PEMAHAMAN KEAGAMAAN GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DKI JAKARTA

  

PEMAHAMAN KEAGAMAAN  GURU

PENDIDIKAAGAMA ISLAM  DI DKI JAKARTA

 

 

 

 

 

Oleh :

DR. H. TAUFIK ABDILLAH SYUKUR, MA

HJ. SITI RAFIQOH, M.AG

 


 


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan ni’mat-Nya sehingga buku dengan judul “Pemahaman Keagamaan Guru Pendidikan Agama Islam di DKI Jakarta” dapat tersusun dengan baik.

Buku ini mengenai pemahaman keagamaan guru pendidikan agama Islam di DKI Jakarta. Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif, yaitu dengan memberikan gambaran sejelas mungkin obyek penelitian berkenaan dengan pemahaman keagamaan guru pendidikan agama Islam di DKI Jakarta. Hasil penelitian disajikan secara sistematis mengenai fenomena-fenomena yang ada. Unit analisis penelitian adalah komponen-komponen yang terdapat dalam pemahaman keagamaan guru pendidikan agama Islam di sekolah dasar wilayah provinsi DKI Jakarta. Dengan mengacu pada unit analisis penelitian tersebut, maka subyek penelitian ini adalah guru pendidikan agama Islam (PAI). Dalam penelitian ini peneliti bertindak sebagai instrumen penelitian atau alat penelitian utama (main instrument). Peneliti selaku instrumen utama, menggunakan alat bantu berupa panduan wawancara untuk membantu peneliti merekam hasil wawancara. Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa guru pendidikan agama Islam (PAI) pada Sekolah Dasar (SD) di wilayah Provinsi DKI Jakarta mayoritas memiliki pemahaman keagamaan yang kontektual. Pendekatan kontektual dalam pemahaman keagamaan adalah pemahaman yang penjabarannya senantiasa memperhatikan kondisi dan situasi dimana Islam itu di kembangkan. Pendekatan ini adalah sebagai metode yang menjadikan rasio atau akal manusia sebagai alat yang paling dominan dalam memperoleh pengetahuan dan pemahaman atas pelbagai  ajaran Islam, teks teks wahyu dibedah secara kontekstual, kritis, logis dan rasional. Pendekatan kontekstualis ini juga sebagai manhaj fikir yang memahami agama Islam sebagai organisme yang hidup dan berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada segenap pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan buku konsep fitrah dalam Alqur’an ini. Penulis hanya dapat berdo’a semoga pengorbanan segenap pihak dibalas dengan pahala yang berlipat ganda oleh Allah Swt.

Penulis

 


 


DAFTAR ISI

 

KATA PENGANTAR …………………………….…..………… i

DAFTAR ISI   ...........………………….................…………… iii

BAB I    PENDAHULUAN   ...................................................... 1

BAB II    KAJIAN TEORITIK           .......................................... 6

A.        Pemahaman Keagamaan   …........................................ 6

1.      Pengertian Pemahaman Keagamaan  …………..... 6

2.      Pendekatan dalam pemahaman keagamaan ……... 7

a)      Pendekatan Tekstual ...................................... 7

b)      Pendekatan Kontekstual ................................. 9

c)      Beberapa Permasalahan dalam Pemahaman Keagamaan .................................................. 11

1)      Zakat dengan Uang ................................ 11

2)      Zakat untuk Muallaf .............................. 12

3)      Hukum Potong Tangan Bagi Pencuri .... 13

4)      Mengganti Kayu Siwak dengan dengan Sikat dan Pasta Gigi ............................... 14

5)      Isbal......................................................... 16

6)      Tahlilan .................................................. 19

7)      Saksi Perzinaan ...................................... 24

8)      Bunga Bank ........................................... 33

9)      Kesaksian Wanita .................................. 35

10)   Shalat di Bani Quraizhah ...................... 39

B.         Guru Pendidikan Agama Islam .................................. 40

1.      Pengertian Guru Pendidikan Agama Islam …..... 40

2.      Tujuan Pendidikan Agama Islam ……………… 44

3.      Syarat-Syarat menjadi Guru .……………...…… 45

4.      Peran Guru dalam Pendidikan ...…………..…… 48

BAB III   METODOLOGI PENELITIAN                ……........ 51

A.    Tempat dan Waktu Penelitian   ................................... 51

B.   Metode Penelitian   ..................................................... 54

C.   Unit  Analisis   ............................................................ 54

D.   Instrumen Penelitian   ................................................. 55

E.    Teknik Pengumpulan Data   ....................................... 63

F.   Teknik  Analisa Data   ................................................. 64

BAB IV   PEMAHAMAN KEAGAMAAN  GURU PENDIDIKAAGAMA ISLAM  DI DKI JAKARTA......…... 66

BAB V    PENUTUP ................................................................ 92

A.    Kesimpulan   .............................................................. 92

B.    Saran   ......................................................................... 93

DAFTAR PUSTAKA   .............................................................. 94

DAFTAR RIWAYAT HIDUP   .............................................. 139


 


BAB I

PENDAHULUAN

 

Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw saat ini sudah berusia kurang lebih empat belas abad, yakni dari sejak abad VII hingga abad XX ini. Dalam perjalanan sejarahnya yang panjang itu Islam yang bersumber pada al-Qur’an dan al-Hadits telah dipahami oleh para penganutnya yang memiliki latar belakang sosial, kultural, politik, pendidikan, kecenderungan, kecerdasan, disiplin, aliran dan sebagainya yang berbeda-beda. Berbagai keragaman latar belakang yang dimiliki para penganutnya itu ternyata telah digunakan untuk memahami al-Qur’an dan al-Sunnah. Dari sinilah Islam dalam kenyataan empiris lahir dalam sosok dan wajah yang amat variatif, walaupun sumbernya sama, yaitu al-Qur’an dan Hadits.[1]

Memahami Islam tidak cukup hanya lewat teks, tapi juga harus memahami konteks. Keduanya harus dipahami dan tidak bisa ditinggalkan. Kalau melulu melihat teks, maka akan terpaku dengan teks dan memutar kembali jarum sejarah ke zaman onta. Kalau hanya berpegang pada konteks dan melupakan teks, maka akan seperti anak panah yang lepas dari busurnya.

Dengan mempelajari Qawaid Ushuliyyah dan Qawaid Fiqhiyyah dan memegang teguh ajaran pesantren yaitu dengan al-muhafazah 'alal qadimis shalih wal akhzu bil jadidil ashlah, ini cukup bagi seseorang untuk bisa "nyetel" dengan pas antara wahyu dan akal; teks dan konteks; Nash dengan budaya; mantuq dan mafhumazimah dan rukhsah; serta dalalah dan maqashid.

Maka dari itu ajaran-ajaran pesanatren ini tidak tidak literal dan juga tidak liberal. Cara berpikir 'wasatiyyah' ini membuat para kiai tidak kesulitan menempatkan diri dalam perubahan zaman. Masih banyak saudara-saudara kita yang 100 persen hendak mengikuti setiap tindakan dan perilaku Nabi dari soal cara berpakaian dan lain sebagainya. Tentu tidak keliru kalau mau mengikuti Nabi dalam segala hal, namun bahanyanya bagi mereka yang mengikuti secara tekstual adalah sering menganggap orang lain kurang islami atau kurang ‘nyunnah’ kalau mengikuti Nabi secara kontekstual.

Perilaku dan tindakan Nabi itu ada yang bersifat kemanusiaan belaka dan karenanya tidak memiliki konsekuensi hukum; dan ada yang memang dilakukan Muhammad sebagai seorang Nabi yang karenanya memiliki konsekuensi hukum. Dengan kata lain, harus dibedakan antara sunnah ghairu tasyri'iyyah dan sunnah tasyri'iyyah.

Banyak masalah-masalah yang muncul di tengah-tengah masyarakat terkait dengan pemahaman keagamaan tekstual dan kontekstual ini, antara lain: Apakah saat mengucapkan tasyahud telunjuk harus digerak-gerakkan atau cukup diam saja? Apakah laporan seorang sahabat yang melihat telunjuk Nabi bergerak itu merupakan hal yang harus kita ikuti atau tidak?, yang sunah itu memakai alat siwaknya atau membersihkan mulut dan giginya? Apakah tetap dianggap sesuai sunah kalau kita ganti siwak dengan sikat gigi?, dan lain sebagainya.

Repotnya, yang ngotot pakai siwak itu sering menganggap yang tidak bersiwak itu tidak mengikuti sunah Nabi. Sikap menghakimi ini yang sering jadi masalah dalam interaksi sosial kita sehari-hari.

Pendidikan       Agama       Islam       dilakukan       untuk mempersiapkan   peserta   didik   meyakini,   memahami   dan mengamalkan   ajaran   Islam.   Pendidikan   tersebut   melalui kegiatan  bimbingan,  pengajaran,  atau  pelatihan  yang  telah ditentukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Menurut  Muhammad  Alim,  tujuan  pendidikan  agama Islam   adalah   membantu   terbinanya   siswa   yang   beriman, berilmu dan beramal sesuai dengan ajaran Islam.[2]

Yang jadi permasalahan adalah apakah semua guru pendidikan Agama Islam mempunyai pemahaman keagamaan yang sama dalam memahami ajaran Islam.

Karena untuk memahami ajaran Islam ada yang melalui pendekatan tektual dan ada yang melalui pendekatan kontekstual. Pendekatan tekstual sangat mengutamakan teks-teks wahyu sedangkan pendekatan kontekstual lebih mengutamakan rasio atau akal pikiran. Pendekatan tekstual kelihatannya lebih pasti namun banyak hal yang tidak dapat dijelaskannya karena hal-hal tersebut tidak tertulis dalam Al-Quran maupun Hadist sedangkan pendekatan konstektual lebih luas cakupannya karena bersumber dari rasio  atau akal pikiran yang mana kita tahu bahwa rasio atau akal pikiran terus berkembang seiring perkembangan zaman, tetapi terkadang lepas tak jelas arah tujuan.

Maka dari itu peneliti melalui penelitian ini ingin sekali mengetahui tentang pemahaman keagamaan guru pendidikan agama Islam di Sekolah Dasar di wilayah Kota Jakarta Selatan.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka rumusan masalahnya adalah bagaimana pemahaman keagamaan guru pendidikan agama Islam pada Sekolah Dasar Wilayah Provinsi DKI Jakarta?

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman keagamaan guru pendidikan agama Islam pada Sekolah Dasar Wilayah Provinsi DKI Jakarta.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai berikut:

1.      Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumbangan pemikiran dan menambah wawasan tentang kajian mengenai pemahaman keagamaan guru pendidikan agama Islam yang dapat dijadikan acuan dalam penelitian, pembuatan buku dan pengajaran. Sebagai bahan temuan yang dapat dijadikan dasar penelitian, mengevaluasi dan pengembangan ilmu pengetahuan.

2.      Secara praktis

a.    memberikan masukan kepada kepala sekolah dan dewan guru tentang pemahaman keagamaan guru pendidikan agama Islam.

b.    memberikan informasi kepada pemerintah, Sekolah Tinggi Agama Islam Alhikmah Jakarta dan para pembaca mengenai pemahaman keagamaan guru pendidikan agama Islam.

 


 


BAB II

KAJIAN TEORITIK

 

A.                Pemahaman Keagamaan

1.      Pengertian Pemahaman Keagamaan

Keagamaan Secara etimologi pemahaman berasal dari kata paham yang diberi awalan pe dan akhiran an. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pemahaman adalah proses, perbuatan, cara memahami atau memahamkan.[3] Dalam Taksonomi Bloom pemahaman masuk pada ranah kognitif tingkat dua. Memahami berarti mengkontruksi makna dari materi pembelajaran baik yang bersifat lisan, tulisan maupun grafis. Meliputi menafsirkan, mencontohkan, mengklasifikasikan, merangkum, menyimpulkan, membandingkan dan menjelaskan.[4]

Sedangkan agama adalah sebagaimana yang telah diulas di atas adalah ajaran yang mengatur peribadahan kepada Tuhan. Jadi pemahaman keagamaan adalah proses belajar dimana seseorang mampu memahami nilai agama yang dianutnya sehingga dapat mempraktikan nilai-nilai tersebut dalam bersikap dan bertingkah laku. Agama dalam kehidupan individu berfungsi sebagai suatu sistem nilai yang memuat norma-norma tertentu. Secara umum norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan agama yang dianutnya.[5]

Konsep-konsep dalam ajaran agama itu harus diketahui dan dipahami, karena pemahaman yang benar tentang agama dapat membantu dalam benarnya pengamalan ajaran agama tersebut.  yang dalam pembahasan ini adalah agama Islam.

 

2.      Pendekatan dalam pemahaman keagamaan

Dalam memahami agama Islam dapat melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan tektual dan pendekatan kontekstual.

a)      Pendekatan Tekstual

Disebut pendekatan tekstual karena ia menekankan signifikansi teks-teks sebagai sentra kajian Islam dengan merujuk kepada sumber-sumber suci dalam Islam, terutama al-Qur’an dan Hadits. Pendekatan ini sangat penting ketika kita ingin melihat realitas Islam normatif yang tertulis, baik secara eksplisit maupun implisit, dalam kedua sumber suci di atas. Selain al-Qur’an dan Hadits, kajian tekstual juga tidak menafikan eksistensi teks-teks lainnya sebagaimana ditulis oleh para intelektual dan `ulama’ besar Muslim terdahulu dan kontemporer.

Pendapat lain mengatakan pendekatan tekstual adalah suatu model pemahaman yang berpegang pada formal teks, berpedoman pada tradisi yang terbentuk dimasa silam dan mengikatkannya secara ketat serta menganggap ajaran islam yang mereka yakini sebagai suatu kebenaran mutlak yang tidak perlu dirubah lagi karena secara otoritatif telah dirumuskan oleh para ulama’ terdahulu secara final dan tuntas, mereka kurang suka dengan perubahan karena khawatir menimbulkan keresahan yang mengancam integrasi umat, karena itu dalam merespon tiap perubahan, model pendekatan ini terkesan hati hati (untuk tidak mengatakan lamban) dan selalu menempatkan konsep “Almuhafadatu ala al qadim  al-soleh  wal akhzu bil jadidil aslah (memelihara hal-hal yang terdahulu yang masih baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik) pada posisi bagaimana benang tak terputus dan tepung tak terserak.

Dalam aplikasinya, pendekatan tekstual barangkali tidak menemui kendala yang cukup berarti ketika dipakai untuk melihat dimensi Islam normatif. Persoalan baru muncul ketika pendekatan ini dihadapkan pada realitas ibadah umat Islam yang tidak tertulis secara eksplisit, baik di dalam al-Qur’an maupun Hadits, namun kehadirannya diakui dan, bahkan, diamalkan oleh komunitas Muslim tertentu secara luas. Contoh yang paling nyata adalah adanya ritual tertentu dalam komunitas Muslim yang sudah mentradisi secara turun-temurun seperti slametan (tahlilan atau kenduren).

