْشَآءِ وَالمًنْكَرِ وَالبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil, berbuat kebajikan memberi (pertolongan) kepada kaum kerabat, dan Allah melarang berbuat keji, mungkar, dan zalim. Dia memberi pengajaran kepadamu, agar kamu mendapat peringatan”.

8. Musyawarah

Kata musyawarah diambil dari bahasa Arab, yaitu syūra yang diserap ke dalam bahasa Indonesia yang memiliki arti berunding dan berembuk. 

Adapun syūra menurut istilah berarti menyatukan pendapat yang berbeda-beda berkenaan tentang masalah tertentu dengan cara mengujinya dari berbagai pendapat hingga sampai kepada pendapat yang paling benar dan paling baik. Syūra bukan berarti seseorang meminta nasihat kepada orang lain, melainkan nasihat timbalbalik melalui diskusi.

Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa musyawarah diambil dari bahasa Arab, berasal kata syūra yang memiliki makna berunding dan berembuk. Musyawarah merupakan bentuk dari kedewasaan diri dalam menyelesaikan masalah, karena dalam musyawarah kita belajar untuk menghargai pendapat orang lain, tidak mementingkan diri sendiri. Keputusan yang diambil dalam musyawarah atas dasar kesepakatan bersama, bukan kesepakatan individu atau golongan.

Istilah musyawarah ini sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW, yaitu semenjak beliau hijrah ke Madinah. Sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an, Rasulullah SAW mengembangkan budaya musyawarah di kalangan sahabat. Musyawarah yang dilakukan oleh Rasulullah tidak terfokus kepada satu pola saja. Terkadang beliau bermusyawarah dengan para sahabat senior. Kadang beliau hanya meminta pendapat dari para sahabat. Tak jarang beliau melemparkan masalah-masalah kepada pertemuan yang lebih besar, khususnya dalam masalah yang menyangkut orang banyak dan memiliki dampak yang luas bagi masyarakat.

 

9. Ukhuwah

Ukhuwah Islamiyah berarti “persaudaraan yang bersifat Islami atau yang diajarkan oleh Islam”.  Terdapat empat macam persaudaraan yang dijelaskan dalam Al-Qur’an yaitu: Ukhuwah Ubudiyah, Ukhuwah Insaniyah (basyariyah). Ukhuwah wathoniyah Wa Annashab dan Ukhuwah fi din Al-Islam.

Dari beberapa macam Ukhuwah yang dijalaskan terdapat beberapa manfaat ukhuwah Islamiyah yaitu merasakan lezatnya iman, dan mendapatkan perlindungan Allah di hari kiamat (termasuk dalam 7 golongan yang dilindungi).

 

BAB 4

TUJUAN DAN SASARAN AJARAN ISLAM

 

4.1 Tujuan Ajaran Islam

Islam dibawa oleh Nabi Muhammad SAW bukan hanya dalam bentuk nilai-nilai yang abstrak, namun juga dituangkan dalam aturan-aturan yang disebut dengan Syariat Islam. Syariat Islam adalah tata aturan (hukum-hukum) Allah SWT yang magatur tata hubungan manusia dengan Allah SWT dan manusia dengan manusia.

Di dalam Al-Quran Allah menyebutkan beberapa katan syari’ah, di antaranya adalah:

ثُمَّ جَعَلْنَٰكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِّنَ ٱلْأَمْرِ فَٱتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَآءَ ٱلَّذِينَ لَا يَعْلَمُون

Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.(QS: Al-Jatsiyah: 18).

شَرَعَ لَكُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِۦ نُوحًا وَٱلَّذِىٓ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِۦ إِبْرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰٓ  أَنْ أَقِيمُوا ٱلدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيه

Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.(QS: Asy-Syuura: 13).

Abu Ishaq al-Shatibi merumuskan lima tujuan (hukum) Islam, yakni:

1.    Untuk memeilhara agama (hifdz al-din) Tujuan ini sejalan dengan fitrah keagamaan yang terdapat dalam diri manusia. Rasulullah saw bersabda : “setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan membawa fitrah beragama, maka kedua orangtuanyalah yang menjadikan fitrah keagamaan itu mengambil bentuk Yahudi, Nasrani atau Majusi” (HR. Bukhari dan Muslim).

2.    Untuk memelihara akal (hifdz al-aql). Berkenaan dengan tujuan ini ajaran Islam melarang seseorang mengkonsumsi makanan dan minuman yang merusak akal, seperti minuman yang beralkohol, dan berjudi. Untuk ini, ajaran Islam menganjurkan seseorang agar mengisi akalnya dengan berbagai macam ilmu pengetahuan, tidak membiarkan dirinya berada dalam kebodohan, dan seterusnya.

3.    Untuk memelihara jiwa (hifdz al-nafs). Berkenaan dengan tujuan ini, ajaran Islam melarang membunuh seseorang tanpa alasan yang dibenarkan syara’. Islam melarang seseorang membiarkan dirinya jatuh dalam kebinasaan, dan hal-hal lain yang menjadi penyebabnya, seperti mengkosumsi makanan dan minuman yang memabukkan dan mematikan, bekerja diluar kemampuan fisiknya, dan membiarkan penyakit tanpa mau berobat. Di dalam al-qur’an Allah SWT mengingatkan : S. Al-Baqarah ayat 195 : “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan diri sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah,  karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”.

4.    Untuk memelihara harta (hifzl-maal). Berkenaan dengan ini, Islam memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk memilih cara yag efektif untuk mendapatkan harta yang dibutuhkan bagi dirinya. Islam juga melindungi yang berkaitan dengan itu, misalnya melarang orang mencuri harta milik orang lain. Didalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman S. Al-Maidah ayat 38 :”Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai pembalasan) bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana.

5.    Untuk menjaga keturunan (hifzl al-nasl). Berkaitan dengan tujuan ini, maka Islam menganjurkan kepada setiap orang untuk membangun kehidupan rumah tangga, menjadi pasangan suami istri secara halal, membangun keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah yang selanjutnya dapat melahirkan keturunan yang saleh dan salehah. Untuk mencapai tujuan ini, maka Islam mengharuskan membangun rumah tangga yang dibentuk melalui sebuah perkawinan secara Islami, memenuhi syarat dan rukun perkawinan sesuai ajaran Islam.

Kelima tujuan hukum Islam tersebut di dalam kepustakaan disebut al-maqasid al-khamsah atau al-maqasid al-shari’ah. Dengan 5 (lima) tujuan ini, maka kemaslahatan kehidupan manusia terpenuhi.

Macam-macam mashlahah ditinjau dari segi pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat, yaitu:

1.       Al-Dharûriyât; Al-Mashâlih al-Dharûriyah adalah kemaslahatan yang harus terwujud dalam kehidupan manusia, baik dalam beragama maupun dalam kehidupan dunia. Apabila salah satu darinya hilang, maka hancurlah kehidupan dunia, tersebarlah kejahatan dan hilanglah kenikmatan hidup serta pelakunya akan beroleh iqab di akhirat kelak. Kemaslahatan ini terkumpul dalam lima hal, yaitu yang berkaitan dengan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.

2.        Al-Hâjiyât; Al-Mashâlih al-hâjiyâh adalah kemaslahatan yang dibutuhkan manusia untuk meringankan beban dan menghilangkan kesulitan. Apabila hal ini kurang atau tidak ada, dapat memberatkan manusia dalam kehidupannya, tetapi tidak sampai menghancurkan tatanan hidup masyarakat. Sebagai contoh adalah dalam masalah ibadah, di mana Allah memberikan keringanan menjamak dan mengqashar shalat bagi orang yang sedang dalam perjalanan, membolehkan berbuka puasa bagi orang yang sedang sakit atau musafir dan lain-lain sebagainya.

3.       Al-Tahsîniyât; Mashlahah ini adalah kemaslahatan yang dipergunakan untuk menjaga muru’ah dan harga diri, yaitu untuk menjaga kebiasaan yang baik di tengah-tengah kehidupan masyarakat dan untuk menciptakan akhlaqul karimah. Apabila mashlahah ini hilang atau berkurang maka hal itu tidaklah sampai menyebabkan rusaknya tatanan hidup bermasyarakat atau membawa kesusahan bagi masyarakat, namun hal itu dapat menyebabkan terjadinya pola hidup yang kotor dan tidak bermoral dalam pandangan akal manusia.

4.2 Sasaran Ajaran Islam

Sasaran ajaran Islam sudah jelas diperuntukkan selurah umat manusia, karena Nabi Muhammad diutus bukan untuk kaum arab saja melainkan seluruh umat di muka bumi, sebagai rahmat seluruh alam.

BAB 5

Pokok-pokok Ajaran Islam

 

5.1   Ajaran Tentang Ibadah

Kata ibadah berasal dari kata ‘abada yang berarti patuh, tunduk, mengabdi, menyembah, merendahkan diri dihadapan Allah SWT. Secara istilah ibadah berarti ketaatan kepada Allah, tunduk atas segala perintah-Nya, dan pengabdian diri kepada Allah SWT.

Ibadah merupakan dimensi exoteric (luar) dari ajaran Islam. Adapun keimanan merupakan dimensi esoteric (dalam) dari ajaran Islam. Namun demikian, antara keimanan dan ibadah ini saling mengisi. Keimanan merupakan jiwa, spirit, atau rohnya. Adapun ibadah merupakan raga atau fisiknya.

Dalam Islam pokok-pokok ibadah terumuskan dalam rukun Islam, sebagaimana terlukis pada hadits berikut: Islam dibangun atas lima pekara. (1) Persaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad Rasul Allah, (2) mendirikan shalat, (3) mengeluarkan zakat, (4) melaksanakan ibadah haji, dan (5) berpuasa Ramadhan”. (HR Bukhari dan Muslim).

Ibadah tidak hanya sebatas dalam menjalankan rukun Islam, tetapi ibadah juga berlaku pada semua aktivitas duniawi yang didasari rasa ikhlas. Oleh karena itu ibadah terdapat dua klasifikasi yaitu khusus (berkaitan dengan arkan al-Islam, seperti syahadat, shalat, zakat, puasa, haji) dan umum (segala aktivitas yang titik tolaknya ikhlas yang ditunjukkan untuk mencapai ridha Allah SWT berupa amal saleh).

Dalil naqli yang berkaitan dengan ibadah salah satunya terdapat dalam surat Adz-Dzariyat ayat 56 – 57 yang artinya, ”Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan tidak menghendaki supaya meraka memberi aku makanan.”

 

5.2 Ajaran tentang Iman

Iman berasal dari bahasa Arab, yaitu diambil dari kata kerja 'aamana'-yukminu'-iimanan yang berarti 'percaya' atau 'membenarkan'. Secara istilah, Iman adalah: “Membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan, mengamalkan dengan perbuatan”.

Iman atau kepercayaan juga disebut dengan ‘aqidah, berasal dari kata aqada, yu’qidu, aqdan, aqidatan yang berarti ikatan, perjanjian, dan kokoh. ‘Aqidah merupakan hal yang dituntut pertama-tama dan terdahulu dari segala sesuatu untuk dipercayai dengan suatu keimanan yang tidak boleh dicampuri oleh keragu-raguan dan dipengaruhi oleh persangkaan. Selain itu, dilihat dari objek yang diimaninya, yaitu hanya Allah SWT semata, maka keimanan tersebut dinamakan tauhid. Istilah tauhid berasal dari bahasa Arab, yang berarti mengesakan, yakni mengesakan Allah atau pengakuan bahwa di alam semesta ini tiada Tuhan selain Allah.

Aqidah adalah ma ‘uqida ‘alayh al-qalb wa al-dhami yang artinya sesuatu yang mengikat hati dan perasaan. Dari etimologi diatas bisa diketahui bahwa yang di maksud dengan “akidah” ialah keyakinan atau keimanan; dan hal itu diistilahkan sebagai akidah karena ia mengikatkan hati seseorang kepada sesuatu yang di yakini atau di imaninya dan ikatan tersebut tidak boleh di lepaskan selama hidupnya. Inilah makna asal “akidah” yang merupakan derivasi dari kata ‘aqada-ya’qidu-‘aqdan yang artinya mengikat.

Dalam ajaran islam, akidah merupakan landasan atau akar sedangkan syari’ah merupakan batang, cabang-cabangnya. Hal itu berimplikasi bahwa syari’ah tidak bisa berdiri sendiri atau tumbuh tanpa akar yang berupa akidah. Dan syari’ah tanpa akidah bagaikan bangunan yang melayang karena tidak ada pondasinya. Namun demikian, islam menyatakan bahwa hubungan antara keduanya merupakan suatu keniscayaan, yang artinya bahwa antara akidah dan syari’ah tidak bisa berdiri sendiri-sendiri. Jadi, ajaran islam terdiri dari dua pokok, yakni: akidah/iman yaitu: mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dan aktifitasnya dalam masyarakat yang disebut “mu’amalah”.

Ruang Lingkup pembahasan tentang keimanan;

a.    Ilahiah, yaitu pembahasan tentang sesuatu yang berhubungan dengan ilah (Tuhan) seperti wujud Allah Swt., nama-nama Allah Swt., dan sifat-sifat Allah Swt., dan lain-lain.

b.    Nubuwah, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan nabi dan rasul termasuk pembicaraan mengenai kitab-kitab Allah Swt., mukjizat dan sebagainya.

c.     Ruhaniah, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik, seperti malaikat, jin, iblis, setan dan roh.

d.    Sam’iyah, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui melalui sam’i yakni dalil naqli berupa alquran dan as-Sunnah, seperti alam barzakh, akhirat, azab kubur, dan sebagainya.

Kalau kita berbicara tentang akidah maka yang menjadi topik pembicaraan adalah masalah keimanan yang berkaitan dengan rukun-rukun iman dan peranannya dalam kehidupan beragama. Rukun iman yang berupa keimanan kepada Allah dan sifat-sifat-Nya, para rasul-Nya, para malaikat, kitab-kitab yang diturunkan kepada Rasul-rasul-Nya, hari akhir dan qadha’ serta qadar, bisa ditemukan dalam beberapa ayat al-Qur’an dan hadist Nabi SAW. Seperti yang terdapat dalam Q.S. Al-baqarah:285, Q.S. Al-baqarah:177, Q.S. Al- Qamar:49.

Adapun pengaruh rukun iman dalam kehidupan sebagai berikut:

a.    Iman kepada Allah: Keyakinan atau kepercayaan tentang adanya Allah sebagai Maha Pencipta, Maha Pemberi Rezeki, Maha Pemelihara, Maha Pelindung, Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Maha gagah Perkasa, Maha Kaya, Maha Agung dan segala sifat agung.

b.    Iman kepada Malaikat: Senantiasa patuh dan tunduk terhadap segala perintah-Nya dan tidak pernah durhaka kepada-Nya serta setia melaksanakan tugas-tugas yang spesifik dari malaikat.

c.     Iman kepada Kitab-kitab Allah: Kitab-kitab tersebut benar-benar firman Allah dan mengamalkan ajaran-Nya.

d.    Iman kepada Para Nabi dan Rosul: Menerima dan mematuhi segala ajarannya dan meneladani akhlaknya. Memberi keyakinan pada umat muslim bahwa semua nabi dan rosul mempunyai misi suci yang sama, yakni mengajak manusia untuk beriman dan beribadah hanya semata-mata kepada Allah agar mendapat Ridho-Nya. Dan bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir yang diberi tugas menyampaikan ajaran agama yang paling lengkap untuk dijadikan way of life bagi seluruh umat manusia.

e.    Iman kepada Hari Kiamat: Manusia akan senantiasa menjaga diri untuk selalu ta’at kepada Allah, mengharapkan pahala dihari kemudian, dan menjauhi larangan karena takut akan siksaan kelak dkemudian hari.

f.      Iman kepada Qodho’ dan Qodar: dapat mendorong seseorang untuk bersikap berani dalam menegakkan keadilan dan kebenaran, dalam meninggikan kalimat Allah. Ia tidak takut menghadapi resiko dan bahaya yang mengancamnya, sebab ia yakin bahwa kematian, rizki, nasib, dan sebagianya semuanya berada ditangan Allah.

 

5.3   Ajaran tentang Ihsan

Kata ihsan berasal dari bahasa Arab, yaitu ‘hasana-yuhsinu-husnaan’ yang berarti baik, bagus. Selain itu ihsan juga berarti beneficence (kemurahan hati, derma). Di dalam hadis, ihsan dinyatakan sebagai berikut:

أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

“Engkau beribadah kepada Allah, seolah-olah engkau melihat Allah, dan jika kamu tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihat engkau.” (HR. al-Bukhari).

Ihsan dapat diartikan melakukan berbagai amal kebaikan kemanusiaan yang didasarkan atas ibadah semata-mata karena Allah SWT. Ihsan dalam arti yang demikian itu pada hakikatnya dekat dengan akhlak al-karimah. Kata ‘akhlak’ berasal dari bahasa arab, merupakan bentuk jamak dari ‘khuluq’ yang menurut bahasa berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat. Akhlak al-karimah berarti sifat-sifat terpuji yang sudah tertanam dalam jiwa yang dengannya, maka lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan lagi.

Suatu perbuatan dapat dikatakan berakhlak jika memiliki lima ciri sebagai berikut:

a.    Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah melekat menjadi kepribadian dan karakternya.

b.    Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran lagi. Hal ini terjadi karena perbuatan tersebut telah melekat dalam jiwa dan kepribadiannya, sehingga dengan mudah dapat dilakukan.

c.     Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul atas kemauan sendiri dari orang yang mengerjakannya, tanpa ada tekanan atau paksaan dari luar.

d.    Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau berpura-pura.

e.    Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan karena semata-mata atas panggilan Allah SWT.

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB 6

ILMU FIQIH

 

6.1 Pengertian Ilmu Fiqih

Fiqh berasal dari bahasa Arab faqiha, yafqahu fiqhan. Menurut arti harfiah, fiqh berarti pintar, cerdas, paham. Bila dijadikan kata kerja, maka ia berarti memikirkan, mempelajari, memahami. Orangnya dinamakan faqih, dan kalau banyak (jamak) disebut fuqaha.

Kata fiqh dan tafaquh, yang keduanya berarti “pemahaman yang mendalam” sudah kerap digunakan dalam al-Qur’an dan hadis. Dalam al-Qur’an Allah swt. berfirman:

وَمَا كَانَ المُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَآفَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّيْنِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِم لَعَلَّهُم يَحْذَرُونَ.

“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka (tafaqquh) tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS. at-Taibah (9): 122)”

Dalam hadis terdapat dalam doa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. kepada sahabatnya Ibn ‘Abbas:

اَللهُم فَقِهْهُ فِي الديْن وَعَلمْهُ التأْوِيْل

“Ya Allah berikanlah kepadanya (Ibn ‘Abbas) kemampuan yang mendalam (tentang agama), dan ajarkan kepadanya kemampuan al-ta’wil (berpikir metaforis). (HR. al-Bukhari dan Muslim)”

Adapun pengertian fiqh menurut istilah adalah:

العِلْمُ بِالأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ العَمَلِيَّةِ المُكْتَسَبُ مِنْ أَدِلّتِهَا التَفْصِيْلِيَّةِ

“Ilmu mengenai hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis, yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci”.

 

6.2 Pengertian Ushul Fiqih

Ushul fiqh adalah tarkib idhafi (kalimat majemuk) yang telah menjadi nama bagi suatu disiplin ilmu tertentu. Jika ditinjau dari segi etimologi, ushul fiqh terdiri dari mudhaf dan mudhaf ilaih. Menurut aslinya kalimat tersebut bukan merupakan nama dari bagi suatu disiplin ilmu tertentu, tetapi masing-masing dari mudhaf dan mudhaf ilaih mempunyai pengertian sendiri-sendiri. Untuk itu, sebelum memberikan definisi ushul fiqh, terlebih dahulu kita harus mengetahui pengertian “ushul” (yang menjadi mudhaf) dan lafazh “fiqh” (yang menjadi mudhaf ilaih).

Pengertian fiqh sudah kita bahas sebelumnya. Untuk itu kita langsung membahas pengertian dari kata “ushul”. Kata ushul merupakan bentuk jamak dari kata áshl mempunyai arti dasar (fundamen) yang di atasnya dibangun sesuatu, pengertian ini sama dengan pengertian ushul secara terminology, karena ushul fiqh menurut terminologi adalah dasar yang dijadikan pijakan oleh ilmu fiqh.

Ushul fiqh adalah kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang cara (metode) pengambilan (penggalian) hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalil syarí.  Sebagai contoh, ushul fiqh menetapkan, bahwa perintah (amar) itu menunjukan hukum wajib, dan larangan (nahi) menunjukkan hukum haram.

Jika seorang ahli fiqh akan menetapkan hukumnya shalat, apakah wajib atau tidak, maka ia mengemukakan firman Allah di dalam sura ar-Rum 31, al-Mujadalah 13, dan al-Muzammil 20 yang berbunyi:

وَأَقِيْمُوا الصَّلَاةَ

“Dirikanlah shalat”

Demikian juga jika ingin mengetahui hukumnya meminum khamar (minuman yang memabukkan), maka ia akan mengemukakan firman Allah yang berbunyi:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.

“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung”. (QS. Al-Maidah: 90)

Dari contoh tersebut, jelaslah perbedaan antara fiqh dan ushul fiqh, bahwa ushul fiqh merupakan metode (cara) yang harus ditempuh oleh ahli fiqh (faqih) di dalam menetapkan hukum-hukum syara’ bedasarkan dalil-dalil syarí, serta mengklasifikasikan dalil tersebut berdasarkan kualitasnya. Dalil dari al-Qurán harus didahulukan dari pada qiyas serta dalil-dalil yang tidak berdasarkan nash al-Qurán dan hadis. Sedangkan fiqh adalah hasil hukum-hukum syarí berdasarkan metode-metode tersebut.

 

6.3 Objek Pembahasan Fiqih

Objek kajian fiqh adalah segala hal terkait perbuatan seseorang yang telah mukalaf. Misalnya bagaimana ketentuan hukum seorang mukalaf dalam muamalah seperti jual beli, sewa menyewa, pegadaian, pembunuhan, tuduhan/menuduh orang lain berzina, pencurian, wakaf, dan lain sebagainya. Termasuk juga ketentuan-ketentuan ibadah seperti shalat, puasa, haji, dan zakat.

Di dalam fiqh terdapat ketentuan hukum, seperti wajib (ijab: perintah), mandub (nadb: anjuran), haram (tahrim: larangan), makruh (karahah: dibenci), dan mubah (ibahah: boleh), atau menurut golongan Hanafiyah: fardlu, wajib, tahrim. Karahah tahrim, nadb, dan mubah mengenai berbagai kegiatan manusia sebagaimana disebutkan sebelumnya. Ketentuan fiqh tersebut diproses melalui ijtihad dengan menggunakan bantuan berbagai ilmu sebagai berikut:

a.     Bahasa Arab (Ilmu nahwu, tashrif, semantik, dan balaghah)

b.    Logika

c.     Kajian Hadis

d.    Kajian Perawi

e.     Ushul Fiqh

f.      Ilmu Qawaid Fiqhiyah dan ilmu-ilmu bantu lainnya (ekonomi, politik, sosial, komunikasi, dan lain sebagainya.

 

6.4 Objek Pembahasan Ushul Fiqih

Objek pembahasan ushul fiqh adalah mengenai metodelogi penetapan hukum-hukum fiqh. Di dalam ushul fiqh dan fiqh sama-sama membahas dalil-dalil syara’akan tetapi tinjauannya berbeda. Fiqh membahas dalil-dalil tersebut untuk menetapkan hukum-hukum cabang yang berhubungan dengan perbuatan manusia. Sedangkan ushul fiqh meninjau dari segi metode penetapan hukum, klasifikasi argumentasi serta situasi dan kondisi yang melatarbelakangi dalil-dalil tersebut.

 

6.5. Pertumbuhan dan perkembangan Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih

1.    Zaman Nabi SAW

Pada periode nabi Muhammad saw., sumber hukum Islam yang utama yakni al-Qurán, masih dalam proses turun yang memakan waktu kurang lebih 23 tahun, tidak sekaligus, dan dengan cara yang berangsur-angsur, yakni mulai di Mekkah hingga ke Madinah. Berdasarkan wahyu yang diturunkan itulah, Nabi Muhammad saw. menyelesaikan persoalan hukum dalam masyarakat yang cara penyelesaiannya belum terdapat di dalam al-Qurán. Dalam keadaan demikian, maka Nabi Muhammad saw. menyelesaikannya dengan memakai ijtihad atau pendapat yang dihasilkan pemikiran mendalam. Jika hasil ijtihad nabi itu benar, maka tifdak lagi mendapat tentangan dengan turunnya wahyu untuk memperbaikinya. Namun jika hasil ijtihadnya tidak benar, ayat turun untuk menjelaskan hukum yang sebenarnya. Sehubungan dengan itu, maka ijtihad nabi dipandang mendapat lindungan dari Tuhan dan tidak bisa salah (al-ma’shum). Ijtihad yang dibuat nabi, diturunkan kepada generasi selanjutnya melalui sunah. Dengan demikian, sumber hukum yang terdapat pada zaman nabi adalah al-Qurán dan sunah nabi.

 

2.    Zaman Khulafaur Rasyidin atau Sahabat

Pada periode sahabat, persoalan hukum yang harus diselesaikan makin luas dan berkembang, dan lebih sulit menyelesaikannya dibandingkan dengan persoalan hukum yang timbul di Semenanjung Arab sendiri. Hal ini terjadi, karena pada periode ini daerah yang dikuasai Islam makin bertambah luas dan termasuk ke dalamnya daerah-daerah di luar Semenanjung Arabia yang telah mempunyai kebudayaan yang tinggi dan susunan masyarakat yang bukan sederhana, disbandingkan dengan masyarakat Arabia ketia itu.

Guna permasalahan tersebut, para sahabat menggunakan al-Qurán dan al-Sunah sebagai rujukan utama. Untuk kembali ke al-Qurán tidak mengalami masalah, karena al-Qurán sudah ditulis serta dihafal oleh para sahabat. Tetapi untuk kembali kepada al-Sunah tidaklah mudah. Hal yang demikian disebabkan, karena al-Sunah tidak dihafal dan belum dibukukan ketika itu. Di sini timbulah keadaan terpaksa mencari hadis, yang selanjutnya membawa kepada timbulnya hadis-hadis yang diragukan berasal dari Nabi saw., atau yang selanjutnya dikenal sebagai hadis buatan.

Persoalan lainnya adalah, bahwa ayat-ayat al-Qurán yang berkaitan dengan hukum jumlahnya hanya sedikit, yakni 368 ayat atau ekitar 3,5%, dan karenanya tidak semua persoalan hukum dapat dikembalikan kepada al-Qurán atau al-Sunah. Untuk menyelesaikan persoalan yang tidak dijumpai dalam kedua sumber ini, maka khalifah dan para sahabat mengadakan ijtihad pula. Namun kareana turunnya wahyu sudah terhenti, dan mereka tidak tahu lagi apakah hasil ijtihadnya benar atau salah, maka untuk menguatakan hasil ijtihadnya itu dipakailah ijma’, atau consensus sahabat. Dalam kaitan ini, khalifah tidak memutuskan ketentuan hukum sendiri, tetapi terlebih dahulu bertanya kepada sahabat-sahabat lain. Putusan yang diambil dengan suara bulat (consensus) dipandang lebih kuat daripada putusan yang dibuat oleh satu atau beberapa orang saja. Jika pada zaman Abu Bakar, consensus masih dapat diadakan, karena tempat tinggal mereka masih berdekatan, tetapi mulai zaman Umar penyelenggaraan consensus sudah sangat sulit, karena para sahabat sudah tersebar di berbagai daerah yang letaknya berjauhan, seperti Mesir, Suria, Irak, dan Persia. Namun demikian, karena para sahabat masih mempunyai wibawa yang besar sebagai akibat dari kedekatan mereka dengan Nabi Muhammad saw., maka ijtihad mereka dapat diterima umat. Dengan demikian, sumber hukum pada zaman sahabat menjadi tiga, yaitu al-Qurán, al-Sunah dan para sahabat.

Para ahli fiqh dari kalangan sahabat ini antara lain Umar Ibn Khattab, Ali Ibn Abi Thalib, Zaid Ibn Tsabit, dan Abdullah Ibn Umar di Madinah; Abdullah Ibn Abbas di Mekah; Abdullah Ibn Masúd di Kufah, Anas bin Malik di Basrah, Muáz bin Jabal di Suria, dan Abdullah Ibn Ámr al-Al-Áas di Mesir.

Para sahabat itu selanjutnya memiliki murid-murid dari kalangan tabiín, dan seterusnya tabiín ini juga mempunyai murid-murid pula. Di Madinah, pemuka-pemuka dari golongan tabiín yang terkenal ialah fuqaha (ahli hukum) yang tujuh, seperti Saíd Ibn Musayyab, Úrwah Ibn al-Zubair, dan Qasim Ibn Muhammad. Di antara murid-murid tabiín ini dikenal Muhammad Ibn Sayyab al-Zuhri dan Yahya Ibn Saád. Pengikut yang termasyhur dari murid-murid tabiín ini adalah Malik Ibn Anas, pendiri dari mazhab Maliki yang ada sekarang.

 

3.    Periode Umayyah dan Abbasiyah

Pada Periode ini, yang disebut juga sebagai periode ijtihad, persoalan hukum semakin bertambah kompleks dan luas. Hal ini disebabkan wilayah islam yang semakin luas hingga ke afrika, spanyol, asia tenggara dan lain-lain, juga karena perkembangan ilmu agama, umum kebudayaan, dan peradaban makin berkembang pula. Pada masa ini kegiatan pengumpulan, penyeleksian pembuatan hadis palsu, dan pembukuan hadis makin berkembang. Demikian pula dibidang bahasa arab, ilmu al-qur’an, ilmu hadis sebagaimana telah dikemukan juga semakin berkembang.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan perkembangan tradisi macam adat istiadat, sistem sosial sangat mempengaruhi perkembangan hukum dalam islam, sehingga untuk mengatasi keadaan ini para ulama semakin meningkatkan ijtihad-nya dengan bedasarkan pada Al-Qur’an, sunah nabi, dan sunah sahabat.

Pada periode ini lahirlah para ahli hukum yang selanjutnya dikenal sebagai imam atau faqih dalam islam. Pada waktu itu dimekah yang terkenal dengan ikrimah dan mujtahid yang memiliki murid (sufyan ibn Uyaynah dan Muslim ibn Khalid, yang mana imam syafi’I pernah belajar kepada mereka sewatu di Mekah,

kemudian di Kufah terdapat pemuka hukum islam dari golongan tabi’in yang terkenal Alqomah ibn Qois dan Al Qodi Syuraih dan murid meraka yang termasyur adalah abu Hanifah pendiri madzah hanafiah, pernah belajar pada hammad ibn Abi Sualiman, Murid Al Nakha’i.

Di Mesir dikenal yazid ibn Habib dari golongan tabi’in dan diantara muridnya adalah al-Laits ibn Sa’ad, Syaf’i pergi kemesir karena disana terdapat ulama seperti al-Laits dan lain-lain.

Dari uraian diatas terlihat asal usul tiga dari empat mazhab fiqih yang dikenal sekarang yakni Syafi’I, Hanafi, Maliki, dan Hambali yang di dirikan oleh imam Ahmad ibn Hambal, mereka semua ini lahir pada periode ijtihad.

Sementara itu Malik bin anas yang tinggal di madinah lebih banyak memakai sunah dan dengan demikian sanggup menyelesaikan problema-problema yang timbul dalam masyarakat yang masih bersifat sederhana. Hal ini berbeda dengan kufah yang tidak banyak menjumpai hadis.

Dari perbedaan diatas maka sumber hukum yang digunakan untuk memproduk hukum mengalami perbedaan. Untuk yang menyelesaikan kasus hukum abu Hanifah lebih banyak menggunakan pendpat (ra’yu, qiyas, serta istihsan) karena sifat kehati-hatian nya terhadap penggunaan al-Sunah sebagai sumber hukum.

Malik ibn anas lahir pada tahun 713 M dan berasal dari yaman, ia tidak pernah meniggalkan kota kecuali untuk melaksanakan haji ke mekah. Ia wafat pada tahun 795 M.

Dalam melahirkan produk hukum, malik banyak berpegang teguh pada sunah nabi dan sunah sahabat yang menurutnya bahwa dengan sunah ia dapat berpegang teguh dengan Al-Quran dan hadis, jika tidak ditemukan didalam nya maka ia akan menggunakan qiyas dan masalih al mursalah (al-quran, sunah, tradisi).

Kemudian imam Al Syafi’I (Muhammad ibn Idris al syafii Lahir di gaza pada tahun 767 M dari bangsa Quraisy yang pernah belajar kepada Malik bin Anas. Yang mana al Syafi’i melahir kan dua mazhab yaitu qoulu qodim (bagdhad) dan qoulu jadid (Mesir). Imam syafii dalam menetapkna suatu hukum dengan sumber hukum Al-quran dan hadis, ijma, Qiyas atau analogi.

Kemudian imam Ahmad ibn Hambal lahir di Baghdad tahun 780 M dan berasal dari keturunan arab. Kemudian belajar hadis yang diantara gurunya ialah Abu yusuf dan al Syafi’i. hingga ia sendiri menjadi guru yang masyhur. Sumber hukum yang dibangun bedasarkan Al-Quran, sunah, pendapat sahabat yang tidak ada pertentangan dengan sahabat lain dan qiyas. Hingga mazhab ini digunakan di semenanjung arab hingga turki. Selain 4 mazhab tersebut dikalangan suni sesungguhnya terdapat mazhab lain yakni sufyan al sauri, syuraih al-Nakha’i.

Faktor-faktor penyebab lahirnya mazhab yaitu:

a.     Kesungguhan para ulama dalam menjawab berbagai masalah yang timbul di tempat mereka berada;

b.    Adanya perbedaan latar Belakang kecakapan intelektual, kecenderungan kepribadian dan aliran yang dianut seorang muslim;

c.     Perbedaan kondisi sosial, politik kecenderungan pribadi, dan aliran yang pada suatu daerah yang mana imam mazhab tersebut berbeda;

d.    Terbukanya pintu Ijtihad;

e.     Tidak ada larangan bagi murid untuk memiliki pandangan yang berbeda terhadap gurunya;

f.      Sikap saling menghargai pendapat.

 

4.    Periode Taqlid atau Penutupan Pintu Ijtihad

Periode ini dimulai sejak abad ke-4 H (ke-11 M), pada masa ini, mazhab yang empat telah memiliki kedudukan yang stabil dalam masyarakat, dan perhatian bukan lagi ditujukan kepada hukum asal, melainkan buku-buku fikih yang ditulis oleh ulama fikih tersebut yang merujuk kepada hukum asal yakni Al-Qur’an, hadis, dan Ra’yu.

Pada masa terakhir dari kekuasaan daulah Abbasiyah perkembangan ilmu fikih mulai terhenti. Ulama-ulama pada waktu itu sudah merasa cukup dengan pengumpulan karya-karya mazhab saja dan mereka membatasi diri mereka dalam ijtihad hanya dalam masalah furu’. Setelah jatuhnya negri Baghdad pada pertengan abad ke 7H/13M ulama-ulama fikih mazhab sunni sepakat untuk menutup ijtihad, atas pertimbaangan hanya karena rasa kekhawatiran tumbuhnya perselisihan-perselisihan pendapat saja. Mereka merasa puas dengan ijtihad 4 mazhab tersebut.

Kemudian peradaban bangsa Arab mulai mundur dan berangsur-angsur mengalami kemunduran dalam segala bidang. Pada masa itu ulama-ulama tersebut belum mencapai derajat mujtahid, sehingga jika pintu ijtihad dibuka maka akan timbul kekacauan dalam bidang hukum dalan dalam masyarakat, dan masyarakat tidak boleh lagi ber-istinbat langsung kepada Al-Quran, Sunnah dan memberi fatwa, disinilah timbul faham dan sifat taqlid yang mengikuti pendapat-pendapat ulama sebelumnya yang masih terasa hingga saat ini.