Cukup dilematis, memang, bagi pendekatan tekstual untuk sekedar menjustifikasi bahwa ritual-ritual tersebut merupakan bagian dari ajaran Islam atau tidak. Sebagai bagian dari diskursus akademis, tujuan mengkaji ritual-ritual populer dalam Islam memang bukan untuk membuktikan apakah mereka merupakan bagian dari ajaran Islam atau tidak. Diskursus semacam ini tentu saja sudah out of date untuk tetap dikedepankan dalam konteks analisis ilmiah-akademis dan, oleh karenanya, tidak perlu dipertahankan dalam tradisi intelektual. Sebaliknya, yang menjadi concern akademis di sini adalah bagaimana menempatkan ritual populer tersebut dalam kerangka proporsional yang tidak berbuntut klaim atau pembenaran sepihak.

 

b)   Pendekatan Kontekstual

Kata kontekstual berasal dari bahasa Inggris, context yaitu istilah yang berhubungan dengan kata-kata, konteks, suasana dan keadaan. Lalu menjadi kata contextual yang berhubungan dengan konteks, dilihat dalam hubungan dalam kalimat.[6] Dalam pengertian yang lain, kontekstual berarti keadaan atau situasi di mana suatu kalimat atau perkataan itu di katakan. Indikator-indikator yang berada dalam situasi di mana kata-kata tersebut diucapkan ikut mempengaruhi. Misalnya kita mengatakan ‘ada macam galak.’ Apabila kata tersebut di ucapkan di tengah-tengah hutan, maka kata tersebut dapat menunjukkan kepada keadaan macan yang sesungguhnya. Tetapi jika kata tersebut diucapkan di supermarket, kata yang dimaksud dengan macam tersebut bisa berarti aparat keamanan atau satpam, dan yang sejenisnya. Di sini terlihat bahwa satu kata  bisa mengandung arti lebih dari sati didasarkan pada situasi di mana kata tersebut diucapkan.[7]

Dengan pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa pendekatan kontektual dalam pemahaaman keagamaan adalah yang penjabarannya senantiasa memperhatikan kondisi dan situasi dimana Islam itu di kembangkan. Islam kontekstual adalah Islam yang di pahami sesuai dengan situasi dan kondisi di mana Islam tersebut di kembangkan.[8] 

Yakni metode yang menjadikan rasio atau akal manusia sebagai alat yang paling dominan dalam memperoleh pengetahuan dan pemahaman atas pelbagai  ajaran Islam, karena itu seluruh teks teks wahyu harus dibedah secara kontekstual, kritis, logis dan rasional.

Model kontekstualis ini juga dapat diartikan sebagai   manhaj fikir yang memahami agama Islam sebagai organisme yang hidup dan berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia, karena itu didalam menafsirkan teks teks suci mereka menggunakan penafsiran yang kontekstual, substansial dan non literal.

Karakteristik yang paling nampak dalam model ini meliputi : Penekanan pada semangat religio etik,  bukan  pada  makna literal sebuah teks, manhaj yang dikembangkan mereka adalah penafsiran Islam berdasarkan semangat dan spirit teks, memahami latar teks secara kontekstual, substansial dan non literal, menurut mereka hanya dengan model tersebut, Islam akan  hidup survive dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari “peradaban manusia” universal. Karena itu bagi mereka  pintu ijtihad mesti dibuka pada semua bidang sehingga memungkinkan Islam mampu menjawab persoalan kemanusiaan yang terus berubah, penutupan pintu ijtihad (baik secara terbatas atau secara keseluruhan) adalah ancaman atas islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan  mengalami pembusukan.

 

3.      Beberapa Permasalahan dalam Pemahaman Keagamaan

11)  Zakat dengan Uang

Rasulullah Saw bersabda:

فِي كُلِّ أَرْبَعِينَ شَاةً شَاةٌ

“Setiap empat puluh ekor kambing zakatnya seekor”.[9]

 

فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعاً مِنْ تَمَرٍ، أوْصَاعاً مِنْ شَعِيْرٍ، عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى، وَالصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ، وَأمَرَ بِهَا أنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوْجِ الناَّسِ إلى الصَّلَاةِ

 “Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat Fitrah sebanyak satu sha’ kurma atau gandum atas oaring muslim baik budak dan orang biasa, laki-laki dan wamita, anak-anak dan orang dewasa, beliau memberitahukan membayar zakat Fitrah sebelum berangkat (ke masjid) ‘Idul Fitri” (HR Bukhari dan Muslim).[10]

 

Sebagian ulama memahami hadits-hadits tersebut secara kontektual, yaitu berdasarkan tujuan ditetapkannya zakat itu. Pemilik empat puluh ekor kambing wajib memberikan seekor kambing untuk membahagiakan orang fakir miskin dan boleh memberikannya seharga kambing tersebut. Begitu juga mengeluarkan zakat fitrah tujuannya adalah agar orang fakir miskin bahagia dan bisa memanfaatkannya maka boleh mengeluartkan zakat senilai satu sha’ buah kurma  atau satu sha’ gandum.  Adapun sebagain ulama memahami secara tektual, maka tidak sah mengganti zakat dengan harga yang senilai dengan zakat yang harus dikeluarkan.

 

12)  Zakat untuk Muallaf

Rasulullah Saw biasanya memberikan bagian zakat pada kepala suku Arab dengan tujuan untuk menarik mereka agar memeluk Islam atau mencegah mereka agar tidak membahayakan kaum Muslimin. Bagian ini diberikan pula pada orang-orang Muslim yang baru (muallaf) sehingga mereka dapat tetap memeluk Islam dengan teguh. Tetapi Umar bin Khaththab mencabut perintah yang dituliskan Abu Bakar, dikala ia masih menjadi khalifah bagi penyumbangan tanah-tanah tertentu pada sejumlah orang atas dasar bahwa Rasulullah telah memberikan bagian ini untuk memperkuat Islam, tetapi karena keadaan telah berubah, maka bagian ini tidak valid lagi. Tindakan Umar ini tampaknya bertolak belakang dengan Quran, tetapi sebenarnya ia mempertimbangkan situasi yang ada dan mengikuti ruh perintah Quran. Pertimbangan pribadinya membawanya pada keputusan bahwa seandainya Rasulullah hidup dalam kondisi yang sama, tentu beliau akan memutuskan hal yang serupa.[11] Pemahaman Umar bin Khaththab dalam hal ini cenderung menggunakan pendekatan kontektual.

 

13)  Hukum Potong Tangan Bagi Pencuri

Sejumlah budak mencuri seekor unta betina, kemudian menyembelihnya dan memakannya beramai-ramai. Ketika persoalan ini disampaikan pada Umar bin Khaththab, seketika itu juga ia memerintahkan agar dilakukan pemotongan tangan terhadap mereka, tetapi setelah termenung sesaat ia berkata pada pemilik budak-budak itu: “kamu pasti yang telah membuat budak-budak ini kelaparan”. Karena itu ia memerintahkan pemilik budak-budak itu agar mengganti unta betina dengan dua kali harganya dan mencabut perintah sebelumnya, yaitu pemotongan tangan pada pencurinya. Cerita lain menyatakan bahwa seorang laki-laki mencuri suatu barang dari Baitul Mal, tetapi Umar tidak memotong tangannya. Bahwa Umar membekukan hukuman pemotongan tangan pencuri pada musim paceklik adalah fakta sejarah yang masyhur. Dalam kasus-kasus ini Umar tampaknya melanggar ayat Quran yang memerintahkan pemotongan tangan pencuri. Tetapi Umar menggunakan pendekatan kontekstual dalam memutuskan hukum di atas.[12]

 

14)  Mengganti Kayu Siwak dengan dengan Sikat dan Pasta Gigi

Islam adalah agama yang mencintai kebersihan, tak terkecuali kebersihan gigi. Oleh sebab itu, dalam ajaran Nabi Muhammad SAW seorang Muslim dianjurkan untuk bersiwak yang berguna untuk membersihkan gigi.

Apa siwak itu? Menurut bahasa Arab siwak berarti menggosok atau alat yang digunakan untuk itu. Nabi SAW sangat menganjurkan umatnya untuk bersiwak dalam setiap shalat.

لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي، لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ

Artinya, “Jika tidak memberatkan bagi umatku, maka aku akan menyuruh mereka untuk bersiwak setiap shalat,” (HR Abu Dawud).

Pada masa Nabi, sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab fikih klasik, disebutkan bahwa orang Arab biasa menggosok gigi dengan kayu yang dikenal dengan kayu arak. Selain itu, dalam berbagai riwayat hadits, Nabi dan sahabat tidak lupa untuk mencuci kayu tersebut setelah digunakan bersiwak. Kenapa kayu arak? Ranting kayu ini lebih lunak dan terasa nyaman di mulut.

Di Indonesia, fenomena bersiwak banyak di sekitar kita. Kayu arak ini dijual, serta dijadikan oleh-oleh jamaah haji untuk handai tolan sepulang ke Indonesia. Sebagian orang menganggap, yang disebut bersiwak adalah menggunakan kayu tersebut sewaktu-waktu, terutama sebelum shalat.

Zaman sudah berubah, masyarakat juga mengenal sikat gigi serta pasta gigi. Sikat gigi lebih mudah didapat di Indonesia, serta bisa menjangkau bagian mulut yang lebih dalam. Nah, apakah menggunakan sikat dan pasta gigi termasuk bersiwak juga?

وَيُطْلَقُ السِّوَاكُ أَيْضًا عَلَى مَا يَسْتَاكُ بِهِ مِنْ أَرَاكٍ وَنَحْوِهِ

Syekh Muhammad bin Qasim Al-Ghazi menyebutkan dalam kitabnya Fathul Qarib bahwa “Siwak adalah menggosok gigi dengan kayu arak atau sejenisnya.” Dari keterangan tersebut, maka selain kayu arok pun bisa dinilai bersiwak.

Lebih lanjut, Syekh Wahbah Az-Zuhayli dalam Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh menyebutkan:

اِسْتِعْمَالُ عَوْدٍ أَوْ نَحْوِهَ كَأَشْنَانٍ وَصَابُوْنٍ، فِي الْأَسْنَانِ وَمَا حَوْلَهَا، لِيُذْهِبَ الصُّفْرَةُ وَغَيْرَهَا عَنْهَا.

Artinya, “Siwak adalah penggunaan kayu atau sejenisnya seperti sikat dan pasta gigi, untuk membersihkan bagian gigi dan sekitarnya, supaya kotoran dan sejenisnya bisa hilang.”

Maka perlu diketahui, bahwa tujuan bersiwak ini adalah mulut yang bersih serta bau mulut yang sedap. Dalam interaksi kita sehari-hari, gigi kotor dan bau mulut tak sedap membuat tidak nyaman. Untuk menambah nilai kemuliaan saat beribadah, maka membersihkan gigi sangat dianjurkan, baik sebelum shalat, ketika akan membaca Al-Quran, dan sebagainya.

Bersiwak dengan kayu juga perlu diperhatikan. Setelah digunakan, kayu hendaknya dicuci. Lalu saat ujungnya sudah mekar, maka ia sulit untuk menjangkau sela-sela gigi. Kayu siwak yang digunakan tapi tak kunjung dicuci, tentu juga bisa menyebabkan kayu itu berbau tak sedap.

Membersihkan gigi itu penting, dan meskipun tidak menggunakan kayu tetap diniatkan bersiwak agar mendapat kesunahan. Gigi bersih, nafas segar, serta mendapatkan kebaikan juga. Kalau bisa, kita juga boleh menggunakan kayu arak agar lebih menambah keutamaan. [13]

 

15)  Isbal (Kaki celana/Jubah/Kain menutup mata kaki).

Dari Abu Dzar, dari Rasulullah Saw, beliau bersabda, “Ada tiga yang tidak akan diajak bicara oleh Allah Swt pada hari kiamat, Allah Swt tidak memandang mereka, tidak mensucikan mereka dan bagi mereka azab yang menyakitkan”. Rasulullah Saw mengatakannya tiga kali. Abu Dzar berkata, “Mereka itu sia-sia dan merugi. Siapakah mereka wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab, “Al-Musbil (orang yang memanjangkan jubah/kain/kaki celana menutupi mata kaki), orang yang mengungkit-ungkit pemberian dan orang yang menjual barangnya dengan sumpah dusta”. (HR. Muslim).

Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah Saw, beliau bersabda, “Kain yang di bawah dua mata kaki, maka di dalam neraka”. (HR. al-Bukhari).

Pendapat Ulama Memahami Hadits-Hadits Ini:

Pendapat Imam Syafi’i: “Makna Isbal adalah memanjangkan kain di bawah kedua mata kaki, hanya bagi orang yang sombong. Jika pada orang yang tidak sombong, maka makruh. Demikian disebutkan Imam Syafi’i secara nash tentang perbedaan antara orang yang memanjangkan kain karena sombong dan orang yang memanjangkan kain tetapi tidak sombong.[14]

Imam an-Nawawi membuat satu bab khusus dalam kitab Riyadh ash-Shalihin:

باب صعة طول القميص والُكم والإزار وطرف العمامة وتحريم إسبال شيء من ذلك على سبيل الخيلاء وكراهته من غير خيلاء 

Bab: Sifat panjangnya gamis, ujung gamis, kain dan ujung sorban. Haram memanjangkan semua itu untuk kesombongan, makruh jika tidak sombong. [15]

 

Pendapat al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani:

وفي هذه الأحاديث أن إسبال الإزار للخيلاء كبيرة وأما الإسبال لغير الخيلاء فظاهر الأحاديث تحريمه أيضا لكن استدل بالتقييد في هذه الأحاديث بالخيلاء على أن الإطلاق في الزجر الوارد في ذم الإسبال محمول على المقيد هنا فلا يحرم الجر والاسبال إذا سلم من الخيلاء 

Dalam hadits-hadits ini disebutkan bahwa memanjangkan kain bagi orang-orang yang sombong adalah dosa besar. Adapun memanjangkan kain bagi yang tidak sombong, zhahir hadits ini mengandung makna haram juga, akan tetapi diikat dengan hadits-hadits lain yang mengandung makna sombong. Kalimat yang bersifat umum dalam kecaman tersebut mengandung makna ikatan: bagi orang yang sombong. Oleh sebab itu tidak haram menyeret dan memanjangkan kain jika selamat dari sifat sombong.[16]

وهذا الإطلاق محمول على ما ورد من قيد الخيلاء فهو الذي ورد فيه الوعيد بالاتفاق

Penggunaan kalimat yang bersifat umum ini mengandung makna ikatan, diikat dengan hadisthadits yang mengikat dengan sifat sombong, maka orang yang memanjangkan kain/jubah/kaki celana dengan sifat sombong, itulah yang diancam dengan ancaman yang keras, disepakati ulama tentang ini.[17]

Pendapat Syekh DR.Yusuf al-Qaradhawi: Salah satu metode memahami hadits dengan baik adalah:

 جمع الأحاديث الواردة في الموضوع الواحد

Menggabungkan beberapa hadits dalam satu tema.