 

5.    Zaman Kebangkitan

Pada abad ke-14 M, terdapat sejumlah ulama yang menyerukan untuk berijtihad dan tidak bertaqlid. Gerakan pembuka ijtihad ini dilakukan oleh dunia Islam yang bersentuhan dengan peradaban modern yang dibawa para penjajah barat.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut dapat diketahui bahwa ilmu fiqih dan ushul fiqih adalah hasil ijtihad para ulama dalam rangka melahirkan fikih yang mampu menjawab permasalahan-permasalahan yang dihadapi masyarakat

 

6.6 Penerapan Hukum Islam di Indonesia

Realitas masyarakat Indonesia, mayoritas adalah umat Islam. Mereka telah membangun republik ini melalui perjuangan politik di berbagai forum. upaya perjuangan umat Islam bangsa Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut:

Pertama, pada zaman penjajahan belanda penerapan hukum Islam belum berhasil, karena C. Snouch Hurgronje selaku penasihat pemerintah belanda, memandang bahwa hukum yang hidup dan berlaku di dalam masyarakat Indonesia adalah hukum adat.

Kedua, pada masa pemerintahan orde lama yakni setelah pemilu 1955, partai masyumi yang menjadi ujung tombak dalam upaya penerapan syari’at Islam juga mengalami kegagalan.

Ketiga, pada zaman orde baru, sejarah mencatat, walaupun keberhasilan soeharto mendapat dukungan dari umat Islam, namun pemerintah yang memiliki kekuasaan, setelah enam belas tahun kekuasaan soeharto penguasa orde baru baru menunjukkan sikap akomodatif terhadap Islam sebagai terlihat ada lahirnya UU Nomor 02 Tahun 1989 tentang Pendidikan Nasional yang mewajibkan penyelennggaraan Pendidikan untuk memberikan pelajaran agama sesuai agaa yang dianut

Keempat, pada masa reformasi, tahun 1998, ditandai dengan adanya demokrasi yang makin luas. Era ini dimanfaatkan oleh umat Islam dengan sebaik-baiknya dengan melahirkan undang-undang tentang zakat, penerapan Syariah dan kompilasi hukum Islam lainnya. Oleh karena itu penerapan hukum Islam di Indonesia saat ini telah di terapkan dengan menggunakan hukum Islam kontemporer dengan penyesuaian hukum yang telah diterapkan dalam undang-undang dasar 1945.

 

 

 

 

 

 

 

BAB 7

ILMU KALAM

 

7.1 Pengertian dan Tujuan Ilmu Kalam

Ilmu kalam adalah ilmu yang membicarakan tentang wujudnya Tuhan (Allah), sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang tidak boleh ada pada-Nya dan sifat-sifat yang mungkin ada pada-Nya, serta membicarakan tentang rasul-rasul Tuhan, untuk menetapkan kerasulannya dan mengetahui sifat-sifat yang mesti ada padanya, sifat-sifat yang tidak boleh ada padanya, dan sifat-sifat yang mungkin ada padanya.

Arti perkataan al kalam ialah kata-kata yang tersusun yang menunjukkan suatu maksud. Kemudian al kalam dipakai untuk menunjukkan salah satu sifat Tuhan, yaitu sifat berbicara (firman Allah) sebagaimana terdapat pada ayat sebagai berikut:

وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْلَمُونَ

Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalamullah (firman Allah), kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikianlah itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui. (QS. At Taubah:6).

Hal-hal yang menjadi bahan perdebatan dalam ilmu kalam ini termasuk tentang hakikat seorang muslim, tentang barunya alam, sifat-sifat yang baik bagi Allah, berbagai argumen yang berkaitan sifat-sifat ma’nawiyah, makna asma Allah Ta’ala, kebolehan melihat Allah di akhirat, penciptaan amal, kesanggupan manusia, keadilan Tuhan, pahala dan siksa serta dihapuskannya amal, bertambah dan berkurangnya iman, serta hal-hal yang berkaitan dengan tobat.

Dikalangan para ulama terdapat perbedaan pendapat berkaitan dengan mempelajari dan mengajarkan dan menyusun ilmu kalam. Sebagian berpendapat, bahwa mempelajari, mengajarkan dan menyusun ilmu kalam itu dibolehkan, dan inilah pendapat yang umumnya terdapat di kalangan Ahl Al-Sunah, yaitu pendapat semua pengikut Al-Asy’ari dan mu’tazilah. Sebagian kecil ada ulama yang tidak membolehkan mempelajari, mengajarkan, dan menyusun ilmu kalam tersebut, dan inilah pendapat yang umumnya dianut kalangan muhadditsin.

Dilihat dari segi kandungan, peran dan fungsinya, ilmu kalam ini juga dinamakan ilmu tauhid, yaitu ilmu yang mempelajari tentang kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, tidak menyekutukan-Nya, dengan tujuan menetapkan keesaan Allah dalam zat dan perbuatan-Nya dalam menjadikan alam semesta dan hanya Ialah yang menjadi tempat tujuan terakhir alam ini.

 

7.2 Latar Belakang Lahirnya Ilmu Kalam

Terdapat sejumlah teori yang digunakan para ahli untuk menjelaskan latar belakang lahirnya ilmu kalam:

Pertama, teori politik. Teori ini antara lain digunakan oleh Harun Nasution. Ia misalnya mengatakan bahwa, persoalan politik antara Ali Bin Abi Talib dan Mu’awiyah tentang perebutan kekuasaan yang diselesaikan dengan jalan arbitrase oleh kaum Khawarij dipandang bertentangan dengan ajaran Islam. Menurutnya, bahwa penyelesaian sengketa dengan arbitrase bukanlah penyelesaian menurut apa yang diperintahkan Tuhan, dan oleh karena itu pihak-pihak yang menyetujui arbitrase ini telah menjadi kafir dalam pendapat kaum Khawarij. Dengan demikian, Ali, Mu’awiyah, Abu Musa Al Asy’ari dan ‘Amr Ibn Al Ash, menurut mereka telah kafir. Kafir dalam arti keluar dari Islam, yaitu murtad, dan orang murtad wajib dibunuh. Mereka pun memutuskan untuk membunuh keempat pemuka ini. Penentuan seorang kafir atau tidak kafir bukanlah lagi soal politik, tetapi soal teologi.

Kedua, teori internal dan eksternal. Teori ini antara lain dikemukakan oleh A. Hanafi. Menurutnya bahwa kita tidak akan dapat memahami persoalan-persoalan ilmu kalam sebaik-baiknya kalau kita tidak dapat mempelajari faktor-faktor yang memengaruhi timbulnya, kejadian politis dan historis yang menyertai pertumbuhannya. Faktor ini sebenarnya banyak, akan tetapi digolongkan kepada dua bagian, yaitu faktor-faktor yang datang dari dalam Islam dan kaum muslimin sendiri, dan faktor-faktor yang datang dari luar mereka, karena adanya kebudayaan lain dan agama-agama lain yang bukan Islam.

Secara internal, Al Qur’an sendiri di samping ajarannya kepada tauhid dan mempercayai kenabian dan hal-hal lain yang berhubungan dengan itu, menyinggung pula golongan dan agama-agama yang ada pada masa Nabi Muhammad SAW yang mempunyai kepercayaan yang tidak benar. Al Qur’an tidak membenarkan kepercayaan mereka dan membantah alasan-alasannya, antara lain:

1.    Golongan yang mengingkari agama dan adanya Tuhan dan mereka mengatakan bahwa yang menyebabkan kebinasaan dan kerusakan hanyalah waktu saja (lihat QS. Al Jatsiah ayat 24).

2.    Golongan musyrik yang menyembah bintang, bulan, matahari, (lihat QS. Al An’am ayat 76-78) yang mempertuhankan Nabi Isa dan ibunya (lihat QS. Al Maidah ayat 116) dan yang menyembah berhala (lihat QS Al An’am ayat 74 dan As Syu’ara ayat 9).

Menghadapi berbagai pandangan dan pemikiran tersebut. Tuhan memberikan bantahan dengan alasan yang meyakinkan, dan memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW agar menjalankan dakwahnya dengan mengemukakan berbagai argumen dengan cara yang bijak, dan santun. Berbagai bantahan dengan alasan tersebut merupakan kandungan kajian ilmu kalam. 

 

7.3 Aliran-Aliran Dan Paham Dalam Ilmu Kalam

1.   Aliran Khawarij

Secara harfiah, Khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Adapun menurut istilah, Khawarij adalah para pengikut Ali bin Abi Thalib yang meninggalkan kelompoknya, karena tidak setuju dengan sikap Ali bin Abi Thalib dalam menerima arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan tentang khalifah dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

Pemimpin aliran Khawarij ini yang pertama adalah Abdullah bin Wahb Al Rasidi yang dianggap sebagai ganti dari Ali bin Abi Thalib. Aliran ini selanjutnya terbagi kepada beberapa sekte. Di antaranya Al Muhakkimah, Al Ajaridah, Al Suftriah, dan Al Ibadiah.

Selain itu, kaum Khawarij secara umum memiliki pandangan politik dan ketatanegaraan. Sungguhpun telah mengalami kekalahan, kaum Khawarij menyusun barisan kembali dan meneruskan perlawanan terhadap kekuasaan Islam resmi di zaman dinasti bani Umayah maupun di zaman dinasti bani Abbas. Para pemegang kekuasaan yang ada pada waktu itu mereka anggap telah menyeleweng dari Islam dan oleh karena itu mesti ditentang dan dijatuhkan. Mereka juga memiliki paham demokratis, karena khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam. Khalifah Abu Bakar dan Umar Bin Khattab secara keseluruhan dapat mereka terima. Adapun kedua khalifah berikutnya: Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib mereka anggap telah menyimpang. Usman bin Affan mereka anggap telah menyeleweng mulai dari tahun ketujuh dari masa kekhalifahannya, dan juga Ali juga mereka anggap menyeleweng setelah peristiwa arbitrase.

Kaum Khawarij pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Hidup di padang pasir yang serba tandus membuat mereka bersifat sederhana dalam cara hidup dan pemikiran, tetapi keras hati serta berani, dan bersikap merdeka, tidak bergantung pada orang lain. Ajaran Islam sebagaimana terdapat dalam Al Qur’an dan Al Hadits, mereka artikan menurut lafaznya dan harus dilaksanakan sepenuhnya. Oleh karena itu, iman dalam paham mereka merupakan iman dan paham orang yang sederhana dalam pemikiran lagi sempit akal serta fanatik. Iman yang tebal, tetapi sempit, ditambah lagi dengan sikap fanatik ini membuat mereka tidak dapat menoleransi penyimpangan terhadap ajaran Islam menurut paham mereka, walaupun hanya penyimpangan dalam bentuk kecil.

2.   Aliran Murji’ah

Murjiah berasal dari kata rajaa, yakni mengembalikan kepada Tuhan, dan arja’a yang berarti menunda. Secara politik, kaum Murjiah pada mulanya merupakan golongan yang tidak mau turut campur dalam pertentangan yang terjadi ketika itu, dan mengambil sikap menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidaknya orang yang bertentangan atau dianggap kafir itu kepada Tuhan.

Berkaitan dengan dosa besar yang oleh kaum Khawarij dianggap kafir, namun oleh kaum Murjiah masih dianggap mukmin. Bagi mereka bahwa orang Islam yang berdosa besar itu mengakui, bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa nabi Muhammad SAW adalah Rasul-Nya. Dengan kata lain, orang yang demikian itu tetap mengucapkan dua kalimah syahadat yang menjadi dasar utama iman. Oleh karena itu, orang yang berdosa besar menurut kaum Murjiah, masih dianggap mukmin dan bukan kafir. Dengan demikian, bagi golongan ini yang terpenting dan diutamakan pada seorang mukmin adalah imannya dan bukan perbuatannya, atau dengan kata lain bahwa perbuatan tidak memengaruhi keimanan seseorang. Seseorang yang berbuat dosa besar, seperti membunuh, berzina, durhaka kepada orangtua dan lainnya masih dianggap mukmin dan bukan kafir.

Selain mengandung arti menunda, kaum Murjiah juga mengandung arti kaum yang memberi harapan (raja) bagi orang yang berbuat dosa besar. Harapan ialah bahwa orang yang berbuat dosa besar tersebut masih ada harapan mendapatkan rahmat dan ampunan dari Tuhan, sehingga ia bisa masuk surga.

Kaum Murjiah, sebagaimana juga kaum Khawarij terpecah belah pada beberapa golongan, yang secara umum terdiri dari golongan yang moderat dan ekstrem. Golongan Murjiah yang moderat berpendapat, bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya, dan oleh karena itu mereka tidak akan masuk neraka sama sekali. Yang termasuk ke dalam golongan Murjiah yang moderat ini yaitu Al Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadits. Keimanan bagi golongan ini mempunyai arti pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan, tentang Rasul-rasul-Nya dan tentang segala apa yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan dan tidak dalam perincian. Bagi mereka iman tidak mempunyai sifat bertambah dengan perbuatan yang baik, dan tidak punya sifat berkurang karena perbuatan dosa. 

Ajaran Murjiah yang ekstrem dengan tokohnya Al Jahmiah serta para pengikut Jahm bin Safwan berpendapat, bahwa orang Islam yang percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya hanyalah dalam hati, bukan dalam bagian lain dari tubuh manusia. Orang yang demikian masih dianggap mukmin dan tidak menjadi kafir, sungguhpun ia menyembah berhala, menjalankan ajaran agama Yahudi atau Kristen dengan menyembah salib, menyatakan percaya pada Trinity, dan kemudian mati. Orang yang demikian itu bagi Allah tetap merupakan seorang mukmin yang sempurna imannya.

Ajaran Murjiah ekstrem sebagaimana dikemukakan Harun Nasution ada bahayanya, karena dapat membawa pada moral latitude, sikap memperlemah ikatan moral, atau masyarakat yang bersifat permissive, masyarakat yang dapat menoleransi penyimpangan dari norma-norma akhlak yang berlaku. Karena menurut golongan ini yang dipentingkan hanyalah iman. Adapun norma-norma akhlak dapat dipandang kurang penting dan diabaikan oleh orang-orang yang menganut paham demikian.

Paham Murjiah yang moderat tersebut selanjutnya memiliki kesamaan dengan sebagian paham yang dianut kaum Asy’ariah. Menurut Asy’ariyah, bahwa iman ialah pengakuan dalam hati tentang keesaan Tuhan dan tentang kebenaran rasul-rasul serta segala apa yang mereka bawa. Mengucapkannya dengan lisan dan mengerjakan rukun-rukun Islam merupakan cabang dari iman. Orang yang berdosa besar, jika meninggal dunia tanpa tobat, nasibnya terletak di tangan Tuhan. Ada kemungkinan Tuhan akan mengampuni dosa-dosanya, dan ada pula kemungkinan Tuhan tidak akan mengampuninya dan akan menyiksanya sesuai dengan dosa-dosa yang dibuatnya dan kemudian baru ia dimasukkan ke dalam surga.

3.   Aliran Mu’tazilah

Kata Mu’tazilah berasal dari kata i’tazala yang artinya menjauhkan atau memisahkan diri. Pengertian tentang ibadah Mu’tazilah ini ada hubungannya dengan peristiwa Washil bin Atha serta temannya ‘Amr bin ‘Ubaid dan Hasan Al Basri di masjid Bashrah. Washil selalu mengikuti pelajaran yang diberikan Hasan Al Basri di masjid Bashrah. Pada suatu hari datang seseorang bertanya mengenai pendapatnya tentang orang yang berdosa besar yang meninggal sebelum bertaubat. Sebagaimana dikemukakan tersebut, bahwa kaum Khawarij berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu hukumnya kafir, sedangkan kaum Murjiah memandang mereka masih mukmin. Ketika Hasan Al Basri masih berpikir. Washil mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan mengatakan: ”Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu bukanlah mukmin dan buka pula kafir, tetapi mengambil posisi di antara keduanya, tidak mukmin dan tidak pula kafir.” Kemudian dia berdiri dan menjauhkan diri dari Hasan Al Basri pergi ke tempat lain di masjid, di sana ia mengulangi pendapatnya Kembali. Atas peristiwa ini Hasan Al Basri mengatakan bahwa Washil menjauhkan diri dari kita (i’tazala ‘anna). Dengan demikian, Washil bin Atha’ dan teman-temannya disebut kaum Mu’tazilah.

Kaum Mu’tazilah merumuskan ajaran pokoknya yang dikenal dengan nama Al Ushul Al Khamsah, atau lima ajaran dasar, yaitu:

a.    Al Tauhid, secara harfiah al-tauhid artinya mengesakan Tuhan, atau meyakini sungguh-sungguh bahwa Tuhan hanya satu saja. Tuhan dalam paham mereka akan benar-benar Maha Esa hanya kalua Tuhan merupakan suatu zat yang unik, tidak ada yang serupa dengan Dia. Sehubungan dengan itu, mereka menolak paham anthtropomorphismei yang menggambarkan Tuhan dekat menyerupai makhluknya. Mereka juga menolak paham beatific-vision, yaitu bahwa Tuhan dapat dilihat manusia dengan mata kepalanya.

b.    Al-‘Adl, secara harfiah al-‘adl artinya menempatkan sesuatu pada tempatnya (wadl’u syai fi mahallihi). Bagi Mu’tazilah, paham al-‘adl ini memiliki hubungan dengan al-tauhid. Yakni jika dengan al-tauhid kaum Mu’tazilah ingin menyucikan diri Tuhan dari persamaan dengan makhluk, maka dengan al-‘adl mereka ingin menyucikan perbuatan Tuhan dari persamaan dengan perbuatan makhluk. Bagi kaum Mu’tazilah, hanya Tuhanlah yang berbuat adil; Tuhan tidak bisa berbuat zalim. Pada makhluk terdapat perbuatan zalim. Dengan kata lain, kata al-tauhid membahas keunikan diri Tuhan, maka al-‘adl membahas keunikan perbuatan Tuhan. Sehubungan dengan paham al-‘adl ini, maka kaum Mu’tazilah menganut paham qadariah, yaitu bahwa segala perbuatan yang dilakukan manusia terjadi atas kehendak dan pilihan bebas manusia, dan bukan atas paksaan dari Tuhan. Karena itu, kalau perbuatan yang dilakukan manusia terjadi karena kehendak Tuhan dan bukan pilihan bebas manusia, dan kemudian Tuhan menghukum perbuatan tersebut, maka hukuman tersebut dapat dipandang tidak adil.

c.     Al-Wa’d wal-Wa’id, secara harfiah al-wa’ad dan al-wa’id adalah janji kebaikan (surga) bagi orang yang berbuat baik, dan ancaman keburukan (neraka) bagi orang yang berbuat buruk. Paham ini merupakan lanjutan dari paham al-‘adl sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Tuhan tidak dapat disebut adil. Jika Ia tidak dapat memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan jika tidak menghukum orang yang berbuat buruk. Keadilan menghendaki agar orang yang bersalah diberi hukuman, dan orang yang berbuat baik diberi upah, sebagaimana dijanjikan Tuhan.

d.    Al-Manzilah bain Al-Manzilatain, secara harfiah adalah posisi menengah bagi yang berbuat dosa besar, serta erat hubungannya dengan paham keadilan Tuhan sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Menurut kaum Mu’tazilah, bahwa para pembuat dosa besar bukanlah kafir, tetapi bukan pula mukmin, karena imannya tidak sempurna. Karena bukan mukmin, makai a tidak dapat masuk surga, dan karena bukan pula kafir, makai a tidak mesti masuk neraka. Ia seharusnya di tempat di luar surga dan di luar neraka. Inilah sebenarnya keadilan. Namun karena di akhirat tidak ada tempat selain surga dan neraka, maka pembuat dosa besar hatus dimasukkan ke dalam salah satu tempat ini.

e.    Amar Ma’ruf Nahi Munkar, secara harfiah adalah perintah mengerjakan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Paham ini dianggap sebagai kewajiban bukan hanya oleh kaum Mu’tazilah saja, melainkan juga oleh golongan umat Islam lainnya. Perbedaan yang terdapat antara golongan itu adalah pelaksanaannya. Apakah perintah dan larangan itu cukup dijalankan dengan penjelasan dan seruan saja, ataukah perlu diwujudkan dengan paksaan dan kekerasan. Kaum Khawarij, sebagaimana dilihat memandang bahwa untuk itu perlu dengan kekerasan. Kaum Mu’tazilah berpendapat kalau dapat cukup dengan seruan, tetapi kalau perlu dengan kekerasan dalam menyiarkan ajaran mereka.

Jika kelima ajaran kaum Mu’tazilah tersebut dianalisis secara seksama, terdapat beberapa catatan sebagai berikut:

Pertama, ajaran tersebut terkait dengan upaya memurnikan tauhid, baik yang berkaitan dengan zat maupun perbuatan Tuhan, yakni tauhid yang semurni-murninya.

Kedua, kaum Mu’tazilah pada dasarnya memiliki paham tentang sifat, namun sifat bagi mereka sama dengan zat, atau sifat yang tidak terpisah dengan zat. Sebab sifat yang terpisah dengan zat dapat menimbulkan syirk yang bertentangan dengan paham al-tauhid.

Ketiga, dalam membangun pahamnya, kaum Mu’tazilah juga membawa ayat-ayat Al Qur’an yang dipahami secara rasional.

Keempat, dalam hubungan manusia dengan Tuhan, kaum Mu’tazilah menganut paham qadariyah, yakni paham bahwa perbuatan manusia ditentukan oleh kehendak dan pilihan manusia sendiri, dan bukan oleh Tuhan. Hal-hal yang bersifat baik yang mendapat balasan surga, dan hal-hal yang bersifat buruk yang mendapatkan balasan neraka, dilakukan oleh manusia sendiri, dan bukan atas paksaan (jabr) Tuhan.

Kelima, demi mempertahankan pahamnya yang demikian terdapat pernyataan yang bersifat mewajibkan atau memaksa Tuhan, serta menyatakan bahwa Tuhan tidak berdaya dalam melakukan yang buruk, adalah paham yang tampaknya tidak sejalan dengan konsep kebebasan Tuhan.

4.             Aliran Ahl Al-Sunah Wal-Jama’ah (Asy’ariyah dan Maturidiah)

Term ahli sunah dan jamaah menurut Harun Nasution, kelihatannya timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham golongan Mu’tazilah yang telah dijelaskan sebelumnya, dan terhadap sikap mereka dalam menyiarkan ajarannya itu. Mulai dari Washil, usaha-usaha yang dijalankan untuk menyebarkan ajaran itu, disamping usaha-usaha yang dijalankan menentang serangan musuh Islam. Menurut Ibn Al-Murtadha, Washil mengirim murid-muridnya ke Khurasan, Armenia, Yaman, Maroko, dan lain-lain. Kelihatannya murid-murid ini berhasil dalam usahanya, karena menurut Yaqut, di Tahart, suatu tempat di dekat Tilimsan di Maroko, terdapat kurang lebih 30 ribu pengikut Washil.

Beberapa tokoh yang memiliki paham Ahl Al-Sunah wa Al-Jama’ah ini diantara lain Asy’ariyah dan Maturidiah. Pemikiran dari kedua tokoh ini dapat dikemukakan sebagi berikut:

a.   Asy’ariyah

Asy’ariyah adalah suatu paham teologi yang dinisbahkan kepada Abu Al Hasan ‘Ali bin Ismail Al-Asy’ari lahir di Bashar 873 M, dan wafat di Baghdad pada 935 M. Pada mulanya ia adalah murid Al-Jubba’I, dan salah seorang terkemuka dalam golongan Mu’tazilah, sehingga menurut Al-Husain bin Muhammad Al-‘Askari, Al-Jubba’I berani memercayakan perdebatan dengan lawan kepadanya.  Namun oleh karena sebab-sebab yang tidak begitu jelas, Al-‘Asy’ari, sungguhpun telah puluhan tahun menganut paham Mu’tazilah, akhirnya meninggalkan ajaran Mu’tazilah. Sumber yang berasal dari Al -Subki dan bin Ibn Asakir biasanya menjelaskan, bahwa pada suatu malam Al-‘Asy’ari bermimpi bertemu Nabi Muhammad SAW, yang mengatakan kepadanya bahwa madzhab Ahl Al-Hadislah yang benar, dan madzhab Mu’tazilah salah. Sumber lain mengatakan, bahwa Al’Asy’ari berdebat dengan gurunya Al-Jubba’I dan dalam perdebatan ini guru tak dapat menjawab tantangan murid. Beberapa paham teologi yang dikemukakan Al’Asy’ari antara lain:

1.      Paham tentang sifat. Menurut Al-Asy’ari, mustahil Tuhan mengetahui dengan zat-Nya, karena dengan demikian zat-Nya adalah pengetahuan, dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan. Tuhan bukan pengetahuan (‘ilm), tetapi Yang Maha Mengetahui (‘Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan, dan pengetahuan-Nya bukanlah zat-Nya. Demikian pula dengan sifat-sifat seperti sifat hidup, berkuasa, mendengar, dan melihat.

2.      Paham tentang Al Qur’an. Menurut Al-Asy’ari, Al Qur’an bukanlah diciptakan, sebab kalau ia diciptakan maka akan berantai tanpa kesudahan. Allah SWT berfirman:

اِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ اِذَآ اَرَدْنٰهُ اَنْ نَّقُوْلَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ

Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu, apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: “Kun (jadilah)”, maka jadilah ia. (Qs. An Nahl: 40). Untuk penciptaan sebagaimana dimaksud ayat tersebut diperlukan kata kun, dan untuk terciptanya kun ini perlu kata kun yang lain; begitulah seterusnya, sehingga terdapat rentetan kata-kata kun yang tak berkesudahan. Ini tak mungkin. Oleh karena itu, Al Qur’an tak mungkin diciptakan.

3.      Paham tentang Tuhan yang dapat dilihat di akhirat. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa sifat-sifat yang tidak dapat diberikan kepada Tuhan hanyalah sifat-sifat yang akan membawa kepada arti diciptakannya Tuhan. Sifat dapatnya Tuhan dilihat tidak membawa kepada hal ini; karena apa yang dapat dilihat tidak mesti mengandung arti bahwa ia mesti bersifat diciptakan. Dengan demikian, kalau dikatakan Tuhan dapat dilihat, itu tidak mesti bahwa Tuhan harus bersifat diciptakan.

4.      Paham tentang perbuatan manusia. Menurut Al-Asy’ari, bahwa perbuatan manusia bukanlah diwujudkan oleh manusia sendiri, sebagaimana pendapat Mu’tazilah, tetapi diciptakan Tuhan.

5.      Paham anthromorphism. Al Asy’ari berpendapat, bahwa Tuhan mempunyai muka, tangan, mata, dan sebagainya dengan ditentukan bagaimana (bila kaifa), yaitu dengan tidak mempunyai bentuk dan batasan (laa yukayyaf wa laa yuhad).

6.      Paham tentang keadilan Tuhan. Menurut pendapat Al Asy’ari, bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan tak ada suatu pun yang wajib bagi-Nya. Tuhan berbuat sekehendak-Nya, sehingga kalau Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam surga bukanlah Ia bersifat tidak adil, dan jika Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka tidaklah ia bersifat zalim. Dengan demikian, ia juga tidak setuju dengan ajaran Mu’tazilah tentang al-wa’d wa al-wa’id.

7.      Paham tentang posisi menengah. Bagi Al-Asy’ari bahwa orang yang berdosa besar tetap mukmin, karena imannya masih ada, tetapi karena dosa besar yang dilakukannya ia menjadi fasik. Sekiranya orang berdosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, maka dalam dirinya akan tidak didapati kufur atau iman.

b.      Maturidiyah

Maturidiah adalah aliran teologi yang dibangun oleh Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al Maturidi. Ia lahir pada pertengahan kedua dari abad kesembilan Masehi di Samarkand, dan meninggal di tahun 944 M. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan paham-paham teologinya banyak persamaannya dengan paham-paham yang dimajukan Abu Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam golongan teologi Ahli Sunah dan dikenal dengan nama Al-Maturidiah. Sebagai pengikut Abu Hanifah yang banyak memakai rasio dalam pandangan keagamaannya, Al-Maturidi banyak pula memakai akal dalam sistem teologinya. Dengan dasar ini, maka antara paham teologi Maturidiah dengan paham teologi Al Asy’ari terdapat perbedaan, sungguhpun keduanya timbul sebagai reaksi terhadap aliran Mu’tazilah. Paham teologi Maturidiah ini selengkapnya dapat dilihat sebagai berikut:

1.      Paham tentang sifat Tuhan. Dalam soal sifat-sifat Tuhan terdapat persamaan pendapat antara Al-Asy’ari dengan Al-Maturidi. Baginya Tuhan memiliki sifat-sifat. Tuhan mengetahui bukan dengan zat-Nya, tetapi mengetahui dengan pengetahuan-Nya, dan berkuasa bukan dengan zat-Nya. Pengetahuan dan perbuatan Tuhan itu adalah sifat-sifat-Nya.

2.      Paham tentang perbuatan manusia. Dalam hal ini, Al Maturidi sependapat dengan golongan Mu’tazilah, yakni bahwa manusialah yang sebenarnya mewujudkan perbuatannya. Dengan demikian, Al Maturidi memiliki paham qadariah bukan paham jabbariah atau kasb Al-Asy’ari.

3.      Paham tentang al-shalah wa al-ashlah. Dalam hal ini, Al-Maturidi menolak paham ajaran Mutazilah, namun ia sependapat dengan paham Mu’tazilah, bahwa Tuhan mempunyai kewajiban tertentu.

4.      Paham tentang Al Qur’an. Dalam hal ini, Al Maturidi sependapat dengan Al-Asy’ari yang berpendapat, bahwa kalam atau sabda Tuhan tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim.

5.      Paham tentang orang mukmin yang berbuat dosa besar. Dalam hal ini Al-Maturidi sepaham dengan Al-Asy’ari yang mengatakan, bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa besarnya akan ditentukan Tuhan kelak di akhirat. Dengan demikian, Al-Maturidi dan Al-Asy’ari dekat dengan pendapat kaum Murjiah sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.

6.      Paham tentang al-manzila bain al-manzilatain. Dalam hal ini Al-Maturidi menolak paham posisi menengah kaum Mu’tazilah.

7.      Paham tentang al-wa’d wa al-wa’id. Dalam hal ini, Al-Maturidi sependapat dengan kaum Mu’tazilah. Menurut Al-Maturidi, bahwa janji-janji dan ancaman Tuhan, tak boleh tidak mesti terjadi kelak.

8.      Paham tentang anthropomorphism. Dalam hal ini, Al-Maturidi sepaham dengan Mu’tazilah. Ia tidak sependapat dengan Al-Asy’ari yang mengatakan, bahwa ayat-ayat menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk jasmaniah tak dapat diberi interpretasi atau ta’wil. Menurut pendapatnya, bahwa tangan, wajah, dan sebagainya mesti diberi arti majazi atau kiasan.

Paham teologi Al-Maturidi tersebut memiliki banyak pengikut. Salah satu pengikut penting dari Al-Maturidi ini ialah Abu Al-Yusuf Muhammad Al-Bazdawi (421-493 H). Nenek Al-Bazdawi adalah murid dari Al-Maturidi dan Al-Bazdawi mengetahui ajaran-ajaran Al-Maturidi dari orangtuanya. Al -Bazdawi sendiri mempunyai murid-murid dan salah seorang dari mereka ialah Najm Al-Din Muhammad Al-Nasafi (460-537 H), pengarang kitab Al - ‘Aqaid Al-Nasafiah.

Dengan demikian, Al Maturidiah ini paham teologinya berada diantara Mu’tazilah dan Al-Asy’ariyah, namun lebih kepada paham Al-Asy’ari. Hal ini dapat dilihat dari kedelapan paham teologinya tersebut, hanya tiga pahamnya saja yang dekat Mu’tazilah, yakni paham tentang perbuatan manusia (qadariyah), al-wa’d wa al-wa’id, dan anthropomorphism, atau al-mutajassim (paham bahwa Tuhan memiliki tubuh atau raga). Dengan demikian, bersalah jika Al-Maturidi dikelompokkan pada aliran Ahl al-Sunah wa Al-Jamaah.

 

 

 

 

 

BAB 8

ILMU TASAWUF

 

8.1 Pengertian Ilmu Tasawuf

Ada lima pendapat tentang asal kata dari tasawuf.

Pertama, kata tasawuf dinisbahkan kepada perkataan ahl shuffah, yaitu nama yang diberikan kepada sebagian fakir miskin di kalangan orang Islam pada masa awal Islam. Mereka adalah diantara orang-orang yang tidak punya rumah, maka menempati gubuk yang telah dibangun Rasulullah di luar masjid di Madinah.  Ahl al-Shuffah adalah sebuah komunitas yang memiliki ciri yang menyibukkan diri dengan kegiatan ibadah. Mereka meninggalkan kehidupan dunia dan memilih pola hidup zuhud. Mereka tinggal di masjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai pelana (sofa), mereka miskin tetapi berhati mulia. Para sahabat nabi hasil produk shuffah ini antara lain Abu Darda’, Abu Dzar al Ghifari dan Abu Hurairah 

Kedua, ada pendapat yang mengatakan tasawuf berasal dari kata shuf, yang berarti bulu domba. Berasal dari kata shuf karena orang-orang ahli ibadah dan zahid pada masa dahulu menggunakan pakaian sederhana terbuat dari bulu domba. Dalam sejarah tasawuf banyak kita dapati cerita bahwa ketika seseorang ingin memasuki jalan kedekatan pada Allah mereka meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang ditenun sederhana. Tradisi pakaian sederhana dan compang camping ini dengan tujuan agar para ahli ibadah tidak timbul rasa riya’, ujub atau sombong.

Selanjutnya tasawuf dari aspek terminologis juga didefinisikan secara beragam, dan dari berbagai sudut pandang. Hal ini dikarenakan bebeda cara memandang aktifitas para kaum sufi. Ma’ruf al Karkhi mendefinisikan tasawuf adalah “mengambil hakikat dan meninggalkan yang ada di tangan mahkluk”.  Abu Bakar Al Kattani mengatakan tasawuf adalah” budi pekerti. Barangsiapa yang memberikan bekal budi pekerti atasmu, berarti ia memberikan bekal bagimu atas dirimu dalam tasawuf”.  Selanjutnya Muhammad Amin Kurdi mendefinisikan tasawuf adalah “suatu yang dengannya diketahui hal ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari yang tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji, cara melaksanakan suluk dan perjalanan menuju keridhaan Allah dan meninggalkan larangannya.

Selanjutnya dari beberapa pengertian di atas bila dihubungkan, maka segera tampak bahwa tasawuf pada intinya adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin akhlak yang mulia dan dekat dengan Allah Swt. Dengan kata lain tasawuf adalah bidang kegiatan yang berhubungan dengan pembinaan mental rohaniah agar selalu dekat dengan Tuhan.

Ibnu Khaldun menyatakan, “Banyak sufi berusaha mengungkapkan arti tasawuf dengan kalimat yang general dalam memberikna keterangan maknanya, tetapi tidak satu pun pendapat yang tepat. Di antara mereka ada yang mengunkapkan kondisi-kondisi permulaan, ada yang mengungkapkan kondisi-kondisi akhir, ada yang mengungkapkan sebagai pertanda, ada yang mengungkapkan prinsip-prinsip dan dasar-dasarnya, ada yang menyatukan prinsip dan dasarnya. Masing-masing dari mereka mengungkapkan apa yang ditemukannya dan masing-masing bicara menurut derajat spiritualnya. Masing-masing menyatakan apa yang terjadi pada dirinya, menurut pencapaiannya dalam bentuk ilmu, atau amal, atau kondisi spiritual, atau dzauq (cita rasa spiritual), atau selainnya. Seluruhnya adalah tasawuf.

 

8.2 Ruang Lingkup Ilmu Tasawuf

Ruang lingkup ilmu tasawuf adalah hal-hal yang berkenaan dengan upaya-upaya/cara-cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan yang bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus secara langsung dari Tuhan.