Hadits tentang Isbal, banyak pemuda Islam yang bersemangat sangat mengingkari orang lain yang tidak memendekkan pakaiannya di atas mata kaki. Bahkan mereka terlalu berlebihan dalam bersikap sampai pada tingkat menjadikan perbuatan memendekkan kaki celana sebagai syi’ar Islam atau kewajiban yang besar dalam Islam. Jika mereka melihat seorang ulama atau da’i tidak memendekkan kaki celana seperti yang mereka lakukan, mereka menuduhnya -bahkan secara terang-terangan- tidak faham agama!

Jika seseorang mencukupkan dirinya hanya memahami makna zhahir dengan satu hadits saja, tanpa melihat hadits-hadits lain yang terkait dengan tema tertentu secara keseluruhan, maka orang akan mudah terjerumus dalam kekeliruan, jauh dari kebenaran dan tujuan yang dimaksud hadits Rasulullah Saw. [18]

Memanjangkan jubah merupakan tradisi kesombongan raja-raja Romawi dan Persia masa silam. Untuk menunjukkan keangkuhan dan kesombongan mereka, maka para penguasa itu memanjangkan jubah yang ujungnya dibawa oleh para pengawal dan dayang-dayang. Tradisi itu masuk juga ke dalam masyarakat Jahiliyah. Dalam satu bait sya’ir jahiliyah dikatakan,

 فلا يغرنك جر الثوب معتجرا ... اني امرؤ في عند الجد تشمير

Janganlah engkau terpukau dengan panjangnya jubah dan sorban yang terurai

Sesungguhnya aku juga orang yang memiliki pakaian yang panjang.[19]

 

16)  Tahlilan

Islam di Jawa, yaitu Budha dan Hindu, sehingga praktek tahlil hukumnya haram dilakukan karena menyerupai dengan tradisi agama lain. Tuduhan ini dilakukan sebagaimana ketika mereka mengharamkan perayaan maulid nabi Muhammad Saw. karena menyerupai perayaan kelahiran dalam agama lain, yaitu perayaan Natal (Kristen)

Pandangan yang serba membuat kesamaan antara tradisi Islam dengan tradisi non-Islam ini beranggapan jika bukan orang Islam yang melakukan pertama kali, berarti itu bid’ah sesat, haram, bahkan kafir jika dilakukan oleh orang Islam. Perlu juga diingat bahwa budaya sarungan itu bukan budaya Islam. Pada masa nabi Muhammad Sawa. tidak ada. Budaya sarungan umat Islam yang cuma di Indonesia. Itu pun juga berangkat dari budaya agama Hindu yang ada di Indonesia. Anggap saja orang Madura yang kentara dengan budaya sarungnya, dan lihat agama nenek moyang orang Madura sebelum Islam datang, tak lain mayoritas menganut Hindu.

Begitu pula dengan budaya celana yang sudah banyak digandrungi oleh masyarakat Indonesia. Tempo dulu budaya memakai celana di kalangan Islam Indonesia haram. Hal tersebut dengan suatu dalil dan alasan bahwa orang yang menyerupai suatu, maka mereka merupakan bagian dari mereka. Karena dianggap menyerupai dengan orang Belanda atau Jepang yang beragama non-Islam, maka memakai celana diharamkan. Itu semua merupakan buah dari fanatisme dalam beragama yang mengekang dan mempersulit hidupnya sendiri. Baru ketika mereka sadar bahwa memakai celan itu penting, pengharaman lambat laun menyusut dan rata-rata kiai memakai celana.

Diakui atau tidak, latar belakang tahlil itu memang awalnya merupakan budaya masyarakat Indonesia yang beragama non-Islam sebelum Islam masuk ke Nusantara ini. Namun karena di satu sisi nabi Muhammad Saw. khususnya Islam sendiri yang memiliki sifat menghargai (toleran), maka ekspansi Islam tidak dengan cara merusak dan meniadakan apa yang telah menjadi tradisi masyarakat non-Islam sebelumnya (Hal.10). Namun, upaya ekspansi Islam ini dengan fleksibelitasnya mampu mengislamkan orang Nusantara ini dengan mudah dan tanpa kekerasan apapun. Tentunya kelenturan dan cara beradaptasi baik yang dijadikan senjata ampuh oleh penyebar Islam tempo dulu.

Secara historis, keberadaan tahlil adalah salah satu wujud keberhasilan islamisasi terhadap tradisi-tradisi masyarakat Indonesia pr-Islam. Tradisi masyarakat Indonesia ketika ada orang meninggal dunia adalah berkumpul di rumah duka pada malam hari untuk berjudi, mabuk-mabukan dan sebagainya. Lambat laun seiring dengan Islam yang mulai menyentuh mereka, acara tersebut diisi dengan nilai-nilai keislaman yang dapat mendatangkan manfaat kepada orang yang meninggal dunia, keluarga duka, serta masyarakat secara umum. Dari sini kemudian tradisi tahlilan berkembang luas di tengah masyarakat seperti yang diamalkan oleh masyarakat saat ini.

Tradisi kumpul-kumpul yang dilakukan oleh masyarakat non-Islam dulu itu tidak dirusak dan tidak disuruh bubar begitu saja oleh penyebar agama Islam dahulu. Jika sebaliknya yang terjadi, maka entah seperti apa lagi Islam di mata masyarakat non-Islam dahulu hingga sekarang. Maka dari itu, masyarakat non-Islam yang berkumpul ketika ada acara kematian itu diubah melalui pendekatan pengaplikasian dengan nilai-nilai keislaman sebagai dakwah yang paling jitu dan tidak harus merusak yang sudah ada. Hingga akhirnya acara itu bernilai sebagaimana yang diamanatkan oleh syariat Islam.

Secara bahasa tahlilan berakar dari kata hallala (هَلَّلَ) yuhallilu ( يُهَلِّلُ ) tahlilan ( تَهْلِيْلاً ) artinya adalah membaca “Laila illallah.”  Istilah ini kemudian merujuk pada sebuah tradisi membaca kalimat dan doa- doa tertentu yang diambil dari ayat al- Qur’an, dengan harapan pahalanya dihadiahkan untuk orang yang meninggal dunia.

Biasanya tahlilan dilakukan selama 7 hari dari meninggalnya seseorang, kemudian hari ke 40, 100, dan pada hari ke 1000 nya. Begitu juga tahlilan sering dilakukan secara rutin pada malam jum’at dan malam-malam tertentu lainnya. Bacaan ayat-ayat al-Qur’an yang dihadiahkan untuk mayit menurut pendapat mayoritas ulama’ boleh dan pahalanya bisa sampai kepada mayit tersebut. Berdasarkan beberapa dalil, diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya;

عَنْ سَيِّدِنَا مَعْقَلْ بِنْ يَسَارْ رَضِيَ الله عَنْهُ اَنَّ رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ : يس قَلْبُ اْلقُرْانْ لاَ يَقرَؤُهَا رَجُلٌ يُرِيْدُ اللهَ وَالدَّارَ اْلاَخِرَة اِلاَّ غَفَرَ اللهُ لَهُ اِقْرَؤُهَا عَلَى مَوْتَاكُمْ )  رَوَاهُ اَبُوْ دَاوُدْ, اِبْنُ مَاجَهْ, اَلنِّسَائِى, اَحْمَدْ, اَلْحَكِيْم, اَلْبَغَوِىْ, اِبْنُ اَبِىْ شَيْبَةْ, اَلطَّبْرَانِىْ, اَلْبَيْهَقِىْ, وَابْنُ حِبَانْ

Dari sahabat Ma’qal bin Yasar r.a. bahwa Rasulallah s.a.w. bersabda : surat Yasin adalah pokok dari al-Qur’an, tidak dibaca oleh seseorang yang mengharap ridha Allah kecuali diampuni dosadosanya. Bacakanlah surat Yasin kepada orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian. (H.R. Abu Dawud, dll)

Adapun beberapa ulama juga berpendapat seperti Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa:

وَيُسْتَحَبُّ اَنْ يُقرَاءَ عِندَهُ شيْئٌ مِنَ اْلقرْأن ,وَاِنْ خَتمُوْا اْلقرْأن عِنْدَهُ كَانَ حَسَنًا

Bahwa, disunahkanmembacakan ayat-ayat al-Qur’an kepada mayit, dan jika sampai khatam al-Qur’an maka akan lebih baik.

 

Bahkan Imam Nawawi dalam kitab Majmu’-nya menerangkan bahwa tidak hanya tahlil dan doa, tetapi juga disunahkan bagi orang yang ziarah kubur untuk membaca ayat-ayat Al-Qur’an lalu setelahnya diiringi berdoa untuk mayit.

Begitu juga Imam al-Qurthubi memberikan penjelasan bahwa, dalil yang dijadikan acuan oleh ulama’ kita tentang sampainya pahala kepada mayit adalah bahwa, Rasulallah saw pernah membelah pelepah kurma untuk ditancapkan di atas kubur dua sahabatnya sembari bersabda “Semoga ini dapat meringankan keduanya di alam kubur sebelum pelepah ini menjadi kering”.

Imam al-Qurtubi kemudian berpendapat, jika pelepah kurma saja dapat meringankan beban si mayit, lalu bagaimanakah dengan bacaan-bacaan al-Qur’an dari sanak saudara dan teman-temannya Tentu saja bacaan-bacaan al-Qur’an dan lainlainnyaakan lebih bermanfaat bagi si mayit. Abul Walid Ibnu Rusyd juga mengatakan:

وَاِن قرَأَ الرَّجُلُ وَاَهْدَى ثوَابَ قِرَأتِهِ لِلْمَيِّتِ جَازَ ذالِكَ وَحَصَلَ لِلْمَيِّتِ اَجْرُهُ

Seseorang yang membaca ayat al-Qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada mayit, maka pahala tersebut bisa sampai kepada mayit tersebut.

 

17)  Saksi Perzinaan

Dalam Syariat Islam, sanksi terhadap suatu perbuatan diberlakukan setahap demi setahap, bahkan ada pula laraangan itu dimulai dengan cara yang bersifat peringatan dengan berbagai ragam ungkapan yang dinyatakan dalam al-Qur’an. Minum khamer dan berjudi misalnya, sebelum larangan dinyatakan secara tegas dalam suaart al-Mai’dah ayat 90, terlebih dahulu surat al-Baqarah ayat 219 menyatakan bahwa; khamer dan judi itu terdapat dosa besar dan juga bermanfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya. Ungkapan tersebut sebagai himbauan dan peringatan agar kaum muslimin meninggalkan judi dan minum khamer yang dikala itu begitu mengakar dalam masyarakat Arab.

Demikian pula sanksi bagi perzinaan juga diberlakukan tahap demi tahap, sesuai dengan ayat yang diundangkan.[20] Pada awalnya sanksi perzinaan itu adalah seperti yang dinyatakan dalam firman Allah SWT:

وَٱلَّٰتِي يَأۡتِينَ ٱلۡفَٰحِشَةَ مِن نِّسَآئِكُمۡ فَٱسۡتَشۡهِدُواْ عَلَيۡهِنَّ أَرۡبَعَةٗ مِّنكُمۡۖ فَإِن شَهِدُواْ فَأَمۡسِكُوهُنَّ فِي ٱلۡبُيُوتِ حَتَّىٰ يَتَوَفَّىٰهُنَّ ٱلۡمَوۡتُ أَوۡ يَجۡعَلَ ٱللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلٗا ١٥ وَٱلَّذَانِ يَأۡتِيَٰنِهَا مِنكُمۡ فَ‍َٔاذُوهُمَاۖ فَإِن تَابَا وَأَصۡلَحَا فَأَعۡرِضُواْ عَنۡهُمَآۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ تَوَّابٗا رَّحِيمًا ١٦

 “Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji (zina) hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi kesaksian, maka kuranglah mereka itu dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepada mereka”.[21]

“Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji diantara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarlah mereka. Sesungguhnya Allah Penerima taubat lagi Maha Penyayang”.

ٱلزَّانِيَةُ وَٱلزَّانِي فَٱجۡلِدُواْ كُلَّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا مِاْئَةَ جَلۡدَةٖۖ وَلَا تَأۡخُذۡكُم بِهِمَا رَأۡفَةٞ فِي دِينِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۖ وَلۡيَشۡهَدۡ عَذَابَهُمَا طَآئِفَةٞ مِّنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٢

 “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”[22]

Menurut para mufassir, pada awal Islam sanksi perzinaan adalah kurungan bagi wanita yang telah kawin dan bagi gadis dicerca, sedang bagi laki-laki dipermalukan dan dicerca dihadapan khalayak ramai. Sanksi yang diungkapkan dalam surat al-Nisa ayat 15 dan 16 itu bersifat temporer, karena dalam ayat tersebut ada pula penegasan “Sampai Allah memberikan jalan lain bagi mereka” yang berarti pula akan ada sanksi lain yang akan diberlakukan. Kebenaran ini terwujud dalam surat al-Nur ayat 2 tersebut, yang menurut riwayat bersumber dari Aisyah dan Sa’ad bin Mu’ad, diwahyukan pada tahun keenam hijriyah.[23] Tahap-tahap diberlakukan ketentuan hukum dalam syari’at Islam, karena syari’at Islam sangat memperhatikan kemashlahatan manusia, serta sesuai pula dengan prinsip ajaran yang dibawanya yaitu tidak mempersempit manusia, seperti yang dikemukakan dalam surat al-Haj:

وَمَا جَعَلَ عَلَيۡكُمۡ فِي ٱلدِّينِ مِنۡ حَرَجٖۚ

“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama itu kesempitan”[24]

Setiap kejahatan dan pelanggaran supaya dapat dikenakan sanksi harus melalui pembuktian terlebih dahulu. Dalam delik seksual (jarimah perzinaan), suatu sanksi baru bisa dikenakan terhadap pelakunya, manakala telah terbukti perbuatannya secara sah menurut hukum. Adapun pembuktian dalam kasus perzinaan ada tiga yaitu:

a.    Iqrar (pengakuan), yaitu pelaku mengakui perbuatannya, bahwa ia benar-benar melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya.

b.    Bayyinah (bukti-bukti/keterangan kuat), yang tidak dapat disangkal kebenarannya, seperti wanita hamil tanpa ada suaminya, atau suami telah lama meninggalkannya dan tidak pernah melakukan aktivitas suami isteri.

c.     Syahadah (persaksian), yaitu saksi mengetahui secara pasti (bukan dari orang lain) atas perbuatan pelaku zina.[25]

Persaksian terhadap jarimah perzinaan harus dikemukakan oleh empat orang saksi, hal itu dinyatakan dalam nas al-Qur’an secara jelas sebagai berikut:

وَٱلَّٰتِي يَأۡتِينَ ٱلۡفَٰحِشَةَ مِن نِّسَآئِكُمۡ فَٱسۡتَشۡهِدُواْ عَلَيۡهِنَّ أَرۡبَعَةٗ مِّنكُمۡۖ فَإِن شَهِدُواْ فَأَمۡسِكُوهُنَّ فِي ٱلۡبُيُوتِ حَتَّىٰ يَتَوَفَّىٰهُنَّ ٱلۡمَوۡتُ أَوۡ يَجۡعَلَ ٱللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلٗا ١٥

a.    “Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji (zina), hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu.”[26]

 

إِذۡ تَلَقَّوۡنَهُۥ بِأَلۡسِنَتِكُمۡ وَتَقُولُونَ بِأَفۡوَاهِكُم مَّا لَيۡسَ لَكُم بِهِۦ عِلۡمٞ وَتَحۡسَبُونَهُۥ هَيِّنٗا وَهُوَ عِندَ ٱللَّهِ عَظِيمٞ ١٥

b.    “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh) itu delapan puluh kali dera.”[27]

c.    “Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita kebohongan itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta”.[28]

Dari ayat-ayat yang dikemukakan tersebut, para ulama mensyaratkan bahwa terhadap tuduhan perzinaan harus dikemukakan empat orang saksi.[29]  Berkaitan dengan empat orang saksi dalam kasus perzinaan, Syaltut mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: Seseorang boleh mengalirkan darah karena mempertahankan kehormatan rumah tangganya (kasus zina) walaupun tanpa empat orang saksi, hal itu semata mata sebagai pembelaan kehormatannya, manakala bukti telah kuat.[30] Karena pembelaan terhadap kehormatan  juga   didorong  rasa  cemburu   yang  menurutnya hampir mendekati perasaan gila.[31] Syaltut memberikan ilustrasi yang terdapat dalam riwayat tentang putusan Umar ibn Khattab, bahwa ia membenarkan seorang laki-laki yang menetakkan pedangnya kepunggung laki-laki lain sehingga meninggal karena didapatkannya berbuat zina dengan isterinya.[32]  Lebih lanjut ia mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: Manakala tidak memungkinkan menghadirkan empat orang saksi dalam kasus itu, maka cukuplah bukti-bukti kuat menurut hukum bisa digunakan oleh hakim.[33] Dan dengan tegas ia menyatakan sebagai berikut : Bagi pengadilan banyak cara untuk menetapkan (keputusan) disamping empat orang saksi.

Dari pendapat yang dikemukakannya tersebut dapat dinyatakan bahwa jika secara material bukti-bukti telah kuat mengenai terjadinya perzinaan antara seorang laki-laki dengan wanita bukan isterinya yang melanggar kehormatan orang lain, maka hakim bisa memutuskan perkara tanpa empat orang saksi.

Dengan demikian, pemikiran Syaltut tersebut mengandung mashlahah, karena, jika saja kasus melanggar kehormatan orang lain (zina) harus dengan empat orang saksi dalam pembuktiannya, sedangkan hal itu sulit dipenuhi, sedangkan bukti-bukti lain telah menguatkan, maka akan tidak terlindungi kehormatan rumah tangga seseorang, dan akan tergoyahkan pula ketenangan rumah tangganya. Padahal ketenangan rumah tangga merupakan fondasi penting untuk menciptakan keharmonisan suatu perkawinan dan kelestariannya.

Berdasarkan mashlahah ini pula, Umar bin Khattab pernah mendera peminum khamer delapan puluh kali.  Sedangkan pada zaman[34] Nabi peminum khamer hanya didera empat puluh kali. Umar ibn Khattab, seorang sahabat Nabi yang dianggap oleh jumhur ulama sebagai imam ahli ra’y, banyak sekali ia berijtihad dan berfatwa dengan menggunakan pertimbangan mashlahah seperti; tidak memberikan hak muallaf dari harta zakat, membunuh orang banyak karena bersama-sama membunuh seseorang, mendera peminum khamer delapan puluh kali, tidak melaksanakan hukuman potong tangan atas pencuri pada musim paceklik dan dalam suasana perang, mengharamkan laki-laki muslim menikah dengan wanita kitabiyah, memerintahkan seseorang mengalirkan air di tanah orang lain meskipun dilarang oleh pemiliknya, mengadakan penjara, mengatur adminstrasi pemerintahan, memungut pajak dari rakyat yang mampu untuk mencukupi biaya pemerintahan, tidak membagi tanah rampasan perang dan tetap membiarkannya ditangan pemiliknya, masalah talak tiga, dan masih banyak lagi.[35]

Karena itu setiap aktivitas yang mengandung manfa’at, baik itu dari segi menarik atau menghasilkannya, maupun cara menolak atau menghindarkan dari bahaya dan kepedihan, pantas dinamai maslahah. Maslahah itu pada dasarnya adalah sesuatu yang membawa kearah yang baik dan manfa’at.

Kalau dilihat dari segi metodologi hukum Islam, maka dapat dikatakan, bahwa cara pengambilan kesimpulan Syaltut dalam mengistinbatkan hukum mengenai persoalan di atas adalah menggunakan maslahah. Ia merumuskan semacam kaidah sebagai berikut: Dan jika suatu masalah itu didapatkan, maka disitulah syariat Allah.

Menurut Syaltut agama ini (Islam) diturunkan untuk kepentingan maslahah manusia, baik untuk kehidupan dunianya maupun kehidupan akhiratnya. Secara tegas ia menyatakan urgennya maslahah dalam Islam sebagai berikut : Islam itu semata-mata agama yang dikehendaki darinya pengaturan maslahah manusia, merialisir keadilan dan menjaga hak-hak (seseorang).[36]

Disinilah jelas pandangan Syaltut, bahwa Islam adalah agama yang mengedepankan maslahah bagi manusia, dan menjadikan keadilan sebagai suatu prinsip yang harus dirialisir. Demikian pula haak-hak perseorangan adalah merupakan milik yang harus dihargai dan dijaga. Dalam kaitan ini, maka menjaga kehormatan seseorang dalam kasus perzinaan merupakan hak seseorang yang harus dijaga dan dilindungi, demi tegaknya suatu keadilan, walaupun belum mencukupi empat orang saksi. Untuk itu hakim harus mengadili dengan bukti-bukti kuat yang lain,[37] demi maslahah pula.

Sementara itu Syaltut juga memiliki visi, bahwa ijtihad itu sendiri berkaitan erat dengan adanya maslahah, seperti pernyataannya sebagai berikut: Ijtihad berubah sesuai dengan maslahah yang ada.[38]

Lebih lanjut pemikirannya mengenai kaitan antara ijtihad dan mashlahah dapat diumpamakan seakan-akan sebagai dua sisi dari mata uang logam yang sama yang tidak bisa dipisahkan. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut : perbedaan adanya maslahah dalam suatu perkara itu, disebabkan adanya perubahan waktu, tempat dan (kondisi sosial) orang-orang (masyarakat), dan disini diwujudkan (dilakukan) ijtihad.

Dengan pertimbangan maslahah ini pula, ia berpendapat bahwa hukuman ta’zir[39] bisa dijatuhkan lebih berat dari hukuman hudud, jika hakim menganggap maslahah menghendaki.[40]

Pendapat ini bisa diilustrasikan sebagai berikut; Jika terjadi terhadap seseorang yang mengurangi takaran (timbangan) terus menerus dalam aktivitas perdagangannya, dan perbuatan itu bisa berpengaruh besar terhadap skala perdagangan yang luas dan akibatnya juga mendatangkan kerugian cukup besar terhadap masyarakat, maka orang yang melakukan pelanggaran mengurangi takaran (timbangan) tersebut bisa dikenakan sanksi hukuman lebih berat dari pencurian itu sendiri. Karena adanya maslahah menghendaki untuk itu, yaitu terlindunginya konsumen (masyarakat) dari kerugian, supaya tercipta perdagangan yang bersih dan jujur jauh dari penipuan dan manipulasi yang merupakan perbuatan yang dilarang oleh agama.[41]

Di sinilah perlu adanya kesalehan individual dan kesalehan sosial yang berproses melalui penanaman nilai-nilai keagamaan. Sehingga setiap warga masyarakat terikat moralitas religius untuk menuju terwujudnya masyarakat yang baik, jujur, adil, jauh dari manipulasi dan saling mempercayai dalam segala aspek kehidupan. Dengan demikian akan tercipta masyarakat yang mengedepankan moralitas luhur yang bersendikan agama.

 

18)  Bunga Bank

Kegiatan hidup manusia hendaklah senantiasa diarahkan supaya mempunyai makna dan bernilai pengabdian (ibadah) kepada-Nya. Untuk bernilai ibadah, manusia dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan hidupnya hendaknya selalu menjunjung tinggi pedoman-pedoman yang diberikan oleh Allah dalam al-Qur’an dan petunjuk-petunjuk pelaksanaannya yang diberikan oleh Rasulullah dalam Sunnah-nya. Namun demikian, dalil-dalil muamalat yang dikandung oleh al-Qur’an dan Sunnah pada umumnya bersifat global (mujmal) dan sedikit sekali yang terinci dan qat’i, sehingga memiliki banyak peluang untuk melakukan ijtihad hukum yang sesuai dengan kemashlahatan manusia. Syari’at Islam dalam bidang muamalat memberikan petunjuk terhadap tujuan pokoknya ialah terciptanya kemaslahatan manusia. Bertolak dari kenyataan itu, maka akan terdorong pula usaha untuk menumbuhkan dan mengembangkan hukum Islam melalui ijtihad lebih dinamis lagi.[42]

Mahmud Syaltut, seorang cendikiawan dari Mesir berpendapat bahwa sesungguhnya prinsip syari’at Islam dalam bidang muamalah adalah terpenuhinya maslahah, terlindunginya aturan dan hak-hak serta meningkatnya taraf hidup.[43] Sebagai contoh ia menghalalkan bunga tabungan karena dipandang memberikan kemashlahatan dan tidak menimbulkan kemudharatan, baik yang menabung atau yang menerima tabungan, kedua-duanya mendatangkan kebaikan. Didalamnya tidak terdapat orang yang menganiaya dan teraniaya, dengan kata lain tidak ada unsur pemerasan atau pemaksaan. Laba yang diberikan oleh tabungan adalah sebagai suatu daya tarik saja.

Berdasarkan hal ini, Syaltut membolehkan bunga tabungan itu berdasarkan ayat 220 dan 279 surat al-Baqarah. Dalam hal ini, Muhammad Abduh berpendapat, bahwa haram ataupun halalnya bunga tadi bertitik tolak   pada   :   Allah   tidak   mengharamkan   sesuatu   kecuali karena mendatangkan mudharat pada dirinya, dan tidak menghalalkan sesuatu, kecuali karena bermanfaat pada dirinya.[44]

Pendapat Syaltut tersebut berbeda dengan kalangan ulama Mesir saat itu yang menyatakan bahwa, keuntungan yang diberikan oleh Bank adalah haram.[45] Akibat dari pendapat ini, maka lebih dari tiga ribu penabung menolak menerima keuntungannya, karena keyakinan agama mereka.

Pemahaman diatas cenderung terbagi menjadi dua; sebagian sahabat memahami hadits secara kontekstual, yaitu yang dimaksudkan oleh nabi agar para sahabat mempercepat perjalanannya menuju Bani Quraizhah, sedang sahabat yang lain memahami hadits secara tekstual dimana mereka harus mematuhi Rasullullah Saw. sesuai dengan bunyi perintah tersebut meskipun waktu shalat Ashar sudah habis.

 

19)  Kesaksian Wanita

Allah swt berfirman

وَٱسۡتَشۡهِدُواْ شَهِيدَيۡنِ مِن رِّجَالِكُمۡۖ فَإِن لَّمۡ يَكُونَا رَجُلَيۡنِ فَرَجُلٞ وَٱمۡرَأَتَانِ

“Dan persaksikan dengan dua orang saksi dari orang lelaki (diantaramu), jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan”[46]

Dalam memahami ayat di atas, seringkali justru mengarah kepada ketidaksetaraan antara laki-laki dan wanita, bahwa wanita itu lebih rendah dari laki-laki, oleh karena itu kesaksian seoarang wanita bernilai separuh dari kesaksian laki-laki. Sehingga para fuqaha’ dalam menetapkan masalah kesaksian wanita selalu dengan perbandingan dua orang saksi wanita sama nilainya dengan kesaksian seorang laki-laki. Bahkan lebih jauh lagi yaitu kesaksian wanita tidak dapat diterima dalam masalah pidana (qisas dan hudud). Kesaksian wanita baru diakui secara mutlak, tanpa didampingi kesaksian laki-laki hanya terbatas dalam hal yang berkaitan dengan masalah kewanitaan saja, atau hal-hal yang lazim diketahui oleh wanita, seperti masalah haid, cacat pada anggota tubuh wanita, peristiwa kelahiran dan masalah rada’ah.[47] Dalam suasana dan atmosfir seperti itu, Syaltut menyatakan pendapatnya, bahwa kesaksian seorang wanita itu sama dan setara nilainya dengan kesaksian seorang laki-laki.[48]

Pendapat Syaltut ini tentu saja berbeda dengan pendapat yang selama ini berkembang dikalangan fuqaha, bahwa kesaksian seorang wanita itu setengah dari kesaksian seorang laki-laki, atau dengan formulasi fiqih dinyatakan bahwa kesaksian wanita baru dianggap sah, bila dikemukakan oleh dua orang wanita dan seorang laki-laki. Persaksian terhadap jarimah perzinaan harus dikemukakan oleh empat orang saksi, hal itu dinyatakan dalam nash al-Qur’an secara jelas sebagai berikut:

a.      “Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji (zina), hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu.”[49]

b.    “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh) itu delapan puluh kali dera.”[50]

c.    “Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita kebohongan itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta”.[51]

Dari ayat-ayat yang dikemukakan tersebut, para ulama mensyaratkan bahwa terhadap tuduhan perzinaan harus dikemukakan empat orang saksi.[52]  Berkaitan dengan empat orang saksi dalam kasus perzinaan, Syaltut mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: Seseorang boleh mengalirkan darah karena mempertahankan kehormatan rumah tangganya (kasus zina) walaupun tanpa empat orang saksi, hal itu semata mata sebagai pembelaan kehormatannya, manakala bukti telah kuat.[53] Karena pembelaan terhadap kehormatan  juga   didorong  rasa  cemburu   yang  menurutnya hampir mendekati perasaan gila.[54] Syaltut memberikan ilustrasi yang terdapat dalam riwayat tentang putusan Umar ibn Khattab, bahwa ia membenarkan seorang laki-laki yang menetakkan pedangnya kepunggung laki-laki lain sehingga meninggal karena didapatkannya berbuat zina dengan isterinya.[55]  Lebih lanjut ia mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: Manakala tidak memungkinkan menghadirkan empat orang saksi dalam kasus itu, maka cukuplah bukti-bukti kuat menurut hukum bisa digunakan oleh hakim dan dengan tegas ia menyatakan sebagai berikut : Bagi pengadilan banyak cara untuk menetapkan (keputusan) disamping empat orang saksi.[56]

Dari pendapat yang dikemukakannya tersebut dapat dinyatakan bahwa jika secara material bukti-bukti telah kuat mengenai terjadinya perzinaan antara seorang laki-laki dengan wanita bukan isterinya yang melanggar kehormatan orang lain, maka hakim bisa memutuskan perkara tanpa empat orang saksi.