 

8.3 Asal Usul  Ilmu Tasawuf

Para tokoh sufi dan juga termasuk dari kalangan cendikian muslim memberikan pendapat bahwa sumber utama ajaran tasawaf adalah bersumber dari al-Qur’an dan al- Hadits. Al-Qur’an adalah kitab yang di dalam ditemukan sejumlah ayat yang berbicara tentang inti ajaran tasawuf. Ajaran-ajaran tentang khauf, raja’, taubat, zuhud, tawakal, syukur, shabar, ridha, fana, cinta, rindu, ikhlas, ketenangan dan sebagainya secara jelas diterangkan dalam al-Qur’an. Antara lain tentang mahabbah (cinta) terdapat dalam surat al-Maidah ayat 54, tentang taubat terdapat dalam surat al-Tahrim ayat 8, tentang tawakal terdapat dalam surat at-Tholaq ayat 3, tentang syukur terdapat dalam surat Ibrahim ayat 7, tentang shabar terdapat dalam surat al-Mukmin ayat 55, tentang ridha terdapat dalam surat al Maidah ayat 119, dan sebagainya.

Timbulnya tasawuf dalam Islam tidak bisa dipisahkan dengan kelahiran Islam itu sendiri, yaitu semenjak Muhammad diutus menjadi Rasul untuk segenap umat manusia dan alam semesta. Fakta sejarah menunjukan bahwa pribadi Muhammad Saw sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang kali melakukan tahanuts dan khalwat di gua Hira’, disamping untuk mengasingkan diri dari masyarakat kota Mekkah yang sedang mabuk memperturutkan hawa nafsu keduniaan Rasulullah mencari petunjuk Tuhan dengan menenangkan diri didalam gua. Di sisi lain Muhammad Saw juga berusaha mencari jalan untuk membersihkan hati dan mensucikan noda-noda yang menghinggapi masyarakat pada masa itu. Tahanuts dan khalwat yang dilakukan Muhammad Saw bertujuan untuk mencari ketenangan jiwa dan keberhasilan hati dalam menempuh lika-liku probelma kehidupan yang beraneka ragam, berusaha untuk memperoleh petunjuk dan hidayah serta mencari hakikat kebenaran. Dalam situasi yang demikian, Nabi Muhammad Saw menerima Wahyu dari Allah Swt, yang berisi ajaran-ajaran dan peraturan- peraturan sebagai pedoman dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

Dalam sejarah Islam sebelum munculnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud pada akhir abad ke I (permulaan abad ke II). Pada abad I Hijriyah lahirlah Hasan Basri seorang zahid pertama yang termashur dalam sejarah tasawuf. Beliau lahir di Mekkah tahun 642 M, dan meninggal di Basrah tahun 728M. ajaran Hasan Basri yang pertama adalah Khauf dan Rajah’ mempertebal takut dan harap kepada Tuhan, setelah itu muncul guru- guru yang lain, yang dinamakan qari’ , mengadakan gerakan pembaharuan hidup kerohanian di kalangan umat muslim. Sebenarnya bibit tasawuf sudah ada sejak itu, garis-garis mengenai tariq atau jalan beribadah sudah kelihatan disusun, dalam ajaran- ajaran yang dikemukakan disana sini sudah mulai mengurangi makna (ju’), menjauhkan diri dari keramaian dunia (zuhud).

Abu al- Wafa menyimpulkan, bahwa zuhud islam pada abad I dan II Hijriyah mempunyai karakter sebagai berikut:

a.    Menjaukan diri dari dunia menuju akhirat yang berakar pada nas agama, yang dilatar belakangi oleh sosipolitik, coraknya bersifat sederhana, praktis (belum berwujud dalam sistematika dan teori tertentu), tujuanya untuk meningkatkan moral.

b.    Masih bersifat praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian untuk menyusun prinsip-prinsip teoritis atas kezuhudannya itu. Sementara sarana-sarana praktisnya adalah hidup dalam ketenangan dan kesederhanaan secara penuh, sedikit makan maupun minum, banyak beribadah dan mengingat Allah Swt., berlebih- lebihan dalam merasa berdosa, tunduk mutlak kepada kehendak Nya., dan berserah diri kepada Nya. Dengan demikian tasawuf pada masa itu mengarah pada tujuan moral.

c.     Motif zuhudnya ialah rasa takut yaitu rasa takut, yaitu rasa takut yang muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh-sungguh. Sementara pada akhir abad II Hijriyah, ditangan Rabi’ah al- Adawiyah muncul motif rasa cinta, yang bebas dari rasa takut terhadap adab-Nya maupun harapan terhadap pahala-Nya. Hal ini dicerminkan lewat penyucian diri dan abstraksinya dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan.

Akhir abad II Hijriyah, sebagian zahid, khususnyadi Khurasan, dan Rabi’ah al- Adawiyah ditandai kedalaman membuat analisa, yang bias dipandang sebagai masa pendahuluan tasawuf, atau cikal bakal para pendiri tasawuf falsafati abad ke-III dan IV Hijriyah. Abu al- Wafa lebih sependapat kalau mereka dinamakan zahid, qari’, dan nasik (bukan sufi) (Abu al-Wafa, 1970). Sejalan dengan pemikiran ini, sebelum Abu al-Wafa, al-Qusyairi tidak memasukkan Hasan al- Basri dan Rabi’ah al-Adawiyyah dalam deretan guru tasawuf.

Sedangkan zuhud menurut para ahli sejarah tasawuf adalah fase yang mendahului tasawuf. Menurut Harun Nasution, station yang terpenting bagi seorang calon sufi ialah zuhud yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Sebelum menjadi sufi, seorang calon harus terlebih dahulu menjadi zahid. Sesudah menjadi zahid, barulah ia meningkat menjadi sufi. Dengan demikian tiap sufi ialah zahid, tetapi sebaliknya tidak setiap zahid merupakan sufi. Secara etimologis, zuhud berarti raghaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.

Berbicara tentang arti zuhud secara terminologis menurut Prof. Dr. Amin Syukur, tidak bisa dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam dan gerakan protes. Apabila tasawuf diartikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu station (maqam) menuju tercapainya “perjumpaan” atau ma’rifat kepada-Nya. Dalam posisi ini menurut A. Mukti Ali, zuhud berarti menghindar dari berkehendak terhadap hal–hal yang bersifat duniawi atau ma siwa Allah. Berkaitan dengan ini al-Hakim Hasan menjelaskan bahwa zuhud adalah “berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan semedi (khalwat), berkelana, puasa, mengurangi makan dan memperbanyak dzikir”.

Jadi zuhud merupakan hal yang tidak bisa terpisahkan dengan tasawuf sebagai seorang zahid yang menjauhkan diri dari kelezatan dunia serta mengingkarinya serta lebih mengutamakan kehidupan yang kekal dengan mendekatkan diri untuk supaya tercapai keridhoan dan makrifat perjumpaan dengan-Nya. Hal ini agar lebih mendekatkan diri sebagai makhluk dengan Kholik sehingga dapat meraih keuntungan akhirat. Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam, dan gerakan protes yaitu sikap hidup yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim dalam menatap dunia fana ini. Dunia dipandang sebagai sarana ibadah dan untuk meraih keridlaan Allah swt., bukan tujuan tujuan hidup, dan di sadari bahwa mencintai dunia akan membawa sifat-sifat mazmumah (tercela). Keadaan seperti ini telah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya.

Kalau ditilik dari segi historis tasawuf, menurut kalangan peneliti yang menjadi faktor penyebab munculnya antara lain:

a.    Karena adanya “pious opposition” (oposisi yang bermuatan kesalehan) dari sekelompok umat Islam terhadap praktek-praktek regementer pemerintahan Bani Umayah di Damaskus.

b.    Karena ada sekelompok (dalam hal ini para sahabat) yang selalu ingin meniru seperti pekerti Rasulullah Saw, khususnya Khulafa al-Rasyid.

Menurut Prof. Dr. H. Asmaran As, MA, bahwa asal-usul dan motivasi lahirnya tasawuf adalah:

a.    Beberapa asumsi orang yang melatarbelakangi lahirnya tasawuf dalam Islam sepertiadanya unsur kristen, teori filsafat, unsur India, unsur Persia.

b.    Ayat-ayat Alquran yang dijadikan landasan maqamat dan ahwal dalam tasawuf.

c.     Kehidupan dan sabda Rasulullah Saw

d.    Kehidupan dan ucapan sahabat dan Tabi’in, serta

e.    Dari gerakan zuhud menjadi tasawuf.

 

8.4 Para Tokoh Tasawuf dan Fahamnya

1. Hasan Basri

Meskipun ada banyak alternatif yang menjelaskan munculnya sejarah tasawuf, narasi populer memberi tahu kita bahwa Ali bin Abi Thalib atau Abu Bakar As-Shiddiq adalah generasi pertama para sufi. Dari waktu ke waktu, sufisme berkembang luas, salah satunya adalah dengan hadirnya pemikiran tasawuf dari Hasan Al-Basri.

Perilaku sufi pertama termasuk kerap diidentikkan dengan sering menangis dan tidak tertawa, kesedihan terus menerus, ketakutan dan cinta kepada Allah. Di antara tokoh- tokoh terkemuka dari periode awal tasawuf itu antara lain Rabia al-Adawiyah, Said bin Musayyab, dan Hasan al-Basri. Mereka dapat dicatat karena ketenaran mereka di kalangan Muslim dari segala usia. Hasan Al-Basri khususnya dianggap sebagai patriarki tradisi sufi oleh banyak orang.

Al-Basri lahir pada 642 Hijriyah, sembilan tahun setelah kematian Nabi Muhammad SAW. Beliau dilahirkan di Madinah dari pasangan Yaser dan Khayra. Atas kelahiran Al-Basri, keduanya membebaskan budak. Hasan Al Basri dibesarkan dalam lingkaran keluarga Nabi.

Umar bin Khattab dikatakan telah memberikan nama Hasan (yang berarti indah) kepadanya dan berdoa untuknya ketika ia masih kecil. Dia bertemu lebih dari 100 sahabat Nabi, 70 di antaranya adalah ghazi yang bergabung dengan Pertempuran Badr.

Hasan pergi ke Wadi al-Qura untuk belajar. Anas bin Malik, seorang sahabat Nabi, adalah tutornya. Setelah itu, keluarga Al-Basri pindah ke Basra setelah Pertempuran Siffin yang mengakibatkan bentrokan politik bersenjata antar sekte.

Basra berfungsi baik sebagai pelabuhan komersial dan sebagai pangkalan militer. Ekspedisi militer turun dari Basra ke timur, beberapa di antaranya ikut Al-Basri. Ia menemani Rebi ibn Ziyad, komandan salah satu ekspedisi semacam itu, sebagai juru tulisnya. Dia juga berpartisipasi dalam ekspedisi militer lain di Kabul.

Setelah kembali ke Basra, Hasan bertindak sebagai qadi (hakim Islam) tanpa dibayar untuk sementara waktu atas permintaan gubernur, Suleiman ibn Harb. Setelah berhenti dari pekerjaannya, ia mulai bergelut di bidang dakwah Muslim.

Dalam khutbah - khutbahnya, ia kebanyakan menggarisbawahi bahwa seorang Muslim sejati tidak hanya harus menghindari dosa tetapi tetap berada dalam kecemasan yang terus-menerus terhadap kenyataan bahwa kematian itu pasti, dan tidak ada yang bisa memastikan nasib mereka sendiri di dunia lain. Mentalitas yang berhati-hati ini akan mengarah pada fondasi asketisme dan mistisisme dalam Islam. Ajaran-ajaran Hasan Al- Bashri adalah anjuran kepada setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi larangan- larangan-Nya Lebih jauh lagi, Hamka mengemukakan bahwa ajaran tasawuf Hasan yaitu: Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik dari pada rasa tentram yang menimbulkan perasaan takut. Dunia adalah negeri tempat beramal. Barang siapa bertemu dunia dengan perasaanbenci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah darinya. Namun, barang siapa yang bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya bertambal dengan dunia, ia akan sengsara dan akan berhadapan dengan penderitaan yang tidak akan ditanggungnya.”

2. Ibrahim Bin Adham

Ibrahim bin Ad-ham bin Mansur bin Yazid bin al-‘Ijli, lahir di Khurasan 112 H dan wafat di wilayah Romawi 165 H. Selama menjadi penguasa di wilayah Balkhi yang menggantikan ayahnya sebagai Amir, tiba-tiba selalu digoda oleh Malaikat, antara lain suatu ketika di atas atap istananya berkejar-kejaran dua anak remaja yang mencari untanya yang hilang. Setelah kedua anak itu dipaksa turun dari atap istana, lalu Ibrahim memarahinya dengan mengatakan, mana ada unta yang hilang di atas atap istana ini, suatu hal yang tidak bisa diterima oleh akal sehat. Kedua anak tersebut, membalas dengan mengatakan, mana ada penguasa yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah, padahal dia diliputi oleh kemewahan dunia. Tiba-tiba kedua anak itu menghilang seketika, kemudian Ibrahim berkeyakinan bahwa dia adalah dua malaikat yang berupaya menegur kesalahan dirinya. Ibrahim menyadari hal tersebut, sebagai suatu pelajaran besar baginya, sehingga ia memilih meletakkan jabatan sebagai penguasa di Propinsi Balkhi, lalu mengembara mencari guru tasawuf yang ditempati belajar dan menuntunnya untuk menekuni berbagai macam ibadah. Maka ia bertemu dan belajar di beberapa ulama besar; antara lain Imam Abu Hanifah (hidup 80-150 H/699-767 M), Sofyan al-Thauri (hidup 94-161 H), dan Fuadail bin ‘Iyad (hidup 105-187 H/723-803 M).

Ia sangat alim dalam ilmu tasawufnya, dan termasuk salah seorang guru Syaqiq al- Balkhi, wafat (194 H/810 M). Sebagai seorang sufi, yang sebelumnya pernah menjadi penguasa yang diliputi kemewahan dunia, ia sering menyampaikan nasehatnya kepada beberapa putra raja dengan mengatakan: Jadikanlah Allah sebagai sahabatmu, lalu tinggalkan manusia jauh (dibelakangmu). Selanjutnya ia mengatakan, tasawuf adalah keindahan dan kebesaran hati menuju kepada kebebasan sejati, bukan kehidupan yang susah, bukan pula meninggalkan fitrah, tetapi tasawuf adalah pilihan yang benar, hidup zuhud, adil dan keutamaan yang dapat mengantarkan manusia kepada kesucian batin. Dan setelah manusia dapat meninggalkan taqwa, hingga hamba dapat beribadah dengan ikhlas. Maka memancarkanlah kesucian hati, untuk mendapatkan hikmah yang luar biasa dari Allah SWT.

Kisah ini selanjutnya memaparkan bagaimana ia mengembara dari suatu tempat ketempat lain dalam upaya menemukan jalan hidup yang halal. Akhiranya ia hidup dari bekerja sebagai tukang kebun di Syria. Namun akhirnya, orang tahu juga siapa dia sebenarnya. Maka pergilah dan hiduplah ia digurun. Disana, kata Arberry, ia berkawan dengan zahid-zahid Kristen. Dan secara eksplesit dia mengatakan bahwa tasawuf Islam itu terpengaruh oleh ajaran Kristen.

Memang perlu menyelidikikan yang mendalam tentang kebenaran pendapat Arberry ini, juga pendapat orientalis-orientalis lainnya. Tapi serba sedikit maslah ini telah dibahas diatas. Ibrahim bin Adham adalah salah seorang zahid di Khurasan yang sangat menonjol di zamannya. Kendatipun dia putera seorang raja dan pangeran kerajaan Balkh, menurut Nicholson, dia tidak terpesona oleh kekuasaan dan kerajaan yang dibawahinya. Dia lebih suka memakai baju bulu domba yang kasar dan mengarahkan pandangannya ke negri Syam (Syria), dimana ia hidup sebagai penjaga kebun dan kerja kasar lainnya. Suatu ketika ia ditanya: “Mengapa anda menjauhi orang banyak?” Dia menjawab: “Kupegang teguh agama didadaku. Dengannya aku lari dari satu negeri ke negeri yang lain, dari bumi yang kutinggalkan menuju bumi yang akan kudatangi. Setiap orang yang melihatku menyangka aku seorang pengembala atau orang gila. Hal ini kulakukan dengan harapan aku bisa memelihara kehidupan beragamaku dari godaan setan dan menjaga keimananku, sehingga selamat sampai ke pintu gerbang kematian.

3. Rabiah Adawiyah

Rabiah diperkirakan lahir pada 713-717 M atau 95-99 H di Kota Basrah. Ia adalah ibu dari para sufi besar setelahnya. Pandangan-pandangan spiritualnya terus hidup di kalangan sufi selanjutnya. Ulama yang menaruh hormat kepadanya antara lain adalah Sufyan At-Tsauri, Al-Hasan Al-Bashri, Malik bin Dinar, dan Syaqiq Al-Balkhi.

Rabi’ah al-Adawiyah adalah seorang sufi wanita yang nama dan ajaran-ajarannya telah memberi inspirasi bagi para pecinta Ilahi. Rabi’ah adalah seorang sufi legendaries. Sejarah hidupnya banyak diungkap oleh berbagai kalangan, baik di dunia sufi maupun akademisi. Rabi’ah adalah sufi pertama yang memperkenalkan ajaran Mahabbah (Cinta) Ilahi, sebuah jenjang (maqam) atau tingkatan yang dilalui oleh seorang salik (penempuh jalan Ilahi). Selain Rabi’ah al-Adawiyah, sufi lain yang memperkenalkan ajaran mahabbah adalah Maulana Jalaluddin Rumi, sufi penyair yang lahir di Persia tahun 604 H/1207 M dan wafat tahun 672 H/1273 M. Jalaluddin Rumi banyak mengenalkan konsep Mahabbah melalui syai’ir-sya’irnya, terutama dalam Matsnawi dan Diwan-i Syam-ITabriz.