Dengan demikian, pemikiran Syaltut tersebut mengandung mashlahah, karena, jika saja kasus melanggar kehormatan orang lain (zina) harus dengan empat orang saksi dalam pembuktiannya, sedangkan hal itu sulit dipenuhi, sedangkan bukti-bukti lain telah menguatkan, maka akan tidak terlindungi kehormatan rumah tangga seseorang, dan akan tergoyahkan pula ketenangan rumah tangganya. Padahal ketenangan rumah tangga merupakan fondasi penting untuk menciptakan keharmonisan suatu perkawinan dan kelestariannya.

Berdasarkan mashlahah ini pula, Umar bin Khattab pernah mendera peminum khamer delapan puluh kali.  Sedangkan pada zaman[57] Nabi peminum khamer hanya didera empat puluh kali. Umar ibn Khattab, seorang sahabat Nabi yang dianggap oleh jumhur ulama sebagai imam ahli ra’y, banyak sekali ia berijtihad dan berfatwa dengan menggunakan pertimbangan mashlahah seperti; tidak memberikan hak muallaf dari harta zakat, membunuh orang banyak karena bersama-sama membunuh seseorang, mendera peminum khamer delapan puluh kali, tidak melaksanakan hukuman potong tangan atas pencuri pada musim paceklik dan dalam suasana perang, mengharamkan laki-laki muslim menikah dengan wanita kitabiyah, memerintahkan seseorang mengalirkan air di tanah orang lain meskipun dilarang oleh pemiliknya, mengadakan penjara, mengatur adminstrasi pemerintahan, memungut pajak dari rakyat yang mampu untuk mencukupi biaya pemerintahan, tidak membagi tanah rampasan perang dan tetap membiarkannya ditangan pemiliknya, masalah talak tiga, dan masih banyak lagi.[58]

 

20)   Shalat di Bani Quraizhah

Suatu hari sahabat Nabi Muhammad Saw. berkunjung ke Bani Quraizhah. Kepada mereka, Nabi bersabda; “Janganlah kamu melaksanakan shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah”[59] Sebelum sampai ke Bani Quraizhah, waktu Ashar hampir habis. Sebagian sahabat berijtihad dengan melakukan shalat si perjalanan. Berdasarkan ijtihadnya, perintah tersebut adalah supaya sahabat melakukan perjalanan secara cepat sehingga bisa sampai di Bani Quraizhah sebelum waktu shalat Ashar habis. Sebagian sahabat lagi berpegang kepada makna tersurat sabda Nabi Saw tersebut, sehingga mereka shalat Ashar di Bani Quraizhah pada malam hari.[60] Shahabat yang shalat di jalan cenderung menggunakan pendekatan kontektual dan shahabat yang shalat Ashar pada malam hari di Bani Quraidzah menggunakan pendekatan tekstual.

 

B.                 Guru Pendidikan Agama Islam

1.      Pengertian Guru Pendidikan Agama Islam

Dalam  Kamus  Bahasa  Indonesia,  dinyatakan  bahwa pendidik  adalah  orang  yang  mendidik.  Sedangkan  mendidik itu sendiri artinya memelihara dan memberi latihan mengenai akhlak   dan   kecerdasan   pikiran.[61]

Berdasarkan  Undang-undang R.I.  No.  14/2005  pasal  1Guru  adalah  pendidik  profesional  dengan  tugas  utama mendidik,   mengajar,   membimbing,   mengarahkan,   melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia   dini   jalur   pendidikan   formal,   pendidikan   dasar,   dan pendidikan menengah”.[62]

Hadari  Nawawi  mengatakan,  secara  etimologis  atau dalam arti sempit guru adalah orang yang kerjanya  mengajar atau memberikan pelajaran di sekolah/kelas. Secara lebih luas guru berarti orang yang bekerja dalam bidang pendidikan dan pengajaran  yang  ikut  bertanggung  jawab  dalam  membantu anak-anak mencapai kedewasaan masing-masing.[63]

Menurut  Muri  Yusuf,  pendidik  adalah  individu  yang mampu  melaksanakan  tindakan  mendidik  dalam  satu  situasi pendidikan untuk mencapai tujuan  pendidikan.[64]

Tidak  jauh  berbeda,  dengan  pendapat  di  atas,  seorang guru mempunyai peran yang sangat besar dalam pembentukan karakter  anak didik.  A.  Qodri memaknai  guru  adalah  contoh (role  model),  pengasuh  dan  penasehat  bagi  kehidupan  anak didik.  Sosok  guru  sering  diartikan  sebagai  digugu  lan  ditiru artinya,  keteladanan  guru  menjadi  sangat  penting  bagi  anak didik dalam pendidikan nilai.[65]

Demikian beberapa pengertian guru menurut para pakar pendidikan.  Adapun  pengertian  pendidikan  Agama  Islam  itu sendiri peneliti mengutip dari beberapa sumber buku  sebagai berikut: PAI  dibakukan  sebagai  nama  kegiatan  mendidikkan agama    Islam.    PAI    sebagai    mata    pelajaran    seharusnya dinamakan   “Agama   Islam”,   karena   yang   diajarkan   adalah agama    Islam    bukan    pendidikan    agama    Islam.    Nama kegiatannya   atau   usaha-usaha   dalam   mendidikkan   agama Islam    disebut    sebagai    pendidikan    agama    Islam.    Kata “pendidikan”    ini    ada    pada    dan    mengikuti    setiap    mata pelajaran.  Pendidikan  agama   Islam   merupakan   salah   satu bagian dari pendidikan Islam.[66]

Pendapat   yang   lain   mengatakan,   bahwa   Pendidikan Agama Islam dapat diartikan sebagai program yang terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati,   hingga   mengimani   ajaran   agama   Islam   serta diikuti  tuntunan  untuk  menghormati  penganut  agama  lain dalam hubungannya  dengan  kerukunan  antar  umat  beragama hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa.[67]

Hal ini sesuai dengan UU R.I. No.20/2003 pasal 37 (1): Kurikulum   pendidikan   dasar   dan   menengah   wajib memuat:

a.  Pendidikan agama;

b.  Pendidikan kewarganegaraan;

c.  Bahasa;

d.  Ilmu Pengetahuan Alam;

e.  Ilmu pengetahuan sosial;

f.   Seni dan budaya;

g.  Pendidikan jasmani dan olahraga;

h.  Keterampilan/kejuruan; dan

i.   Muatan lokal. [68]

Di dalam Peraturan Pemerintah R.I. No.19/2005 pasal 6 (1)   juga   memberikan   penjelasan   tentang   isi   kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus  pada  jenjang  pendidikan  dasar  dan  menengah terdiri atas:

a.  kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia;

b.  kelompok   mata   pelajaran   kewarganegaraan   dan kepribadian;

c.  kelompok   mata   pelajaran   ilmu   pengetahuan   dan teknologi;

d.  kelompok mata pelajaran estetika;

e.  kelompok  mata  pelajaran  jasmani,  olah  raga,  dan kesehatan.[69]

Berdasarkan   UU   R.I.   No.20/   2003   dan   Peraturan Pemerintah  R.I.  No.19/2005  pasal  6  (1)  pendidikan  agama dimaksudkan    untuk    membentuk    peserta    didik    menjadi manusia  yang  beriman  dan  bertakwa  kepada  Tuhan  Yang Maha  Esa  serta  berakhlak  mulia.  Pendidikan  agama  (Islam) sebagai    suatu    tugas    dan    kewajiban    pemerintah    dalam mengemban aspirasi rakyat, harus mencerminkan dan menuju ke   arah   tercapainya   masyarakat   pancasila   dengan   warna agama.  Agama  dan  pancasila  harus  saling  isi  mengisi  dan saling menunjang.

Banyak sekali pengertian yang dikemukakan oleh  para pakar pendidikan tentang pendidikan agama Islam, singkatnya pengertian   guru   PAI   adalah   guru   yang   mengajar   mata pelajaran  Pendidikan Agama Islam di sekolah, tugasnya  membentuk  anak  didik  menjadi  manusia  beriman dan  bertakwa  kepada  Tuhan  Yang  Maha  Esa,  membimbing, mendidik  dan  memberikan  ilmu  pengetahuan  kepada  anak didik,  ahli  dalam  materi  dan  cara  mengajar  materi  itu,  serta menjadi suri tauladan bagi anak didiknya.

 

2.                  Tujuan Pendidikan Agama Islam

Di   dalam  UU  No.  20  Tahun  2003  tentang  Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa: Pendidikan     nasional     berfungsi      mengembangkan kemampuan  dan  membentuk  watak  serta  peradaban bangsa  yang  bermartabat  dalam  rangka  mencerdaskan kehidupan   bangsa,   bertujuan   untuk   berkembangnya potensi   peserta   didik   agar   menjadi   manusia   yang beriman  dan  bertakwa  kepada Tuhan  Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan   menjadi   warga   negara   yang   demokratis   serta bertanggung jawab.[70]

Untuk mencapai tujuan tersebut, salah satu bidang studi yang  harus  dipelajari  oleh  peserta  didik  di  sekolah  adalah pendidikan     agama     Islam,     karena     pendidikan     agama mempunyai   misi   utama   dalam   menanamkan   nilai   dasar keimanan, ibadah dan akhlak. Menurut  Muhammad  Alim,  tujuan  pendidikan  agama Islam   adalah   membantu   terbinanya   siswa   yang   beriman, berilmu dan beramal sesuai dengan ajaran Islam.[71]

Jelaslah bahwa Pendidikan Agama   Islam   bertujuan   untuk   meningkatkan   keyakinan, pemahaman,   penghayatan   dan   pengamalan   tentang  agama Islam, sehingga  menjadi  manusia muslim yang beriman, dan bertakwa  kepada  Allah  Swt  serta  berakhlak  mulia  dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

 

3.      Syarat-Syarat menjadi Guru

Guru  yang  baik  harus  memenuhi syarat-syarat   yang   tertulis   di   dalam   Undang-undang   R.I. No.14 tahun 2005 tentang guru dan dosen yaitu: “Guru      wajib      memiliki      kualifikasi      akademik, kompetensi,  sertifikat  pendidik,  sehat  jasmani  dan  rohani, serta    memiliki    kemampuan    untuk    mewujudkan    tujuan pendidikan nasional.”[72]

Dari    undang-undang    tersebut,    syarat-syarat    untuk menjadi guru diuraikan sebagai berikut:

a.  Berijazah

Yang  dimaksud  dengan  ijazah  ialah  ijazah  yang dapat   memberi    wewenang   untuk   menjalankan   tugas sebagai  guru  di  suatu  sekolah  tertentu.  Ijazah  bukanlah semata-mata  sehelai  kertas  saja,  ijazah  adalah  surat  bukti yang   menunjukkan   bahwa   seseorang   telah   mempunyai ilmu   pengetahuan   dan   kesanggupan-kesanggupan   yang tertentu,   yang   diperlukannya   untuk   suatu   jabatan   atau pekerjaan.

b.  Sehat jasmani dan rohani

Kesehatan    merupakan    syarat    yang    tidak    bisa diabaikan   bagi   guru.   Seorang   guru   yang   berpenyakit menular contohnya, akan membahayakan kesehatan anak- anak dan membawa akibat yang tidak baik dalam tugasnya sebagai  pengajar  dan  pendidik.  Bahkan  seseorang  tidak akan   dapat   melaksanakan   tugasnya   dengan   baik   jika badannya  selalu  terserang  penyakit.  Namun  hal  ini  tidak ditujukan kepada penyandang cacat.

c. Memiliki  kompetensi  pedagogik,  kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial.

Kompetensi guru merupakan kemampuan dan kewenangan guru dalam melaksanakan profesi keguruannya. Guru harus memiliki kompetensi    pedagogik,    artinya    guru    harus    memiliki kemampuan  mengelola pembelajaran peserta didik. Mulai dari      merencanakan      program      belajar      mengajar, melaksanakan   interaksi   atau   mengelola   proses   belajar mengajar,  dan  melakukan  penilaian.  selanjutnya  beralih pada  kompetensi  kepribadian,  hal  ini  berkaitan  dengan kemampuan  kepribadian  yang  mantap,  berakhlak  mulia, arif  dan  berwibawa.  Berikutnya  kompetensi  profesional, adalah  berbagai  kemampuan  yang  diperlukan  agar  dapat mewujudkan  dirinya  sebagai  guru  profesional.  Meliputi kepakaran  atau  keahlian  dalam  suatu  bidang.  Dan  yang terakhir,    kompetensi    sosial,    merupakan    kemampuan pendidik     sebagai     bagian     dari     masyarakat     untuk berkomunikasi,  bergaul,  dan  bekerja  sama  secara  efektif dengan  peserta  didik,  sesama  pendidik,  sesama  tenaga kependidikan,  dengan  orang  tua/  wali  peserta  didik,  dan masyarakat sekitar.[73]

Guru  merupakan  profesi  yang  mulia,  mendidik  dan mengajarkan  pengalaman  baru  bagi  anak  didiknya.  Menurut Dryden   dan   Jeannette   Vos,   yang   dikutip   Asep   Mahfudz mengatakan  bahwa  syarat  yang  harus  dimiliki  guru  dalam mengembangkan pendidikan yang memiliki perspektif global adalah   kemampuan   konseptual.   Yakni   berkenaan   dengan peningkatan  pengetahuan  guru  dalam  konteks  isu-isu  global. Guru harus belajar mengenai isu, dinamika, sejarah dan nilai- nilai  global. Hal  tersebut  merupakan  tanggung  jawab  bagi guru dalam membangun suasana belajar dinamis.[74]

Guru   Pendidikan Agama Islam harus  mempunyai   sikap   positif terhadap Islamkepribadian dan akhlaknya harus sesuai  dengan  ajaran  Islam.  Guru  Pendidikan Agama Islam yang  ideal adalah  guru  yang  sanggup  membawa  anak didik kepada penguasaan ajaran Islam, melalui ilmu yang diajarkannya.[75]

 

4.      Peran Guru dalam Pendidikan

Guru memiliki peran yang sangat penting dalam dunia pendidikan, tidak  hanya  sekedar  mentransformasikan  pengetahuan  dan pengalamannya,    memberikan    ketauladanan,    tetapi    juga diharapkan  menginspirasi  anak  didiknya  agar  mereka  dapat mengembangkan potensi diri dan memiliki akhlak baik.[76]

Adapun peran guru dalam proses pembelajaran sebagai berikut:

a.       Guru  sebagai   sumber   belajar,  peran  ini   berkaitan  erat dengan penguasaan materi pelajaran.

b.      Guru sebagai fasilitator, guru berperan dalam memberikan pelayanan agar memudahkan siswa dalam kegiatan proses pembelajaran.

c.       Guru sebagai pengelola, guru berperan dalam menciptakan iklim  belajar   yang  memungkinkan  siswa  dapat   belajar secara nyaman.

d.      Guru sebagai demonstrator, maksudnya adalah peran untuk mempertunjukkan kepada siswa segala sesuatu yang dapat membuat siswa lebih mengerti dan memahami setiap pesan yang disampaikan guru.

e.       Guru     sebagai     pembimbing,     guru     berperan     dalam membimbing    peserta    didik    agar    dapat    menemukan berbagai potensi yang dimilikinya sebagai bekal hidup dan harapan setiap orang tua dan masyarakat.

f.        Guru  sebagai  pengelola  kelas,  guru  bertanggung  jawab memelihara       ligkungan       kelas,       agar       senantiasa menyenangkan untuk belajar.

g.      Guru sebagai mediator, guru harus memiliki keterampilan memilih dan menggunakan media pendidikan, untuk lebih mengefektifkan proses belajar-mengajar.

h.      Guru sebagai evaluator, guru hendaknya menjadi evaluator yang baik, agar dapat mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan,    penguasaan     siswa     terhadap    pelajaran    dan keefektifan metode mengajar.[77]

Semua peranan ini harus dikuasai oleh guru, agar tujuan pendidikan dapat tercapai, yakni untuk mencerdaskan generasi bangsa. Seiring    berkembangnya    zaman,    dunia    mengalami kemajuan   dalam   segala   bidang   disebut   era   globalisasi. Globalisasi  merupakan  keadaan  yang  riskan  terutama  bagi perkembangan  anak  didik.  Oleh  karena  itu  guru  menempati posisi strategis dalam membentuk karakter anak didik agar ke depannya tercipta generasi cerdan dan berkarakter. Dalam era globalisasi  ini,  guru  memiliki  peran  yang  strategis  dalam persoalan intelektual dan moralitas. Guru harus memosisikan diri  sebagai  sosok  pembaharu.  Dalam  tantangan  global  guru juga  berperan  sebagai  agent  of  change  dalam  pembaharuan pendidikan.[78]

 


 


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

 

A.                 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di sekolah dasar wilayah provinsi DKI Jakarta. Daftar Sekolah Dasar  yang diteliti sebagai berikut:

Pertama, SD Negeri (SDN) Cipete Utara 01 Pagi di jalan RS. Fatmawati Cipete Utara Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12150. Sekolah yang sudah menggunakan kurikulum K-13 ini memiliki luas tanah 6,551 M2, jumlah guru 19 orang, jumlah siswa laki-laki sebanyak 208 orang dan siswa perempuan sebanyak 185 orang. Guru PAI di sekolah ini bernama Hasmawati.

Kedua, SD Negeri (SDN) Tengah 03 Pagi berada di jalan Rantai Perak Selatan Kampung Tengah Kramat Jati Jakarta Timur 13540. Sekolah terakreditasi B ini memiliki guru sebanyak 11 orang, jumlah siswa sebanyak 220 orang. Guru PAI di sekolah ini bernama Paridah. 

Ketiga, SD Swasata (SDS) Kartika VIII-2 Jakarta Timur di Jalan Rantai Emas Bulak Rantai Kelurahan Tengah Kecamatan Kramat Jati Jakarta Timur 13540. Guru PAI sekolah ini bernama Edwin Rahmadi, beliau adalah salah satu guru dari 26 guru yang aktif mengajar di sekolah tersebut.

Keempat, SD Islam Teladan Saadatuddarain berlokasi di jalan kebagusan Kecil RT. 005/01 Lenteng Agung Jagakarsa Jakarta Selatan 12630. Sekolah yang berdiri sejak tahun 1960 memiliki luas tanah 2000 M2. Guru PAI sekolah ini bernama Siti Hindun.

Kelima,  SD Islam Darul Maarif berada di jalan Rs. Fatmawati No. 45 RT. 02/05 Cipete Selatan Cilandak Kota Jakarta Selatan 12410. Sekolah yang memiliki luas 5524 M2 ini masih menerapkan kurikulum KTSP dan terakreditas B.  Guru PAI Sekolah ini bernama Ahmad Muhajir.

Keenam, SD Islam Taman Quraniyah berada di Jalan Melati No. 100 RT. 05/04 Tanjung Barat Jagakarsa Kota Jakarta Selatan 12530. Sekolah yang didirikan pada tahun 1967 ini memiliki luas 1974 M2. Sekolah ini sudah menggunakan kurikulum 2013. Guru PAI sekolah ini bernama Hijrianah Kamalia.

Ketujuh, SD Islam Terpadu Al-Ihsan berada di Jalan Baung IV No. 43 Kebagusan Kecamatan Pasar Minggu Kota Jakarta Selatan. Sekolah yang memiliki luas tanah 12.000 M2 telah menerapkan kurikulum 2013 dengan jumlah guru 38 orang dan jumlah siswa 372 orang. Guru PAI sekolah ini bernama Didit Prasetyo.

Kegiatan penelitian ini disusun dalam jangka waktu tujuh bulan kegiatan yaitu dari bulan Juni hingga bulan Desember 2018, dengan rincian pelaksanaan sebagai berikut:

Tabel 3.1

Jadwal Penelitian

Kegiatan

Bulan

6

7

8

9

10

11

12

I.        Persiapan

 

 

 

 

 

 

 

± Pengurusan Ijin

 

 

 

 

 

 

 

± Penetapan Jadwal Pelaksanaan  Penelitian

 

 

 

 

 

 

 

± Penyusunan Instrumen

 

 

 

 

 

 

 

± Uji coba instrument

 

 

 

 

 

 

 

II.        Operasional

 

 

 

 

 

 

 

± Persiapan Bahan dan Alat

 

 

 

 

 

 

 

± Pengumpulan Data

 

 

 

 

 

 

 

± Pemantauan Pengumpulan Data

 

 

 

 

 

 

 

± Koleksi dan Validasi Data

 

 

 

 

 

 

 

± Analisis Data

 

 

 

 

 

 

 

± Penafsiran Hasil Analisis

 

 

 

 

 

 

 

iii.   Pelaporan

 

 

 

 

 

 

 

± Penyusunan Konsep Laporan

 

 

 

 

 

 

 

± Konsultasi dan Diskusi

 

 

 

 

 

 

 

± Penyusunan Konsep Akhir

 

 

 

 

 

 

 

± Persiapan Pelaporan

 

 

 

 

 

 

 

± Seminar dan Pemantauan

 

 

 

 

 

 

 

IV.    Penggandaan dan Pengiriman

 

 

 

 

 

 

 

± Pengandaan Laporan

 

 

 

 

 

 

 

± Pengiriman

 

 

 

 

 

 

 

 

B.                 Metode Penelitian

            Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Penelitian deskriptif dilakukan dengan tujuan utama, yaitu menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek atau subjek yang diteliti secara tepat.[79]

            Berdasarkan pendapat tersebut dapat dijelaskan bahwa penelitian ini menggunakan analisis deskriptif, yaitu dengan memberikan gambaran sejelas mungkin obyek penelitian berkenaan dengan pemahaman keagamaan guru pendidikan agama Islam di sekolah dasar wilayah provinsi DKI Jakarta. Hasil penelitian disajikan secara sistematis mengenai fenomena-fenomena yang ada.

C.                Unit Analisis

Unit analisis penelitian adalah komponen-komponen yang terdapat dalam pemahaman keagamaan guru pendidikan agama Islam di sekolah dasar wilayah provinsi DKI Jakarta.

Dengan mengacu pada unit analisis penelitian tersebut, maka subyek penelitian ini adalah guru pendidikan agama Islam (PAI).

D.                Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti bertindak sebagai instrumen penelitian atau alat penelitian utama (main instrument). Peneliti selaku instrumen utama, menggunakan alat bantu berupa panduan wawancara, alat rekam untuk membantu peneliti merekam hasil wawancara.

            Peneliti melakukan pengamatan dalam rangka melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana yang terjadi pada keadaan sebenarnya.[80]

            Peneliti akan berperan sebagai seorang pengamat partisipan. Peneliti  akan datang ke sekolah sebagai seorang pengamat yang identitasnya diketahui secara jelas.

Tabel 3.2

Rambu-rambu Wawancara

No

Pertanyaan Penelitian

Aspek yang ditanyakan

Unit Analisis

Metode

1.

Ada Ulama yang berpendapat bahwa zakat fitrah itu harus dengan makanan pokok (seperti nasi, gandum) sebagaimana perintah langsung dari Nabi Muhammad Saw dalam haditsnya, tetapi sebagai ulama ada yang membolehkan zakat fitrah dengan uang karena lebih ‘mashlahah’ untuk fakir miskin. Anda memilih pendapat yang mana dan sebutkan alasannya!

Pemahaman keagamaan yang tekstual dan kontekstual

Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) Sekolah Dasar

 

Wawancara dan observasi

 

2.

Muallaf (orang yang baru masuk Islam) tidak perlu lagi di berikan zakat karena Agama Islam sudah kuat saat ini? Setujukah anda! Dan berikan alasannya!.

3.

Pencuri itu tidak perlu dihukum jika ia mencuri dengan alasan kelaparan apalagi harus di potong tangannya sebagaimana yang tertera dalam nash al-Qur’an. Apa pendapat anda dan jelaskan alasannya!

 

4.

Sikat gigi dengan pasta sama saja dengan bersiwak yang berarti sama juga mengikuti sunnah Nabi Muhammad Saw, karena inti dari pada bersiwak adalah membersihkan gigi. Apa pendapat anda?

5.

Bagi laki-laki haram Isbal (menggenakan pakaian sampai bawah mata kaki) sebagaimana hadits Nabi Muhammad Saw. Tetapi ada yang membolehkan dengan catatan ‘tidak sombong’ ketika menggenakannya. Apa pendapat anda dan jelaskan!.

6.

Acara tahlilan yang biasa di lakukan oleh orang Indonesia tidak ada contohnya dari Nabi Muhammad Saw. Apa pendapat Anda dan jelaskan!.

7.

Berdasarkan ayat al-Qur’an bahwa tuduhan perzinaan harus disaksikan oleh empat orang saksi. Tetapi sebagian ulama berpendapat bahwa manakala ‘bukti sudah kuat,’ boleh seorang penzina di laporkan tanpa harus disaksikan empat orang saksi, dikarenakan syarat empat saksi itu terlalu sulit. Hal ini demi menjaga keturunan dan kehormatan dan keutuhan rumah tangga. Bagaimana menurut Anda!

8.

Seorang ulama Mesir berpendapat bahwprinsip Islam dalam bidang muamalah adalah adanya mashlahahMaka dari itu beliau menghalalkan bunga tabungan karena dipandang memberikan kemashlahatan dan tidak menimbulkan kemudharatan, baik yang menabung ataupun yang menerima tabungan, kedua-duanya mendatangkan kebaikan. Didalamnya tidak terdapat orang yang menganiaya dan teraniaya, serta tidak ada unsur pemerasan/ pemaksaan. Setujukah anda dengan pendapat ini! Sebutkan alasannya!

9.

Allah swt berfirman:  “Dan persaksikan dengan dua orang saksi dari orang lelaki (diantaramu), jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan”Dalam memahami ayat ini, seringkali justru mengarah kepada ketidaksetaraan antara laki-laki dan wanita, bahwa wanita itu lebih rendah dari laki-laki, oleh karena itu kesaksian seorang wanita bernilai separuh dari kesaksian laki-laki. Sehingga para fuqaha’ dalam menetapkan masalah kesaksian wanita selalu dengan perbandingan dua orang saksi wanita sama nilainya dengan kesaksian seorang laki-laki. Kesaksian wanita baru diakui secara mutlak, tanpa didampingi kesaksian laki-laki hanya terbatas dalam hal yang berkaitan dengan masalah kewanitaan saja seperti masalah haid dan peristiwa kelahiran. Dalam masalah ini, Ada seorang ulama berpendapat bahwa kesaksian seorang wanita itu sama dan setara nilainya dengan kesaksian seorang laki-laki. Apa pendapat Anda!

10.

Pada suatu hari sahabat Nabi Saw. hendak berkunjung ke perkampungan Bani Quraizhah. Lalu Nabi Saw memerintahkan mereka dengan sabdanya; “Janganlah kalian melaksanakan shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah. Kemudian, ketika dalam perjalanan dan sebelum sampai ke perkampungan Bani Quraizhah, waktu Ashar hampir  habis. Maka sebagian sahabat (Kelompok A) berijtihad dengan  memutuskan untuk tetap melaksanan shalat Ashar di perjalanan. Mereka beralasan bahwa Nabi memerintahkan agar para shahabat mempercepat langkah kakinya agar cepat tiba di perkampungan Bani Quraizhah, akan tetapi jika belum sampai juga dan waktu Ashar mau habis, maka kita harus melaksanakan shalat Ashar diperjalanan. Sedangkan sebagaian shahabat yang lain (Kelompok B) tetap menjadikan teks perintah Nabi Saw sebagai pedoman, yaitu janganlah kita Shalat Ashar kecuali sudah sampai di Bani Quraizah. Maka shalat Asharnya nanti di Bani Quraizah walaupun sampai tujuan pada malam hari. Pada masalah ini Anda lebih cenderung kepada kelompok A atau B? Jelaskan!

 

E.                 Teknik Pengumpulan Data

Ada beberapa rangkaian teknik pengumpulan data yang digunakan. Tahap pertama, studi kepustakaan untuk mendapatkan wawancara teoritis yang komprehensif tentang pokok permasalahan serta merumuskan kerangka analisis dan pembahasan terhadap pertanyaan-pertanyaan penelitian.

Tahap kedua, adalah studi lapangan meliputi studi dokumentasi yang dilakukan untuk data dan informasi mengenai pelaksanaan pendidikan dan peraturan sekolahdisamping itu dilakukan pengamatan partisipatif. Teknik lain yang digunakan dalam studi lapangan adalah melakukan pengamatan di ruang kantor, pusat administrasi penyelenggaraan pendidikan, ruang kelas dimana terjadi kegiatan belajar mengajar, laboratorium, dan perpustakaan. Dari pengamatan, disamping dicatat peristiwa-peristiwa yang terjadi, juga dikumpulkan data atau informasi yang erat kaitannya dengan kejadian yang diamati.

Tahap ketiga, peneliti berusaha mengumpulkan data sebanyak mungkin melalui wawancara yang didapat dari informasi responden berkenaan dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan yang diduga ada kaitannya dengan masalah pemahaman keagamaan guru pendidikan agama Islam di sekolah dasar wilayah provinsi DKI JakartaDalam situasi seperti ini dituntut kejelian dan ketajaman peneliti dalam menyeleksinya.

 

F.                 Teknik Analisa Data

Ada empat tahap analisa data yang dilakukan dalam penelitian ini, sebagaimana dianjurkan oleh Miles & Huberman sebagai berikut.