Rabiatul Adawiyah ahli ibadah perempuan yang kerap menangis dan bersedih karena ingat akan kekurangan-kekurangan dirinya di hadapan Allah. Jika mendengar keterangan perihal neraka, Rabiah jatuh tak sadarkan diri untuk beberapa saat. Rabiatul Adawiyah dapat dikategorikan sebagai khawashul khawash dalam tingkatan Imam Al- Ghazali atau superistimewa, tingkat tertinggi setelah tingkat orang kebanyakan (awam) dan tingkat orang istimewa (khawash). Kalau kebanyakan orang beristighfar atau meminta ampunan Allah atas dosa, Rabiah beristighfar untuk ibadah yang tidak sempurna. Rabiah menganggap ibadahnya penuh kekurangan baik secara lahiriyah- formal maupun batin-spiritual karena masih tercampur niat-niat yang kurang tulus dan segala penyakit batin yang menyertai ibadah tersebut. Istighfar di akhir ibadah merupakan pengakuan atas kekurangan dalam ibadah tersebut. Ahli makrifat menyepakati anjuran istighfar usai beramal saleh.

Dalam riwayat, para sahabat bercerita bahwa Rasulullah SAW beristighfar tiga kali tiap selepas sembahyang wajib. Maksudnya, menetapkan syariat istighfar usai beramal bagi umatnya sekaligus mengingatkan akan ketidaksempurnaan ibadah mereka. Baca juga: Mu‘adzah Al-Adawiyah, Sufi Perempuan yang Melawan Mati dalam Lalai Kita kemudian mengenal ucapan yang populer dari Rabiatul Adawiyah, “Istighfāruna yahtāju ilā istigfārin” atau “Kalimat istighfar atau permohonan ampun kita (baca: ibadah) perlu juga dimintakan ampun kembali.” (Al- Ghazali, Ihya Ulumiddin; An-Nawawi, Al-Adzkar; dan As-Sya’rani, At-Thabaqatul Kubra: 65). Rabiah bukan tipe orang yang mudah menerima pemberian orang lain. Ia begitu zuhud. Ia kerap menolak pemberian orang lain. Ia akan dengan jujur mengatakan, “Aku tidak terlalu berhajat pada dunia.”

Memasuki usia ke-80, fisiknya melemah. Tubuhnya begitu kurus sehingga hampir- hampir jatuh ketika berjalan. Tempat sujud Rabiah persis seperti tempat genangan air. Tempat sujudnya selalu basah dengan air mata. Rabiah sering terlibat percakapan dengan Sufyan At-Tsauri. Suatu ketika, ia mendengar Sufyan At-Tsauri menyatakan prihatin atas dirinya, “Alangkah sedihnya.” Rabiah lalu menjawab, “Betapa kecil kesedihan itu. Andai aku bersedih, niscaya tidak ada kehidupan di sana.” Sufyan At- Tsauri pernah berdoa di dekat Rabiah, “Ya Allah, berikanlah ridha-Mu padaku.” Rabiah menanggapinya, “Apakah kau tidak malu kepada Allah dengan meminta ridha-Nya. Sedangkan dirimu tidak ridha atas ketentuan-Nya.” Sufyan AtTsauri kemudian beristighfar.

4. Zunnun Al-Misri

Abu al-Fayd Tauban bin Ibrahim bin Ibrahim bin Muhammad al-Anshari (772 -860 M) yang dijuluki Sahib al-Hut (pemilik ikan). Ia dikenal sebagai sufi yang mengembangkan teori tentang marifat. Marifat dalam terma sufistik memiliki pengertian yang berbeda dengan istilah ― ilm, yakni sesuatu yang bisa diperoleh melalui jalan usaha dan proses pembelajaran. Sedangkan marifat dalam terma sufi lebih merujuk pada pengertian salah satu metode yang bisa ditempuh untuk mencapai tingkatan spiritual. Sebagaimana diketahui bahwa kalangan sufi membedakan jalan sufistik ke dalam tiga macam: (1) makhafah (jalan kecemasan dan penyucian diri; tokohnya adalah Hasan al-Basri); (2) mahabbah (jalan cinta, pengorbanan dan penyucian diri, dengan tokohnya Rabiah al- Adawiyah);  (3)   marifah   (jalan   pengetahuan). Menurutnya, marifah   adalah   fadl (anugerah) semata dari Allah. Dan ini hanya bisa dicapai melalui jalan pengetahuan.  Semakin seseorang mengenal Allahnya, maka semakin pula ia dekat, khusyu dan mencintaiNya.  Ia termasuk meyakini bahwa marifat sebenarnya adalah puncak dari etika baik vertical maupun horizontal.  Jadi, marifat terkait erat dengan syariat, sehingga ilmu batin tidak menyebabkan seseorang dapat membatalkan atau melecehkan kewajiban dari ilmu zahir yang juga dimuliakan oleh Allah. Demikian pula, dalam kehidupan sesama, seorang - arif akan senantiasa mengedepankan sikap kelapangan hati dan  kesabaran  dibanding  ketegasan  dan  keadilan.  Hakikat marifat bagi  Dzun  al- Nun al-Misri adalah al-Haq itu sendiri. Yakni, cahaya mata hati seorang - arif dengan anugerah.

Dari-Nya sanggup melihat realitas sebagaimana al-Haq melihatnya. Pada tingkatan marifat, seorang ― arif akan mendapati penyingkapan hijab (kasyf al-hijab). Dengan pengetahuan inilah, segala gerakgerik sang ― arif senantiasa dalam kendali dan campur tangan Allah. Ia menjadi mata, lidah, tangan dan segala macam perbuatan dari Allah. Dzunun menegaskan bahwa, Aku marifat pada  Allahku  sebab  Allahku,  andai  kata bukan karena Allahku, niscaya aku tidak akan marifat kepadaNya.

Ia membagi marifat menjadi tiga macam: (1)  marifat  altauhid,  yakni  doktrin  bahwa seorang  mumin  bisa  mengenal  Allahnya  karena  memang  demikian  ajaran  yang  telah dia  terima;  (2)  marifat  al-hujjah  wa  al-bayan,  yakni  ma‖rifat  yang  diperoleh  melalui jalan argumentasi, nalar dan logika. Bentuk konkretnya, mencari dalil atau argumen penguat dengan akal sehingga diyakini adanya Allah. Tetapi, marifat kaum teolog ini belum bisa merasakan lezatnya marifat tersebut; (3) marifat sifat alwahdaniyah wa al- fardhiyah, yakni marifat kaum muqarrabin yang mencari Allahnya dengan pedoman cinta. Sehingga yang diutamakan adalah ilham atau fadl (limpahan karunia Allah) atau kasyf (ketersingkapan tabir antara Allah dengan manusia). Karena pada tingkatan ini, sebenarnya yang lebih berbicara adalah hati dan bukannya akal.

5. Abu Yazid Al-Bustami

Al-Busthami adalah orang pertama yang memakai istilah fana sebagai kosa kata sufistik. Dia mengadopsi teori monisme dari gnostisisme hindu-budha. Konsep muraqabah (pendekatan spiritual) yang dipahaminya disejajarkan dengan ajaran samadi (meditation) yang pada puncaknya mencapai ekstase (fana) di mana terjadi penyatuan antara ―yang mendekat (muraqib, yakni sufi) dan ―yang didekati (muraqab, yakni Allah). Pada konteks ini diketahui bahwa Busthami memilah antara konsep ibadah dan marifah di mana ahli ibadah (ritual normatif)  dipersepsikan  sebagai  orang  yang  jauh untuk  dapat  meraih  marifah  (tingkat  spiritualitas  hasil  pendakian  sufistik).  Harun Nasution memandang bahwa ittihad (yang menjadi teori sentral darial-Busthami) tampak sebagai suatu tingkatan dalam tasawuf di mana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu kepada yang lainnya dapat saling berkata: hai aku (ya ana!).

Konsep   ittihad   ini   merupakan   pengembangan   dari konsep fana dan   baqa   yang dicetuskannya.  Menurutnya, setelah mencapai  marifat,  seseorang  dapat  melanjutkan kepada  maqam  selanjutnya  yaitu  fana,  baqa  dan  akhirnya  ittihad.  Fana adalah penyirnaan diri dari sifat keduniawian yang dilukiskan laksana kematian jasad dan lepasnya roh menuju kepada kekekalan (baqa) dan dari sini dapat melangkah kepada penyatuan denganAllah (ittihad). Pada titik ini kerap terjadi apa yang diistilahkan dalamdunia sufi sebagai syatahat atau keadaan tidak sadar karena telah terjadi penyatuan di mana dia seolah menjadi Allah  itu  sendiri.  Konsep fana sebenarnya memiliki beberapa pemaknaan yang dapat diikhtisarkan sebagai berikut: (1) ungkapan majazi bagi penyucian jiwa dari hasrat-hasrat keduniawian; (2) pemusatan akal untuk berpikir tentang Allah semata dan bukan selainnya; (3) peniadaan secara total kesadaran atas eksistensi diri dengan meleburkan kesadaran dalam eksistensi Allah semata. Inilah yang disebut sebagai fi al-fana fana (peniadaan dalam peniadaan) atau baqa fi Allah (menyatu dalam Allah)

6. Al-Hallaj

Al-Hallāj (858-922 M) merupakan seorang proponen paling awal yang disebut-sebut menerima klaim keselamatan eskatologis di luar Islām. Diantara tebaran pemikirannya, memang terdapat ideide yang dapat dipersepsi sebagai sumbangsihnya bagi paham pluralisme agama yang sekarang menjadi wacana keislaman aktual. Semisal yang terekamdalamtafsirnya atas kisah Musa ketika diajak bicara oleh Allāh, yang tampak di mata telanjangnya sebagai pohon belukar api (burning bush) yang berbicara. Pelajaran yang bisa diambil adalah, bahwa ketika seseorang telah sampai padatitik kesadaran diri di mana ia terserap ke dalam hakikat kebenaran, maka kebenaran itu tampak hadir dalam setiap apa yang dilihatnya secara lahir. Paham al-Hallāj didasarkan pada pandangannya tentang Tauhid, di mana Allah adalah satu, unik, sendiri, dan terbukti satu (one, unique, alone, and attested one). Maka tauhid dalam keyakinannyapun mempersilakan kehadiran konsep keAllahan yang beraneka ragam. Baginya, Allah tak dapat disifati dengan apapun. Penyifatan justru hanya akan membatasiNya.

Dari sinilah terpahami mengapa ia tidak menyoal penyembahan melalui konsep monoteisme dan politeisme, karena pada dasarnya, kufur dan iman itu hanya berbeda dari segi nama dan logikanya, yakni antara yang satu dan banyak, bukan dari segi hakikatnya. Menurutnya, jika ditelusuri, niscaya akan dijumpai bahwa kepercayaan- kepercayaan tersebut akan mengarah kepada satu Allah. Al-Hallāj mengatakan jika perenungannya terhadap agama-agama yang berbeda telah menghasilkan simpulan yang mengantarnya pada pemahaman bahwa ternyata terdapat suatu prinsip unik yang merajut keseluruhan agama-agama tersebut. Prinsip tersebut akan hadir dengan sendirinya kepada seseorang sehingga mampu memahaminya. Maka dari itu, seseorang tak usahlah dipinta agar memeluk suatu kepercayaan, karena hal itu justru dapat menjauhkannya dari meraih prinsip yang fundamental tersebut.

Pemikiran al-Hallāj ini terkait erat dengan pemikirannya tentang konsep hulul dan Nur Muhammad. Al-Hallāj memang seorang tokoh yang terkenal dengan ucapannya, ―Ana al-Haqq (Akulah Allāh). Dijelaskan oleh Mahmud jika ucapan hululiyah-nya tersebut tidak tepat jika dimaknai sebagai kesatuan diri hamba dan diri Allahnya sebagaimana terpahami oleh konsep kesatuan wujudnya (Wahdat al-Wujud) Ibn―Arabī. Sedangkan Nūr Muhammad adalah konsep yang menegaskan emanasi wujud segala sesuatu, termasuk para nabi, dari cahaya Muhammad (di alam azali); sehingga pada prinsipnyasemua agama adalah sama karena memancar dari jalan petunjuk yang satu. Maka dari itu, al-Hallāj menyalahkan mereka yang menyalahkan agama orang lain. Hal penting baginya adalah hakikat, bukan bentuk lahirnya. Selaras dengan pandangan tersebut, relevan jika dikemukakan juga pemikiran tentang kewalian (wilāyah). Kewalian adalah intisari (jauhar) kenabian, sehingga seseorang yang telah mencapai derajat kewalian yang  sempurna,  maka  syariat  yang  dibawa  para  nabi  tidak  lagi mengikat dirinya. Pemikiran ini di kemudian hari dinilai menjadi lahan subur bagi perkembangan pemikiran  tentang  kesatuan  ibadah  (tauhid  al-ibādah)dan  kesatuan agama-agama (wahdat al-adyān) dalam aliran Ibn ― Arabī.

7. Ibn Arabi

Ada dua figur besar dalam dunia Islam yang menyandang nama “Ibn ‘Arabi>”. Keduanya berasal dari Andalusia (Spanyol). Pertama, Abu> Bakr Muhammad Ibn ‘Abd Allah Ibn al-‘Arabi al-Ma’a>rifi> (468-543/1076-1148), seorang  pakar hadis dari sevilla, pengarang kitab Ah}ka>m al-Qur’a>n. Ia adalah mantan qa>dli> di kota ini, beliau dikenal dengan sebutan Ibn al-‘Arabi, tetapi kemudian mengundurkan diri dan mengabdikan hidupnya sepenuhnya dengan menulis dan mengajar. Kedua, Abu Bakr Muhammad Muhy al-Din al-Andalusi, di Andalusia beliau dikenal dengan sebutan Ibn Suraqah, sedangkan di negeri Timur beliau dikenal dengan sebutan Ibn ‘Arabi tanpa memakai artikel al. Ibn ‘Arabi inilah yang menjadi fokus kajian ini, yang bergelar Muḥy al-Dīn (Penghidup Agama) dan Shaikh al-Akbar (doctor maximus).

Nama Ibn ‘Arabi> tentu sudah tidak asing lagi. Mengenal sosoknya, berarti berkenalan dengan sebuah figur yang sangat komplek. Selain terkenal sebagai seorang sufi, Ibn ‘Arabi juga dikenal luas dalam kapasitasnya sebagai pengarang dan penyair yang produktif. Kepopuleran Ibn ‘Arabi ini bisa dipahami mengingat.

kehidupannya yang unik dan pemikirannya yang kontroversial. Dalam sepuluh abad terakhir, kebesaran nama Ibn ‘Arabi> di dunia Islam mungkin hanya dapat ditandingi oleh al-Ghaza>li>, seorang pemikir yang dikenal luas berpengaruh terhadap dunia Sunni. Namun, sedikit berbeda dengan al-Ghazali, pengaruh Ibn ‘Arabi agaknya lebih luas sehingga ia diterima oleh hampir semua kalangan, baik Sunni maupun Syi’ah.

Ibn ‘Arabi lahir pada 17 Ramadhan 560 H/28 Juli 1165 M, di Mursia, Spanyol bagian tenggara. Tahun kelahirannya yang bertepatan dengan tahun wafatnya sufi besar Shaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani menimbulkan spekulasi bahwa Ibn ‘Arabi memang dilahirkan untuk menggantikan kedudukan spiritual Shaikh ini, yang dikenal luas di dunia Islam atau Barat sebagai seorang wali, “kekasih Tuhan”.

Ibn ‘Arabi lahir di tengah situasi Andalusia yang tak menentu. Peperangan dan pemberontakan menjadi ancaman yang sewaktu-waktu muncul ke permukaan. Penyebab tidak stabilnya kondisi ini adalah ancaman penaklukan Andalusia oleh sekelompok tentara Kristen yang menyebut diri mereka sebagai Reconquista (para penakluk). Upaya Reconquista yang dimulai dengan penaklukan Toledo pada 1085 oleh Alphoso VI dan berlanjut dengan penaklukan Saragosa pada 1118, dengan segera mendapat tanggapan keras Dinasti al-Murabitun yang berkuasa pada waktu itu. Perang dan perebutan kekuasaan sejak al-Murabitun berkuasa hingga kemudian digantikan oleh Dinasti Muwahhidun, sejak saat itu selalu mendominasi suasana sosial dan politik Andalusia.

Di tengah suasana itulah Ibn ‘Arabi tumbuh dan berkembang dewasa. Ibn ‘Arabi beruntung lahir di tengah keluarga terpandang. Ayahnya adalah seorang pejabat tinggi istana al-Muwahhidun yang terkenal saleh dan terpercaya. Ia menduduki jabatan sebagai orang kepercayaan istana berturut-turut pada dua masa kepemimpinan Abu Ya’qub Yusuf dan raja al-Mu’min III, Abu Yu>suf al-Mansur. Sedangkan dari pihak ibu, Ibn ‘Arabi memiliki seorang paman yang juga penguasa di Tlemcen bernama Yahya ibn Yughan al-Sanhaji.

Sejak saat itu Ibn ‘Arabi berkelana ke berbagai tempat di Spanyol dan Afrika Utara. Kegemaran untuk melakukan perjalanan jauh ini membawa Ibn ‘Arabi muda berkenalan dengan banyak intelektual pada zamannya. Dalam interaksinya dengan para cendekiawan itu, Ibn ‘Arabi tidak membeda-bedakan para sufi dengan para teolog serta sarjana-sarjana lain. Semua orang yang bisa ditemuinya, dijadikan guru dan sahabat untuk terus memperkaya wawasan dan pengalaman religiusnya. Tidak heran bila guru-guru Ibn ‘Arabi sangatlah banyak dan mencakup banyak mazhab dan aliran.

Pada tahun yang sama pula Ibn ‘Arabi mengunjungi ‘Abd al-‘Aziz alMahdawi, seorang guru sufi yang sangat dihormati Ibn ‘Arabi lantaran kedalaman wawasannya tentang filsafat dan tasawuf. Dari al-Mahdawi, Ibn ‘Arabi mempelajari karya Ibn Barrajan yang cukup monumental pada saat itu, karya al-Hikmah. Seperti halnya Ibn Qashi, Ibn Barrajan dikenal luas sebagai seorang sufi yang suka memberontak terhadap penguasa setempat. Ia terlibat konflik dengan penguasa alMurabitun karena ajaran- ajarannya serta kegigihannya dalam mempertahankan keyakinannya, membuatnya tetap dihormati sebagai salah seorang sufi yang paling berpengaruh di Andalusia.