Pertama, pengumpulan data melalui berbagai cara seperti studi dokumenter,  pengamatan, dan wawancara.

Kedua, data mentah yang terkumpul kemudian direduksi melalui proses pemilihan dan pemilahan, pemusatan, penyederhanaan, abstraksi dan transformasi. Beberapa teknik yang membantu dalam pereduksian data antara lain: membuat ringkasan data, catatan lapangan, pembuatan kode, pembuatan tema, kategori, klaster, partisi, atau penulisan memo.

Ketiga, tampilan data dilakukan dalam bentuk kata-kata yang dikenal sebagai teks naratif atas informasi atau kejadian yang diamati. Tampilan data hanya sebagai pembantu dan acuan dalam proses pereduksian dan pemaknaannya.

Keempat, vertifikasi dan penarikan kesimpulan.[81] Pada tahap ini dapat dilakukan teknik pemeriksaan keabsahan dataPelaksanaannya didasarkan atas sejumlah kriteria. Ada empat kriteria yang digunakan, yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability).[82]

            Salah satu teknik pemeriksaan keabsahan data untuk kriteria kepercayaan (credibility) adalah triangulasi yaitu memeriksa melalui sumber yang lain.[83] Peneliti dalam penelitian ini menggunakan triangulasi untuk mengecek kebenaran suatu data agar diperoleh tingkat kepercayaan dan objektivitas data.

            Kriteria keteralihan (transferability) dapat diperiksa dengan teknik uraian rinci.[84] Peneliti mengumpulkan, mencatat, dan melaporkan data yang sangat terinci mengenai hal-hal yang dianggap bertalian dengan masalah yang diteliti.

Kriteria kebergantungan (dependability) dan kepastian (confirmability) dapat diperiksa dengan teknik auditing.[85] Peneliti melacak kebenaran laporan apakah sesuai dengan data yang dikumpulkan.

 


 


BAB IV

PEMAHAMAN KEAGAMAAN GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI DKI JAKARTA

A.                 Hasil Penelitian

1.      Zakat Fithrah dengan Uang

Rasulullah Saw bersabda :

فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعاً مِنْ تَمَرٍ، أوْصَاعاً مِنْ شَعِيْرٍ، عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى، وَالصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ، وَأمَرَ بِهَا أنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوْجِ الناَّسِ إلى الصَّلَاةِ

Artinya : “Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat Fitrah sebanyak satu sha’ kurma atau gandum atas orang muslim baik budak dan orang biasa, laki-laki dan wamita, anak-anak dan orang dewasa, beliau memberitahukan membayar zakat Fitrah sebelum berangkat (ke masjid) ‘Idul Fitri” (HR Bukhari dan Muslim)[86]

Sebagian ulama memahami hadits-hadits tersebut secara kontektual, yaitu berdasarkan tujuan ditetapkannya zakat itu. Pemilik empat puluh ekor kambing wajib memberikan seekor kambing untuk membahagiakan orang fakir miskin dan boleh memberikannya seharga kambing tersebut. Begitu juga mengeluarkan zakat fitrah tujuannya adalah agar orang fakir miskin bahagia dan bisa memanfaatkannya maka boleh mengeluartkan zakat senilai satu sha’ buah kurma  atau satu sha’ gandum.  Adapun sebagain ulama memahami secara tektual, maka tidak sah mengganti zakat dengan harga yang senilai dengan zakat yang harus dikeluarkan.

Setelah dilakukan penelitian melalui wawancara dan observasi kepada beberapa guru Sekolah Dasar di wilayah Kota Jakarta Selatan, maka di temui sebagian dari mereka yang berpaham keagamaannya tekstual dan sebagiannya lagi kontektual.

Adapun yang berpaham tekstual seperti pendapat Nur Nurosid Fauzi salah satu guru PAI SDN Cililitan 01 Pagi Jakarta yang mengatakan bahwa zakat fitrah itu harus dengan makanan pokok. Karena pendapat terkuat dalam fiqih adalah menggunakan makanan pokok sesuai hadits Nabi Muhammad Saw dan bisa dianalogikan dengan Qurban sekiranya diganti dengan duit pada akhirnya kurbanpun nantinya bisa lebih mashlahat dengan uang daripada daging qurban itu sendiri.[87]

Hasmawati pun demikian, bahwa zakat fithrah itu harus dengan makanan pokok sesuai perintah langsung dari Nabi Muhammad Saw dalam haditsnya. Karena kalau dengan uang itu tidak semua orang bisa memberi, malah nanti akan menimbulkan kesenjangan.[88]

Ahmad Muhajir juga berpandangan tekstual dalam hal ini karena zakat dengan makanan pokok lebih mashlahat dan manfaat[89] serta sesuai dengan hadits Nabi Saw.[90]

Berbeda dengan Paridah yang berpaham kontekstual yang membolehkan zakat fithrah dengan uang karena lebih mashlahah untuk fakir miskin. Beliau mengatakan bahwa saat ini kebutuhan bukan hanya makanan pokok saja tapi materi (uang) juga dibutuhkan.[91]

Bahkan Edwin Rahmadi, guru PAI SDS Kartika Jakarta membolehkan zakat fitrah dengan uang dengan alasan karena uang lebih praktis.[92] Begitupun dengan Hijrianah Kamalia, yang membolehkan zakat fithrah dengan uang dengan alasan karena lebih manfaat untuk fakir miskin. Menurut penglihatannya bahwa sebagian masyarakat miskin saat ini jika menerima makanan pokok dalam jumlah yang besar maka makanan pokok tersebut (beras) dijual kembali untuk mendapatkan uang.[93]

2.      Zakat untuk Muallaf

Rasulullah Saw biasanya memberikan bagian zakat pada kepala suku Arab dengan tujuan untuk menarik mereka agar memeluk Islam atau mencegah mereka agar tidak membahayakan kaum Muslimin. Bagian ini diberikan pula pada orang-orang Muslim yang baru (muallaf) sehingga mereka dapat tetap memeluk Islam dengan teguh. Tetapi Umar bin Khaththab mencabut perintah yang dituliskan Abu Bakar, dikala ia masih menjadi khalifah bagi penyumbangan tanah-tanah tertentu pada sejumlah orang atas dasar bahwa Rasulullah telah memberikan bagian ini untuk memperkuat Islam, tetapi karena keadaan telah berubah, maka bagian ini tidak valid lagi. Tindakan Umar ini tampaknya bertolak belakang dengan Quran, tetapi sebenarnya ia mempertimbangkan situasi yang ada dan mengikuti ruh perintah Quran. Pertimbangan pribadinya membawanya pada keputusan bahwa seandainya Rasulullah hidup dalam kondisi yang sama, tentu beliau akan memutuskan hal yang serupa.[94] Pemahaman Umar bin Khaththab dalam hal ini cenderung menggunakan pendekatan kontektual.

Dalam hal ini, seluruh guru PAI tingkat SD di wilayah provinsi DKI Jakarta tidak sependapat dengan pratek Umar bin Khaththab yang meniadakan zakat untuk muallaf, yang menunjukkan bahwa mayoritas para guru berpikiran tekstual dalam masalah ini.

Seperti Edwin Rahmadi mengatakan dengan tegas ketidaksetujuannya dengan pencabutan zakat untuk muallaf, karena muallaf (orang yang baru masuk Islam) itu perlu bimbingan.[95]

Ahmad Muhajir merasakan perlunya zakat untuk muallaf karena dengan dikasih zakat, muallaf tahu bahwa agama Islam adalah agama sosial kepada sesama.[96] Muallaf juga ada yang kaya dan ada yang miskin, Islam mengajarkan kerohiman dan kepedulian kepada siapa pun juga termasuk muallaf.[97]

Nur Nurosid Fauzi melihat bahwa muallaf itu harus dikuatkan dalam iman dan Islamnya. Semoga dengan zakat ini menjadi semakain kuat Iman Islamnya.[98]

Hasmawati juga tidak setuju dengan pencabutan muallaf dari penerima zakat karena muallaf itu harus dipedulikan.[99] Tetapi menurut Paridah, jika ketika masuk Islam, ia (muallaf) sudah mapan kehidupannya, maka tidak perlu zakat lagi, tettapi jika tidak mampu maka harus di bantu dengan zakat agar tidak pindah keyakinan lagi.[100]

 

3.      Hukum Potong Tangan Bagi Pencuri

Sejumlah budak mencuri seekor unta betina, kemudian menyembelihnya dan memakannya beramai-ramai. Ketika persoalan ini disampaikan pada Khalifah Umar bin Khaththab, seketika itu juga ia memerintahkan agar dilakukan pemotongan tangan terhadap mereka, tetapi setelah termenung sesaat ia berkata pada pemilik budak-budak itu: “kamu pasti yang telah membuat budak-budak ini kelaparan”. Karena itu ia memerintahkan pemilik budak-budak itu agar mengganti unta betina dengan dua kali harganya dan mencabut perintah sebelumnya, yaitu pemotongan tangan pada pencurinya. Cerita lain menyatakan bahwa seorang laki-laki mencuri suatu barang dari Baitul Mal, tetapi Umar tidak memotong tangannya. Bahwa Umar membekukan hukuman pemotongan tangan pencuri pada musim paceklik adalah fakta sejarah yang masyhur. Dalam kasus-kasus ini Umar tampaknya melanggar ayat Quran yang memerintahkan pemotongan tangan pencuri. Tetapi Umar menggunakan pendekatan kontekstual dalam memutuskan hukum di atas.

Hampir mayoritas guru sepakat pendapat Umar bin Khathtab dalam masalah ini yang bersifat kontektual. Seperti Edwin Rahmadi setuju dengan pendapat Umar bin Khathtab dan ia berpendapat bahwa mencuri karena lapar itu disebabkan oleh pemilik budak tersebut. makam menurutnya sangat pantas jika pemilik budak yang di hukum.[101]

Nur Nurosid Fauzi menambahkan bahwa semua keputusan hukum harus dilihat dari latar belakang masalahnya sehingga bisa memutuskan hukum dengan tepat.[102]

Paridah punya pandangan yang unik bahwa yang dimaafkan hanya untuk kebutuhan makan saja, jika untuk kemewahan maka para budak itu tetap harus di potong tangan. [103]

Hanya Ahmad Muhajir yang berpikiran tektual dalam masalah ini dengan mengatakan bahwa semua alasan apapun kalau memang terbukti bersalah maka syariat Islam harus dijalankan karena kalau menghukumi orang dilihat dari alasannya maka orang akan banyak beralasan untuk berbuat demikian.[104]

 

4.      Mengganti Kayu Siwak dengan dengan Sikat dan Pasta Gigi

Islam adalah agama yang mencintai kebersihan, tak terkecuali kebersihan gigi. Oleh sebab itu, dalam ajaran Nabi Muhammad SAW seorang Muslim dianjurkan untuk bersiwak yang berguna untuk membersihkan gigi.

Pada masa Nabi, sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab fikih klasik, disebutkan bahwa orang Arab biasa menggosok gigi dengan kayu yang dikenal dengan kayu arak. Selain itu, dalam berbagai riwayat hadits, Nabi dan sahabat tidak lupa untuk mencuci kayu tersebut setelah digunakan bersiwak. Kenapa kayu arak? Ranting kayu ini lebih lunak dan terasa nyaman di mulut.

Di Indonesia, fenomena bersiwak banyak di sekitar kita. Kayu arak ini dijual, serta dijadikan oleh-oleh jamaah haji untuk handai tolan sepulang ke Indonesia. Sebagian orang menganggap, yang disebut bersiwak adalah menggunakan kayu tersebut sewaktu-waktu, terutama sebelum shalat.

Zaman sudah berubah, masyarakat juga mengenal sikat gigi serta pasta gigi. Sikat gigi lebih mudah didapat di Indonesia, serta bisa menjangkau bagian mulut yang lebih dalam. Nah, apakah menggunakan sikat dan pasta gigi termasuk bersiwak juga?.

Secara kontektual, tujuan bersiwak itu agar mulut menjadi bersih serta bau mulut yang sedap hilang. Dalam interaksi kita sehari-hari, gigi kotor dan bau mulut tak sedap membuat tidak nyaman. Untuk menambah nilai kemuliaan saat beribadah, maka membersihkan gigi sangat dianjurkan, baik sebelum shalat, ketika akan membaca Al-Quran, dan sebagainya meskipun tidak menggunakan kayu arak tetapi tetap diniatkan bersiwak agar mendapat kesunahan. [105]

Menurut Nur Nurosid Fauzi, bahwa menggunakan pasta gigi tetap mendapat pahala sunnah dari segi hasil dan bagi yang memakai siwak akan mendapat pahala sunnah dari sisi hasil dan juga proses (karena alatnya sesuai dengan sunnah Nabi).[106] Hal senada juga di ungkapkan oleh Siti Hindun, bahwa Nabi Muhammad Saw itu cinta kebersihan dan untuk mendapatkan siwak yang seperti Nabi contohkan sulit di dapatkan di sini (Indonesia).[107] Hijrianah Kamalia juga setuju dalam pandangan kontekstual ini, karena inti bersiwak adalah untuk membersihkan gigi.[108]

Sebagian guru ada yang berpandangan tekstual dalam hal ini, yang mengatakan bahwa terdapat perbedaan antara siwak dan pasta gigi, seperti Ahmad Muhajir mengatakan bahwa kandungan yang ada dalam siwak itu lebih banyak manfaatnya dibanding pasta gigi diantaranya bisa menguatkan ingatan, mata menjadi terang,[109] menguatkan badan, dan dapat menghilangkan kuman.[110]Siwak juga banyak dan mudah di dapat di Indonesia.[111]

 

5.      Isbal (Kaki celana/Jubah/Kain menutup mata kaki)

Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah Saw, beliau bersabda,

“Kain yang di bawah dua mata kaki, maka di dalam neraka”. (HR. al-Bukhari).