 

8.5 Peranan Tasawuf dalam Masyarakat Modern

Modernitas senyatanya tidak hanya menghadirkan dampak positif, tapi juga dampak negatif. Sementara modernitas dengan niscaya terus bergerak dengan tanpa memperdulikan apakah di balik gerakannya terdapat bias negatif. Modernitas yang merupakan kristalisasi budi daya manusia adalah keharusan sejarah yang tak terbantahkan, dengan demikian satu-satunya yang dapat dilakukan adalah menjadi partisipan aktif dalam arus perubahan modernitas, sekaligus membuat proteksi dari akses negatif yang akan dimunculkan. John Naisbitt dan Patricia Aburdene mengatakan bahwa dalam kondisi seperti ini, maka agama merupakan satu tawaran dalam kegersangan dan kehampaan spiritualitas manusia modern.  Kondisi kekinian telah membawa orang jauh dari Tuhannya. Untuk itu, jalan untuk membawanya kembali adalah dengan menginternalkan nilai-nilai spritual (dalam Islam disebut tasawuf) atau membumikannya dalam kehidupan masa kini. Salah satu tokoh era modern yang begitu sungguh-sungguh memperjuangkan internalisasi nilai-nilai spritual Islam adalah Sayyid Husein Nashr. Ia melihat datangnya malapetaka dalam manusia modern akibat hilangnya spritualitas yang sesungguhnya inhern dalam tradisi Islam. Bahkan beliau juga menyesali tindakan akomodatif dari kalangan modernis dan reformis dunia Islam yang telah berakibat menghancurkan seni dan budaya Islam serta menciptakan kegersangan dalam jiwa seorang muslim.

Dalam situasi kebingungan seperti ini, sementara bagi mereka selama berabad-abad Islam dipandangnya dari isinya yang legalistik formalistis, tidak memiliki dimensi esoteris (batiniah) maka kini saatnya dimensi batiniyah Islam harus diperkenalkan sebagai alternatif.  Menurut Komarudin Hidayat yang dikutip oleh Abudin Nata sufisme perlu untuk dimasyarakatkan dengan tujuan: Pertama, turut serta terlibat dalam berbagai peran dalam menyelamatkan kemanusiaan dari kondisi kebingungan akibat hilangnya nilai-nilai spritual. Kedua, memperkenalkan literatur atau pemahaman tentang aspek esoteris (kebatinan Islam), baik terhadap masyarakat Islam yang mulai melupakannya maupun non Islam, khususnya terhadap masyarakat Barat. Ketiga, untuk memberikan penegasan kembali bahwa sesungguhnya aspek esoteris Islam, yakni sufisme, adalah jantung ajaran Islam, sehingga bila wilayah ini kering dan tidak berdenyut, maka keringlah aspek-aspek yang lain ajaran Islam.

Islam memiliki semua hal yang diperlukan bagi realisasi kerohanian dalam artian yang luhur. Tasawuf adalah kendaraan pilihan untuk tujuan ini. Oleh karena tasawuf merupakan dimensi esoterik dan dimensi dalam daripada Islam ia tidak dapat dipraktekkan terpisah dari Islam, hanya Islam yang dapat membimbing mereka dalam mencapai istana batin kesenangan dan kedamaian yang bernama tasawuf. Tasawuf tidak didasarkan atas penarikan diri secara lahir dari dunia melainkan didasarkan atas pembebasan batin. Pembebasan batin dalam kenyataan bisa berpadu dengan aktivitas lahir yang intens. Tasawuf sampai kepada perpaduan kehidupan aktif dan kontemplatif selaras dengan sifat penyatuan Islam sendiri terhadap kedua bentuk kehidupan ini. Kekuatan rohani Islam menciptakan suatu iklim di dalam kehidupan lahiriah melalui aktivitas yang intens. Nurcholis Majid sebagaimana yang dikutip oleh Simuh mengatakan bahwa sebagai sistem ajaran keagamaan yang lengkap dan utuh Islam memberi tempat kepada jenis penghayatan keagamaan yang lengkap dan utuh. Islam memberi tempat kepada jenis penghayatan keagamaan eksoterik (lahiri) dan esoterik (batini) sekaligus.

Tasawuf bukan berarti mengabaikan nilai-nilai syari’at (nilainilai formalistik dalam Islam). Tasawuf yang benar adalah adanya tawazun (keseimbangan) antara keduanya yaitu unsur lahir (formalistik) dan batin (substansialistik). Untuk betul-betul membumikan tasawuf (nilai-nilai spiritual Islam) di era kekinian atau dalam rangka mensosialisasikan tasawuf untuk mengatasi masalah moral yang ada pada saat ini diperlukan adanya pemahaman baru (interpretasi baru) terhadap term-term tasawuf yang selama ini dipandang sebagai penyebab melemahnya daya juang di kalangan umat Islam yang akhirnya menghantarkan umat Islam menjadi mandeg (statis). Fazlur rahman mengatakan bahwa tidak dapat diragukan lagi bahwa pada dasarnya sufisme mengemukakan kebutuhankebutuhan religius yang penting dalam diri manusia. Yang perlu kita lakukan pada saat sekarang ini adalah mengambil unsur-unsur yang diperlukan tersebut, memisahkan unsur-unsur tersebut dari serpihan-serpihan yang bersifat emosional dan sosiologikal, dan mengintegrasikan unsur-unsur tersebut ke dalam suatu Islam yang seragam dan integral.

Intisari ajaran tasawuf adalah bertujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga orang merasa dengan kesadarannya itu berada dihadirat-Nya. Kemampuan berhubungan dengan Tuhan ini dapat mengintegrasikan seluruh ilmu pengetahuan yang nampak berserakan. Karena melalui tasawuf ini seseorang disadarkan bahwa sumber segala yang ada ini berasal dari Tuhan, bahwa dalam faham wahdatul wujud, alam dan manusia yang menjadi objek ilmu pengetahuan ini sebenarnya adalah bayang- bayang atau foto copy Tuhan. Dengan cara demikian antara satu ilmu dengan ilmu lainnya akan saling mengarah pada Tuhan. Dengan adanya bantuan tasawuf, maka ilmu pengetahuan satu dan lainnya tidak akan bertabrakan, karena ia berada dalam satu jalan dan satu tujuan. Tasawuf melatih manusia agar memiliki ketajaman bathin dan kehalusan budi pekerti, sikap bathin dan kehalusan budi yang tajam ini menyebabkan ia akan selalu mengutamakan pertimbangan kemanusiaan pada setiap masalah yang dihadapi, dengan cara demikian, ia akan terhindar dari melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela menurut agama.

Selanjutnya tasawuf melatih manusia agar memiliki ketajaman batin dan kehalusan budi pekerti. Sikap batin dan kehalusan budi pekerti yang tajam ini menyebabkan ia akan selalu mengutamakan pertimbangan kemanusiaan pada setiap masalah yang dihadapi. Dengan cara demikian, ia akan terhindar dari melakukan perbuatan- perbuatan yang tercela menurut agama. Sikap materialistik dan hedonistik yang merajalela dalam kehidupan modern ini dapat diatasi dengan menerapkan konsep zuhud (asketisisme). Dalam Islam asketisisme ini mempunyai pengertian khusus. Ia bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi, tetapi merupakan hikmah yang membuat penganutnya mempunyai visi khusus terhadap kehidupan, di mana mereka tetap bekerja dan berusaha, namun kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecendrungan hati mereka, serta tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya. Konsep zuhud, yang pada intinya sikap tidak mau diperbudak atau terperangkap oleh pengaruh duniawi yang sementara itu, atau menghindarkan diri dari kecendrungan-kecendrungan hati yang terlalu mencintai dunia.

Jika sikap ini telah mantap, maka ia tidak akan berani menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan. Sebab tujuan yang ingin dicapai dalam tasawuf adalah menuju Tuhan, maka caranya pun harus ditempuh dengan cara yang disukai oleh Tuhan. Selanjutnya sikap frustasi, putus asa dapat diatasi dengan sikap ridha yang diajarkan dalam tasawuf, yaitu selalu menerima terhadap segala keputusan Tuhan setelah berusaha dengan semaksimal mungkin. Ajaran Uzlah yang terdapat dalam tasawuf, yaitu usaha mengasingkan diri dari terperangkap oleh tipu daya keduniawiaan, dapat pula digunakan untuk membekali manusia modern agar tidak menjadi sekruft dari mesin kehidupannya, yang tidak tahu lagi arahnya mau dibawa ke mana. Tasawuf dengan konsep uzlahnya, berusaha membebaskan manusia dari perangkap-perangkap kehidupan yang memperbudaknya. Ini tidak berarti seseorang harus jadi pertapa, ia tetap terlibat dalam berbagai kehidupan, tetapi tetap mengendalikan aktifitasnya sesuai ddengan nilai-nilai ketuhanan, dan bukan sebaliknya larut dalam pengaruh keduniaan.

Gangguan-gangguan kejiwaan yang diderita oleh manusia modern, ternyata bisa diobati dengan terapi tasawuf, sebagaimana dikatakan Omar Alishah dalam bukunya “Tasawuf Sebagai Terapi” menawarkan cara Islami dalam pengobatan gangguan kejiwaan yang dialami manusia, yaitu dengan cara melalui terapi sufi. Terapi tasawuf bukanlah bermaksud mengubah posisi maupun menggantikan tempat yang selama ini di dominasi oleh medis, justru cara terapi sufi ini memiliki karakter dan fungsi melengkapi. Karena terapi tasawuf merupakan terapi pengobatan yang bersifat alternatif. Tradisi terapi di dunia sufi sangatlah khas dan unik. Ia telah dipraktekkan selama berabad-abad lamanya, namun anehnya baru di zaman-zaman sekarang ini menarik perhatian luas baik di kalangan medis pada umumnya, maupun kalangan terapis umum pada khususnya.

Karena menurut Omar Alisyah, terapi sufi adalah cara yang tidak bisa diremehkan begitu saja dalam dunia terapi dan penanganan penyakit (gangguan jiwa), ia adalah sebuah alternatif yang sangat penting. Tradisi sufi (tasawuf) sama sekali tidak bertujuan mengubah pola-pola terapi psikomodern dan terapi medis dengan terapi sufis yang penuh dengan spiritual, sebaliknya apa yang dilakukan Omar justru melengkapi dan membatu konsepkonsep terapi yang telah ada dengan cara mengoptimalkan peluang kekuatan individu seseorang untuk menyembuhkan dirinya, beberapa tehnik yang digunakan Omar Alishah dalam upaya terapeutik yang berasal dari tradisi-tradisi tasawuf antara lain yaitu tehnik “transmisi energi dan tehnik metafor”, Menurut Jalaluddin Rahmat, di seluruh dunia sekarang ini, timbul kesadaran betapa pentingnya memperhatikan etika dalam pengembangan sains. Jadi sains harus dilandasi dengan etika, tapi karena etika akarnya adalah pemikiran filsafat, maka diperlukan akhlak yang bersumber pada al Qur’an dan al Hadits.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB 9 MENYIKAPI PERBEDAAN PENDAPAT DALAM ISLAM

 

9.1 Pengertian Mazhab

Kata mazhab berasal dari bahasa Arab, yang artinya tempat pergi, rujukan, atau sandaran dalam mengamalkan ibadah. Selain itu, mazhab juga dapat berarti aliran (firqah), golongan (thaifah), dan sekte.

Menurut Ali Hasan, mazhab adalah mengikuti hasil seorang ijtihad seorang Imam tentang hukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbatnya.

Menurut M. Husain Abdullah, madzhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah (qawa’id) dan landasan (ushul) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.

Jadi, mazhab adalah pokok pikiran dasar yang digunakan oleh Imam mujtahid dalam memecahkan masalah atau mengistibathkan hukum Islam.

 

9.2 Syarat dan Fungsi Mazhab Ijtihad

Mazhab memiliki fungsi sebagai sandaran, rujukan (referensi), dan sumber pengetahuan dan pegangan bagi masyarakat dalam mencari suatu jawaban masalah yang dihadapi. Keadaan demikian dilakukan, karena pendapat yang terdapat dalam mazhab ini dibuat atau disusun oleh ahli dalam bidangnya yang selanjutnya disebut mujtahid. Pendapat para mujtahid ini dianggap representatif dan dapat diandalkan, karena di dalam melahirkan ketetapan atau pendapat tersebut mereka melakukan ijtihad, yaitu mencurahkan tenaga, memeras pikiran, berusaha sungguh-sungguh, bekerja secara maksimal. Selain itu, seorang mujtahid adalah orang yang menggunakan segala kesanggupan daya rohaniah untuk mengeluarkan hukum syara', menyusun suatu pendapat dari suatu masalah hukum berdasar Al-Qur'an dan Sunah. Orang yang melakukan ijtihad dinamakan mujtahid dan persoalan yang dipertimbangkannya disebut mujtahad fiqh.

Ijtihad dengan artinya yang demikian itu sangat diperlukan, karena ia dapat menopang risalah Islam yang abadi. Ia menjadi bukti bagi manusia, bahwa Islam selalu memberikan pintu terbuka buat intelek manusia yang selalu berusaha mencari kebenaran dan kebaikan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidup manusia. Ijtihad dalam Islam bukan saja diperkenankan melainkan diperintahkan.

Tentang diperkenankan atau diperintahkannya berijtihad tersebut, selain dapat dipahami dari sekian banyak ayat Al-Qur'an yang memerintahkan manusia berpikir (menggunakan akal sehatnya), juga dapat dipahami dari Hadis Rasulullah SAW yang berisi dialog beliau dengan sahabatnya Mu'adz bin Jabal, ketika Nabi mengangkat dia menjadi gubernur di Yaman. Dialog ini selengkapnya ber bunyi:

Nabi: "Bagaimana engkau akan memutuskan perkara yang dibawa Orang kepadamu?"

Mu'adz: "Hamba akan memutuskan menurut Kitabullah (Al-Qur'an)."

Nabi: "Dan jika di dalam Kitabullah engkau tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?"

Mu'adz: "Jika begitu, hamba akan memutuskan menurut Sunah Rasulullah."

Nabi: "Dan jika engkau tidak menemukan sesuatu mengenai hal itu di dalam Sunah Rasulullah?"

Mu'adz: "Hamba akan menggunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (ajta hidu bi ra'yi), tanpa bimbang sedikit pun."

Nabi: "Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah menyebabkan utusan Rasul-Nya menyenangkan hati Rasulullah.”

Selanjutnya, sebagaimana diketahui bahwa Al-Qur'an dan Al-Sunah merupakan pedoman hidup yang dapat menjamin manusia yang berpegang pada duanya untuk tidak tersesat selamanya. Sebagai pedoman hidup, Al-Qur'an ajaran yang berkaitan dengan masalah akidah, ibadah, akhlak, dan muamalabso sial ekonomi, politik, hukum, pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, dan lain sebagainya. Namun demikian, sebagian besar ayat-ayat Al-Quran yang memat berbagai ajaran tersebut tampil dalam bentuk isyarat isyarat yang umum yang apabila ingin diterapkan dalam kehidupan membutuhkan penjelasan dari Hadis, dan jika tidak ada penjelasannya dalam Hadis, maka dengan menggunakan al rayu (pemikiran) melalui kegiatan ijtihad.

Guna menjamin hasil ijtihad tersebut benar-benar dapat dipertanggungjawabkan, baik secara akademik dan moral, maka seorang mujtahid yang dapat melakukan ijtihad tersebut diharuskan memiliki persyaratan yang ketat, antara lain menguasai bahasa Arab dengan segala cabangnya, menguasai ilmu Al-Qur'an dan ilmu Hadis dengan berbagai cabangnya, menguasai ilmu fikih dan ilmu shul fiqh, memiliki keahlian ilmu tertentu, memiliki kepribadian dan akhlak yang mu lia, serta kesungguhan untuk memajukan dan memuliakan Islam. Sebelum sese orang memiliki persyaratan yang demikian ini, sebaiknya seseorang menahan diri lebih dahulu untuk tidak berijtihad secara mutlak. Untuk sementara waktu. Sambil mempersiapkan diri dengan persyaratan ini, maka sebaiknya seseorang berpegang pada hasil pemikiran seorang mujtahid dengan sikap yang objektif, kritis, dan tidak fanatis. Dengan cara demikian, ia akan membuka diri untuk menerima setiap hasil pemikiran mujtahid mana pun yang sesuai dengan ajar an Al-Qur'an dan Al-Sunah, situasi dan kondisi, serta lingkungan sosial, politik, dan budaya yang sesuai pula. Selanjutnya, secara bertahap, ketika ia sudah mulai memiliki dasar-dasar yang kuat serta persyaratan mujtahid yang diperlukan, ba rulah ia berijtihad dalam batas-batas yang disesuaikan dengan kemampuannya. la misalnya kembali pada Al-Qur'an dan Al-Sunah, tetapi dengan memerhatikan pendapat para imam mujtahid yang telah berijtihad terhadap masalah yang se dang dipikirkan oleh si mujtahid tersebut. Dengan kata lain, sebelum ia benar benar menjadi seorang mujtahid yang mutlak (independent), ia terlebih dahulu dapat menjadi mujtahid yang bersandar pada pendapat mujtahid lain atau yang lebih dikenal dengan mujtahid fi al-madzhab, atau mujtahid muqayyad.

 

9.3 Sebab-sebab Timbulnya Berbagai Mazhab

Terdapat sejumlah faktor yang menjadi penyebab lahirnya berbagai mazhab seperti berikut ini:

Pertama, adanya ayat-ayat Al-Qur'an yang memiliki makna yang lebih dari satu arti (ayat musytarak), makna yang multitafsir (interpretable), makna yang tidak tegas (mutasyahihat), makna yang global (umum), dan makna yang singkat Cijaz). Menghadapi ayat-ayat yang karakternya seperti ini, para mujtahid menaf sirkanya dengan cara-cara yang berbeda-beda. Misalnya kata lamastum pada ayat aulamastum al-nisa (QS. al-Maidah, 5: 6) mengandung arti hakiki yakni bersen tuh kulit, dan mengandung arti majazi, yakni melakukan hubungan suami istri (senggama). Perbedaan pemaknaan terhadap ayat ini menimbulkan penetapan hukum yang berbeda-beda. Bagi ulama, seperti mazhab Syafil yang mengartikan lamastum bersentuh kulit dengan perempuan yang bukan muhrim, maka men jadi batal wudhunya. Adapun bagi mazhab Abu Hanifah yang mengartikan la mastum bersetubuh, maka kalau hanya bersentuh kulit tidaklah batal wudhunya.

Kedua, adanya Hadis-Hadis Nabi Muhammad SAW yang derajatnya bukan Hadis mutawatir, melainkan Hadis ahad. Setelah dilakukan penelitian terhadap Hadis akad ini oleh para ulama, hasilnya berbeda-beda. Ulama yang satu meng anggap Hadis ahad ini derajatnya shahih, sedangkan ulama yang satu lagi menilai Hadis ahad ini derajatnya dha'if. Perbedaan dalam penilaian derajat Hadis ini mengakibatkan terjadinya perbedaan dalam penetapan hukum tersebut. Misal nya, Hadis tentang kesiangannya Rasulullah SAW di bulan Ramadhan dalam ke adaan berhadas besar. Sebagian mengatakan bahwa Rasulullah SAW melanjutkan puasanya ini, dengan berdasarkan pada keterangan yang diberikan oleh Siti Ai syah dan puasanya sah. Sebagian lain mengatakan bahwa Rasulullah melanjutkan puasanya ini hanya sekadar menghormati, namun puasanya ini dianggap tidak sah, dan harus membayarnya di hari yang lain, dengan berdasar pada keterangan yang diberikan oleh Abu Hurairah. Sebagian ulama lebih berpegang kepada kete rangan yang diberikan Siti Aisyah daripada keterangan yang diberikan oleh Abu Hurairah. Alasannya ialah karena selain sebagai sahabat Nabi, Siti Aisyah juga sebagai istrinya, sehingga pendapatnya dianggap lebih kuat daripada pendapat Abu Hurairah.

Ketiga, adanya perbedaan kondisi geografis dan lingkungan sosial. Sebagai mana diketahui, di antara para ulama mujtahid tersebut bertempat tinggal di wilayah yang keadaan geografis dan lingkungannya berbeda-beda antara satu dan lainnya. Abu Hanifah misalnya banyak tinggal di Kufah yang saat itu sudah merupakan kota besar yang sudah maju, dan kosmopolitan. Keadaan masyara katnya sudah lebih terdidik, lebih maju, dan permasalahan yang timbul sangat kompleks dan beragam. Sedangkan jumlah para pakar Hadis di daerah terseb sangat terbatas. Keadaan ini mazhab Abu Hanifals banyak berp gang pada akal pikiran dalam bentuk istikoan dan qiyas (analog) yang bank menggunakan akal pikiran, dan karenanya bersifat rasional Sementara itu Malik banyak tinggal di Madinah yang saat ini keadaan masyarakatnya belum semaju masyarakat Kufah, dan jumlah pakar Hladis melebihi kebutuhan, karen Madinah adalah kota Nabi, dan juga berarti gudang Hadis. Keadaan ini menye babkan Imam Malik banyak berpegang ada Hash Al-Qur'an dan Hadis dalam melahirkan ijtihadnya, dan karenanya bersifat tradisional. Dalam pada itu, Imam Syafi'i yang pernah hidup di dua tempat, yaitu di Kufah yang keadaannya sebagai kota yang maju, dan di Mesir, yang pada saat itu keadaan masyarakatnya masih sebagai desa yang tradisional. Keadaan ini menyebabkan Imam Syafi'i memilik dua corak hasil ijtihad yang berbeda, yaitu hasil ijtihadnya ketika berada di Kufah yang dikenal dengan pendapat yang lama (qaul qadim), dan hasil ijtihadnya ke tika berada di Mesir yang selanjutnya dikenal dengan pendapat yang baru (qaul jadid).

Keempat, tingkat kecerdasan, wawasan dan kegeniusan mujtahid. Kegiatan ijtihad atau mengeluarkan produk hukum dan lainnya telah ada sejak zaman Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Sebagai manusia biasa, Rasulullah SAW juga sering berijtihad, dan ijtihadnya ada pula yang dikoreksi oleh Allah SWT. Demikian pula para sahabat sering berijtihad. Karena tingkat kecerdasan, wawasan dan kegeniusan sahabat juga berbeda-beda, maka hasil ijtihadnya juga berbeda-beda. Umar Ibri Khattab misalnya dikenal sebagai sahabat yang genius, berani menggunakan akal pikiran, dan lebih berpikir substantif daripada forma listik. Keadaan Umar bin Khattab yang demikian itu menyebabkan ijtihad Umar bin Khatab dikenal rasional, berani keluar dari hukum yang terdapat pada ayat dan masuk pada hukum yang terdapat pada ayat lain. Ia misalnya pernah berijti had untuk tidak lagi memberikan bagian zakat kepada mu'allaf yang sudah tam pak kuat keislamannya, sungguhpun di dalam Al-Qur'an surat at-Taubah ayat 90, scorang muallaf termasuk mustahik zakat. Ijtijad Umar bin Khattab tersebut didasarkan pada illat yang menjadi alasan seorang muallaf memperoleh bagian zakat, yakni ketika iman dan Islamnya masih lemah. Adapun jika iman dan Is lam si mu'allaf tersebut sudah kukuh, maka illat untuk memberikan zakat kepada si muallaf tersebut menjadi hilang dengan sendirinya, dan dengan demikian si muallaf tersebut tidak lagi mendapat bagian zakat.

Kelima, pertentangan politik. Sejarah mencatat, bahwa antara Khulafaur Ra syidin yang keempat, yakni pada zaman Ali bin Abi Thalib terjadi pertempuran dengan Mu'awiyah bin Abi Sufyan di Shiffin, karena memperebutkan kekuasian. Mu'awiyah yang saat itu sebagai gubernur di Damaskus melakukan pemberon takan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib. Dalam pertempuran yang diselesaikan dengan cara tahkim (arbitrase) atau perundingan itu ternyata memperkuat posisi Mu'awiyah bin Abi Sufyan dan memperlemah posisi Ali bin Abi Thalib. Penyele saikan pertempuran dengan cara tahkim itu dinilai oleh suatu kelompok sebagai yang tidak sesuai dengan Al-Qur'an dan Al-Sunah. Kelompok yang selanjutnya dinamai kaum Khawarij itu menuduh Ali dan Mu'awiyah serta orang-orang yang terlibat di dalamnya sebagai kafir. Sementara oleh kelompok lain yang selanjutnya disebut kaum Murjiah mengatakan, bahwa Ali, Muawiyah, dan para pendukung keduanya masih dianggap orang beriman. Adapun soal dosa dari yang bersang kutan, terserah kepada kebijaksanaan Tuhan di akhirat. Dalam pada itu, ada pula yang berpendapat, bahwa mereka yang berdosa itu, tidak dapat disebut mukmin dan juga tidak dapat disebut kafir. Mereka itu berada di antara mukmin dan kafir dan tempatnya berada di antara surga dan neraka. Pendapat yang terakhir ini se lanjutnya dinamai kaum Mu'tazilah. Hal tersebut memperlihatkan dengan jelas, bahwa perbedaan paham politik sangat berpengaruh besar pada lahirnya mazhab dalam bidang teologi.

Keenam, perbedaan paham teologi dan politik para mujtahid. Pada zaman khalifah bani Ummayah, Abbasiyah dan seterusnya, sudah terdapat aliran Kha warij, Murji'ah, Mu'tazilah, Ahlus Sunnah wa al-Jama'ah (Sunni), Syi'ah, dan lain sebagainya. Di antara para Imam Mujtahid ada yang menganut paham Mu'tazilah. Paham Ahlus Sunah, paham Syi'ah, dan lainnya. Ternyata paham teologi yang dianut para imam mujtahid tersebut berpengaruh terhadap corak hasil ijtihad mereka. Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad Ibn Hambal dari kalangan Ahlu Sunnah wa al-Jama'ah misalnya berbeda dengan hasil ijtihad para mujtahid dari kalangan Syi'ah. Tata cara berwudhu, shalat, berdoa, khotbah dari kalangan Sunni misalnya berbeda dengan tata cara berwudhu, shalat, ber doa, dan lainnya. Ketujuh, perbedaan bidang keahlian, dan latar belakang pendidikan para mujtahid. Sebagaimana diketahui, bahwa di kalangan para mujtahid di samping y k tempuh, termasuk para gura tempat mereka mesinde dens, joga me mengaruhi hasil had para mujtahid.

Berdasarkan stratan tersebut terlihat dengan jelas, bahiva lahirnya beran karegan mazhab atau aliran dalam studi Islam disebabkan faktor-faktor yang sangat kompleks Perbedaan pendapat tersebut bukan lahir dalam ruang yg hampa, melainkan lahir karena adanya berbagai faktor yang memengaruhi.

 

9.4 Sikap Menghargai Berbagai Mazhab

Agar perbedaan mazhab tersebut tidak menimbulkan bencana perpecahan dan fitnah di kalangan umat, maka diperlukan adanya sikap kedewasaan dalam beragama, yaitu sikap yang arif, bijaksana, ramah, toleran, saling memban kerja sama, dan bersahabat di antara umat yang menganut mazhab yang berbeda-beda tersebut. Sikap kedewasaan dalam beragama tersebut dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

Pertama, memandang bahwa berbagai pendapat yang terdapat dalam ma hab tersebut sebagai hasil ijtihad yang mengandung kebenaran dan kesalahan. Dengan pandangan yang demikian itu, maka antara satu mazhab dan mazhab yang lain tidak dapat mengklaim sebagai yang paling benar, dan yang lainnya salah. Yang berhak menentukan mazhab yang benar atau yang salah hanyalah Allah SWT di akhirat nanti. Selama masih di dunia ini, belum ada yang tahu, siapa di mereka yang mazhabnya benar atau salah Penilaian manusia atas kebenaran atau kesalahan suatu mazhab di dunia ini boleh-boleh saja, namun tidak bisa dipaksakan pada orang lain, dan tidak boleh pula saling memaksakan penilaiannya itu. Jika keadaan saling memaksakan ini dilakukan, maka akan terjadi ketegangan dan ketidakharmonisan, bahkan perpecahan. Dalam salah satu Hadisnya, yang diriwayatkan Bukhari Muslim, Rasulullah SAW bersabda:

إِذَا حَكَمَ اْلحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانٍ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ. (رواه البخاري ومسلم)

"Apabila seorang hakim memutuskan perkara dengan jalan ytihad kemudian benar, maka ia mendapat dua pahala. Dan apabila dia memutuskan dengan jalan judad ke mudian helina, maka ia hanya mendapat satu pahala (HR Al Bukhan dan Muslim)

Sejalan dengan pandangan tersebut, maka di kalangan para Imam Mujtahid (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad Ibn Hambal) tidak ada satu pun di antara mereka yang mengklaim pendapatnya sebagai yang paling benar.

a.       Imam Malik berkata:

إنما أنا بشر مثلكم أخطئ وأصيب فانظروا في رأيي، كل ما وافق الكتاب والسنة فخذوا به، وما لم يوافق الكتاب والسنة فاتركوه

Aku ini hanya seorang manusia yang mungkin salah dan mungkin benar, maka korek silah pendapatku. Segala yang sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunah ambillah ia, dan segala yang tidak sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunah tinggalkanlah.

b.      Imam Syafi'i berkata:

"ما قلت وكان النبي صلى الله عليه وسلم قد قال بخلاف قولي فما صح عن النبي صلى الله عليه وسلم أولى ولا تقلدني

Apa yang telah kukatakan padahal bertentangan dengan perkataan Nabi, maka apa yang sahih dari Nabi itulah yang lebih patut kamu ikuti, janganlah kamu taklid kepadaku

c.       Imam Ahmad bin Hambal berkata:

لا تقلدني ولا مالكا ولا الشافعي ولا الثوري وخذ من حيث أخذوا

Janganlah kamu taklid kepadaku! Jangan pula kepada Malik, Syafii, dan al-Tsaury! Dan ambillah dari sumber mana mereka mengambil.[1]

Pendapat para Imam Mujtahid itu pada dasarnya mengingatkan kepada kaum muslimin agar:

1)     Jangan bersikap takdid, yakni meniru atau mengikuti suatu pendapat, tanpa mengetahui sumber pendapat tersebut. b

2)     Bersikap kritis dan korektif terhadap suatu pendapat, karena boleh jadi di dalam pendapat tersebut ada yang tidak sesuai dengan Al-Qur'an dan AlSunah.

3)     Bersikap berani mengakses Al-Qur'an dan Al-Sunah dengan jalan berani berijtihad yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik dan moral.

4)     Tidak menganggap hanya pendapat imam mazhab tertentu saja yang paling benar, sedangkan pendapat mazhab lainnya sebagai yang salah.

Kedua, memandang bahwa semua pendapat dalam mazhab tersebut tidak keluar dari Islam, atau tidak ada satu pun pendapat mazhab tersebut yang dapat dikatakan kafir. Karena di antara pendapat mazhab tersebut tidak ada yang ber tentangan dengan hal-hal yang pokok dalam Islam. Misalnya, tidak ada satu pun mazhab yang berpendapat bahwa Tuhan tidak ada, Muhammad SAW bukan se bagai Nabi dan Rasululullah, Al-Qur'an bukan kalamullah, dan sebagainya. Me reka semua percaya pada Allah SWT sebagai Tuhan Yang Maha Esa, Muhammad SAW sebagai Rasulullahı, Al-Qur'an sebagai kalamullah, dan sebagainya. Yang mereka perdebatkan atau yang terkadang diterima oleh satu mazhab dan dito lak oleh mazhab lain adalah masalah yang bersifat cabang (furu'iyah) yang tidak membawa keluar dari Islam.

Ketiga, memandang bahwa perbedaan dalam hal yang bersifat furu'iyah (cabang) tidak boleh menghalangi seseorang untuk saling berbuat baik, tolong-me nolong, bantu membantu, tegur sapa, antara satu dan lainnya. Dengan demikian, perbedaan pendapat tersebut tidak akan menimbulkan perpecahan.

Keempat, bersikap saling menghormati, menghargai, memuliakan, dan mem berikan peluang kepada masing-masing mazhab untuk meyakini, pemahami, menghayati dan mengamalkan paham mazhabnya itu dengan tenang, tidak ada yang mengganggu dan seterusnya.

Kelima, membangun dialog dan kerja sama di antara para penganut mazhab tersebut, baik dalam bidang sosial, ekonomi, politik, agama, dan lain sebagainya. Dengan cara demikian, satu dan lainnya akan dapat saling memperkaya pema haman dan pengamalan mazhabnya masing-masing.

Keenam, memandang bahwa perbedaan mazhab merupakan sebuah realitas dan keniscayaan yang tidak dapat ditolak. Perbedaan pendapat terjadi karena sebab-sebab yang berada di luar kemampuan manusia, melainkan sebagai sesuatu yang alami.

Ketujuh, memandang bahwa adanya mazhab yang beragam itu merupakan sebuah kekayaan intelektual dan kultural yang sangat berharga la tak ubahnya seperti supermarket yang menyediakan berbagai kebutuhan manusia yang semuanya baik dan halal. Dengan adanya berbagai kebutuhan tersebut, mattia dapat menentukan pilihannya yang sesuai dengan keadaan dirinya.

 

 

 

DAFTAR PUSAKA

 

Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama Semarang, 1994

Abduh Muhammad, Risalah Al-Tauhid, Mesir; Dar Al-Ma’arif, 1968

Abudin Nata, Studi Islam Komprehensif, Jakarta: Kencana, 2011, Cet. Ke-1

Bambang Samsul Arifin, Psikologi Kepribadian Islam, Bandung: CV Pusaka Setia, 2018

Hanafi, A, Theology Islam (Ilmu Kalam), Jakarta; Bulan Bintang.1986. Cetakan ke-6

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Jakarta; UI Press, 1979

Harun Nasution, Teology Islam; Aliran-Aliran Seajarah Analisa Perbandingan, Jakarta; Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1972

Hasbi, Pendidikan Islam Era Modern, Yogyakarta: LeutikaPrio, 2019

Muhammad Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995)

Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam (Upaya Pembentukan Pemikiran Dan Kepribadian Muslim), Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006

Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2013

Rizal Qosim, Pengalaman Fikih, Solo: PT. Tiga Serangkai Mandiri, 2009

Rois Mahfud, Al-Islam (Pendidikan Agama Islam), Jakarta: Erlangga, 2011

Satria Effendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2015

Syarifuddin, Amir. ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana, 2014

Taufik Abdillah Syukur, Pendidikan Karakter Berbasis Hadits, Depok: Rajawali Pers, 2014

Taufik Abdillah Syukur, Ilmu Pendidikan Islam, Depok: Rajawali Pers, 2020

Taufik Abdillah Syukur, Pembelajaran Fiqih, Ciputat: Patju Kreasi, 2020

Taufik Abdillah Syukur, Filsafat Pendidikan Islam, Ciputat: Patju Kreasi, 2021

Taufik Abdillah Syukur, Pengantar Ilmu Pendidikan, Ciputat: Patju Kreasi, 2022

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KATA PENGANTAR

 

          Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif didalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya menjadi lambang kesalehan atau berhenti hanya sampai sekedar disampaikan dalam khutbah, melainkan secara konsepsional menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah.

          Berkenaan dengan pemikiran diatas, maka buku ini akan mengkaji studi Islam sebagai suatu pengantar agar pembaca dapat memahami agama yang dianutnya. Agar kedepan agama tidak lagi disalah artikan. Karena dengan buku ini, agama akan lebih mudah dipahami atau dirasakan fungsinya oleh penganut agama itu sendiri. Sebaliknya tanpa pengetahuan tersebut maka tidak mustahil apabila agama dibuuat menjadi sulit untuk dipahami dan lebih parahnya masyarakat menjadi tidak mengerti mengenai apa fungsi dari agama yang mereka anut, sehingga mencari pemecahan masalah kepada selain agama, dan hal itu tidak semestinya terjadi,  karena fungsi dari agama itu sendiri adalah sebagai sumber jawaban dari segala permasalahan.

 

                                                            Jakarta, 21 Januari 2023

                                                            Penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 




[1] Ibid., h. 541

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PSIKOLOGI PENDIDIKAN ISLAM

ANALISIS KEBIJAKAN TENTANG PENDIDIKAN AGAMA DAN KEAGAMAAN