Pendapat Ulama Memahami Hadits-Hadits Ini:

Pendapat Imam Syafi’i: “Makna Isbal adalah memanjangkan kain di bawah kedua mata kaki, hanya bagi orang yang sombong. Jika pada orang yang tidak sombong, maka makruh. Demikian disebutkan Imam Syafi’i secara nash tentang perbedaan antara orang yang memanjangkan kain karena sombong dan orang yang memanjangkan kain tetapi tidak sombong.[112]  

Hadits tentang Isbal, banyak orang yang bersemangat sangat mengingkari orang lain yang tidak memendekkan pakaiannya di atas mata kaki. Bahkan mereka terlalu berlebihan dalam bersikap sampai pada tingkat menjadikan perbuatan memendekkan kaki celana sebagai syi’ar Islam atau kewajiban yang besar dalam Islam. Jika mereka melihat seorang ulama atau da’i tidak memendekkan kaki celana seperti yang mereka lakukan, mereka menuduhnya -bahkan secara terang-terangan- tidak faham agama[113]

Salah seorang guru SD PAI di wilayah provinsi DKI Jakarta yang bernama Edwin Rahmadi memahami hadits Nabi Muhammad Saw di atas secara tektual, alasannya kalau isbal, di khawatirkan akan mengotori celana.[114]

Adapun mayoritas guru lainnya seperti Nur Nurosid Fauzi berpendapat bahwa boleh menggenakan celana di bawah mata kaki selama tidak sombong. Bagi yang menggenakan celana di atas mata kaki pun haram bila disertai kesombongan dan merasa paling benar dan suci.[115]

Hasmawati berpendapat bahwa tidak haram bagi laki-laki menggenakan pakaian sampai bawah mata kaki, karena menutup mata kaki atau tidak, kedua-duanya sama sama masih menutup aurat.[116]

Menurut Siti Hindun bahwa batas kesombongan itu bukan dari pakaian yang dikenakannya, jika ada yang memakai di atas mata kaki atau di bawah mata kaki itu boleh boleh saja.[117] Allah Swt menyukai keindahan, hadits Nabi jangan dipahami secara letter saja, tetapi harus dipahami berdasarkan pemahaman dari ulama-ulama yang mumpuni.[118]

 

6.      Tahlilan

Praktek tahlil hukumnya haram menurut sebagian orang karena menyerupai dengan tradisi agama lain yaitu Hindu dan Budha. Tuduhan ini juga berlaku untuk perayaan maulid nabi Muhammad Saw. karena menyerupai perayaan kelahiran dalam agama lain, yaitu perayaan Natal (Kristen)

Pandangan yang serba membuat kesamaan antara tradisi Islam dengan tradisi non-Islam ini beranggapan jika bukan orang Islam yang melakukan pertama kali, berarti itu bid’ah sesat, haram, bahkan kafir jika dilakukan oleh orang Islam. Perlu juga diingat bahwa budaya sarungan itu bukan budaya Islam. Pada masa nabi Muhammad Sawa. tidak ada. Budaya sarungan umat Islam yang cuma di Indonesia. Itu pun juga berangkat dari budaya agama Hindu yang ada di Indonesia. Anggap saja orang Madura yang kentara dengan budaya sarungnya, dan lihat agama nenek moyang orang Madura sebelum Islam datang, tak lain mayoritas menganut Hindu.

Begitu pula dengan budaya celana yang sudah banyak digandrungi oleh masyarakat Indonesia. Tempo dulu budaya memakai celana di kalangan Islam Indonesia haram. Hal tersebut dengan suatu dalil dan alasan bahwa orang yang menyerupai suatu, maka mereka merupakan bagian dari mereka. Karena dianggap menyerupai dengan orang Belanda atau Jepang yang beragama non-Islam, maka memakai celana diharamkan. Itu semua merupakan buah dari fanatisme dalam beragama yang mengekang dan mempersulit hidupnya sendiri. Baru ketika mereka sadar bahwa memakai celana itu penting, pengharaman lambat laun menyusut dan rata-rata kiai memakai celana.

Hasil penelitian yang kami dapati bahwa seluruh guru PAI SD di wilayah provinsi DKI Jakarta sepakat memahami tahlilan dengan pemahaman kontektual. Seperti Nur Nurosid Fauzi mengatakan bahwa memang betul tidak ada contoh dari Nabi Muhammad Saw merupakan bid’ah, namun karena diisi dengan hal-hal yang diajarkan Nabi semisal dzikir, baca al-Qur’an dan nasehat agama sehingga menjadi bid’ah hasanah, dimana yang mengamalkan mendapat pahala. Jadi tahlilan tidak beda dengan model perkumpulan semisal pengajian, bedah buku, seminar yang tak ada contohnya dari Nabi Saw.[119]

Pendapat ini senada dengan pendapatnya Ahmad Muhajir yang berpendapat bahwa tidak semua yang tidak dicontohkan itu bid’ah. Karena bid’ah itu ada bid’ah hasanah dan sayyi’ah, dan tahlilan itu bid’ah hasanah, karena tujuannya baik yaitu mendoakan orang yang telah wafat dan menghibur kesedihan atas orang yang ditinggalkan dan itu tradisi tidak bertentangan dengan syariat Islam.[120]

Hasmawati berpendapat bahwa selama ajarannya tidak menyimpang dari Islam maka tahlilan itu boleh saja dilakukan. Karena dengan adanya tahlilan bisa menambah kerukunan umat Islam dan dapat menjaga silaturahmi.[121] Menurut Edwin Rahmadi tahlilan itu baik dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt.[122]                                                                                                                                                                                                                                                                           

Siti Hindun juga berpendapat bahwa tahlilan memang tidak diajarkan Rasulullah Saw akan tetapi Nabi menganjurkan kita untuk banyak banyak mengucapkan kalimat thayibah dan tahlilan adalah doa dan ucapan-ucapan kalimat thayibah tersebut.[123]

 

7.      Saksi Perzinaan

Terkait dengan empat orang saksi dalam kasus perzinaan, Syaltut mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: Seseorang boleh mengalirkan darah karena mempertahankan kehormatan rumah tangganya (kasus zina) walaupun tanpa empat orang saksi, hal itu semata mata sebagai pembelaan kehormatannya, manakala bukti telah kuat.[124] Syaltut memberikan ilustrasi yang terdapat dalam riwayat tentang putusan Umar ibn Khattab, bahwa ia membenarkan seorang laki-laki yang menetakkan pedangnya kepunggung laki-laki lain sehingga meninggal karena didapatkannya berbuat zina dengan isterinya.[125]  Lebih lanjut ia mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: Manakala tidak memungkinkan menghadirkan empat orang saksi dalam kasus ini, maka cukuplah bukti-bukti kuat menurut hukum bisa digunakan oleh hakim.[126] Dengan tegas ia menyatakan bahwa pengadilan itu punya banyak cara untuk menetapkan suatu keputusan hukum disamping empat orang saksi.

Pemikiran Syaltut ini sangat kontektual yang melihat dari sisi mashlahahnya. Karena jika suatu kasus yang melanggar kehormatan orang lain seperti zina harus dengan empat orang saksi dalam pembuktiannya, sedangkan hal itu sulit dipenuhi, sedangkan bukti-bukti lain telah menguatkan, maka akan tidak terlindungi kehormatan dan ketenangan rumah tangga seseorang. Padahal kehormatan dan ketenangan rumah tangga merupakan fondasi penting untuk menciptakan keharmonisan suatu perkawinan dan kelestariannya.

Karena itu setiap aktivitas yang mengandung manfa’at, baik itu dari segi menarik atau menghasilkannya, maupun cara menolak atau menghindarkan dari bahaya dan kepedihan, pantas dinamai maslahah. Maslahah itu pada dasarnya adalah sesuatu yang membawa kearah yang baik dan manfa’at.

Kalau dilihat dari segi metodologi hukum Islam, maka dapat dikatakan, bahwa cara pengambilan kesimpulan Syaltut dalam mengistinbatkan hukum mengenai persoalan di atas adalah menggunakan maslahah. Ia merumuskan semacam kaidah sebagai berikut:  “jika suatu masalah itu didapatkan, maka disitulah syariat Allah.

Pendapat Syaltut ini diamini oleh sebagian guru PAI SD di wilayah provinsi DKI Jakarta Selatan ini, seperti Paridah menyetujui pendapat Syaltut karena zaman tekhnologi sudah canggih dan dapat disaksikan oleh orang banyak. Adapun kebenaran sebuah video dapat memanggil ahli IT sehingga dapat melihat jelas kebenarannya.[127]

Ahmad Muhajir sangat setuju dengan pendapat Syaltut, karena dengan seperti itu, akan memberikan efek jera bagi orang yang melakukan zina tersebut dan menjaga kehormatan bagi pihak yang dirugikan.[128]

Bahkan menurut Siti Hindun bahwa bukti video adalah bukti yang kuat. Bahkan kalau dengan saksi satu orang yang sebagai saksi kunci dengan bukti yang kuat juga maka itu sah-sah saja.[129]

Tapi berbeda dengan Nur Nurosid Fauzi yang berpendapat bahwa saksi zina harus empat orang saksi. Karena tuduhan zina terhadap seseorang  merupakan dosa besar, maka dibutuhkan kehati-hatian dalam tuduhan.[130] Maka menuduh zina itu harus disaksikan empat orang, jika tidak mencapai empat orang maka tidak sah.[131]

 

8.      Bunga Bank

Mahmud Syaltut, seorang cendikiawan dari Mesir berpendapat bahwa sesungguhnya prinsip syari’at Islam dalam bidang muamalah adalah terpenuhinya maslahah, terlindunginya aturan dan hak-hak serta meningkatnya taraf hidup.[132] Maka dari itu ia menghalalkan bunga tabungan karena dipandang memberikan kemashlahatan dan tidak menimbulkan kemudharatan, baik yang menabung atau yang menerima tabungan, kedua-duanya mendatangkan kebaikan. Didalamnya tidak terdapat orang yang menganiaya dan teraniaya, dengan kata lain tidak ada unsur pemerasan atau pemaksaan. Laba yang diberikan oleh tabungan adalah sebagai suatu daya tarik saja.

Berdasarkan hal ini, Syaltut membolehkan bunga tabungan itu berdasarkan ayat 220 dan 279 surat al-Baqarah. Dalam hal ini, Muhammad Abduh berpendapat, bahwa haram ataupun halalnya bunga tadi bertitik tolak   pada :   Allah   tidak   mengharamkan   sesuatu   kecuali karena mendatangkan mudharat pada dirinya, dan tidak menghalalkan sesuatu, kecuali karena bermanfaat pada dirinya.[133] Pendapat Syaltut ini berbeda dengan kalangan ulama Mesir saat itu yang menyatakan bahwa, keuntungan yang diberikan oleh Bank adalah haram.[134]                                                                                                                                                                                                                                                                                                                 

Nur Nurosid Fauzi sepakat dengan mayoritas ulama Mesir yang berpendapat bahwa konsep dasar riba adalah sesuatu yang bertambah. Allah Swt menghalalkan jual beli artinya bila pihak bank memutar uang nasabah untuk jual beli maka itu sistem bagi hasil dan itu boleh tapi kalau bunga bukan dari sistem jual beli makanya menjadi riba’.[135]

Ahmad Muhajir juga tidak setuju dengan pendapat Syaltut. Alasannya bahwa di satu sisi mungkin tidak ada yang dirugikan, tetapi disisi lain, nanti akan banyak orang yang menghalalkan riba dalam suatu transaksi padahal jelas bahwa riba termasuk dosa besar dan seringan-ringannya dosa riba adalah seperti menzinahi ibu sendiri.[136] 

Tetapi pendapat Syaltut ini banyak memperoleh dukungan dari guru PAI yang lainnya seperti Hijrianah Kamalia berpendapat bahwa zaman sudah  semakin berkembang dan modern. Pihak Bank dan nasabah tidak ada unsur paksaan di kedua belah pihak. [137]Di samping itu, menurut Hasmawati,  ada unsur kemashlahatan dan tidak menimbulkan kemudaratan diantara kedua belah pihak.[138]

 

9.      Kesaksian Wanita

Allah swt berfirman

وَٱسۡتَشۡهِدُواْ شَهِيدَيۡنِ مِن رِّجَالِكُمۡۖ فَإِن لَّمۡ يَكُونَا رَجُلَيۡنِ فَرَجُلٞ وَٱمۡرَأَتَانِ

“Dan persaksikan dengan dua orang saksi dari orang lelaki (diantaramu), jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan”[139]

Dalam memahami ayat ini, seringkali mengarah kepada ketidaksetaraan antara laki-laki dan wanita, bahwa wanita itu lebih rendah dari laki-laki, oleh karena itu kesaksian seorang wanita bernilai separuh dari kesaksian laki-laki. Sehingga para fuqaha’ dalam menetapkan masalah kesaksian wanita selalu dengan perbandingan dua orang saksi wanita sama nilainya dengan kesaksian seorang laki-laki. Bahkan lebih jauh lagi yaitu kesaksian wanita tidak dapat diterima dalam masalah pidana (qisas dan hudud). Kesaksian wanita baru diakui secara mutlak, tanpa didampingi kesaksian laki-laki hanya terbatas dalam hal yang berkaitan dengan masalah kewanitaan saja, atau hal-hal yang lazim diketahui oleh wanita, seperti masalah haid, cacat pada anggota tubuh wanita, peristiwa kelahiran dan masalah rada’ah.[140] Dalam suasana dan atmosfir seperti itu, Syaltut menyatakan pendapatnya, bahwa kesaksian seorang wanita itu sama dan setara nilainya dengan kesaksian seorang laki-laki.[141]

Pendapat Syaltut ini tentu saja berbeda dengan pendapat yang selama ini berkembang dikalangan fuqaha, bahwa kesaksian seorang wanita itu setengah dari kesaksian seorang laki-laki, atau dengan formulasi fiqih dinyatakan bahwa kesaksian wanita baru dianggap sah, bila dikemukakan oleh dua orang wanita dan seorang laki-laki.

Pendapat Syaltut ini disetujui oleh beberapa guru PAI tingkat SD di wilayah provinsi DKI Jakarta Selatan seperti Ahmad Muhajir berpendapat bahwa ia setuju dengan pendapat Syaltut karena laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama terutama dalam keadaan darurat. [142]

Siti Hindun berpendapat bahwa wanita dan laki-laki memang tidak sebanding namun jika tidak ada yang menjadi saksi lain maka tidak mengapa, asalkan wanita tersebut saksi yang dapat dipercaya.[143]

Menurut Hasmawati,  bahwa persaksian itu tidak perlu memandang jenis kelamin, jadi laki-laki atau perempuan bisa saja untuk dijadikan saksi asalkan kesaksiannya itu sesuai dengan kenyataan dan sesuai dengan apa yang diucapkan.[144]

Tetapi Nur Nurosid Fauzi, tidak sepakat dengan pendapat Syaltut, alasannya karena secara psikologis lelaki dan wanita itu berbeda. Imam al-Ghazali berpendapat bahwa  laki laki itu akalnya sembilan dan nafsunya satu, sementara perempuan itu akalnya satu dan nafsunya sembilan. Mungkin karena faktor inilah al-Qur’an membandingkan satu laki-laki dengan dua perempuan.[145]

Paridah juga mengatakan hal yang sama, bahwa hukum harus mengikuti firman Allah. Perempuan terkadang mengedepankan perasaan dibanding fikiran. Jika dua perempuan menjadi saksi maka dapat membantu untuk menguatkan alasan perempuan yang satunya lagi.[146] Bahkan menurut Edwin Rahmadi, wanita itu bersifat bengkok atau mudah dipengaruhi karena terbuat dari tulang rusuk Nabi Adam AS, maksudnya adalah wanita itu kurang tegar dan perasaannya mudah terbawa.[147]

Hijriyanah Kamalia juga berpendapat bahwa wanita selalu mengutamakan perasaannya dalam memberikan kesaksian dan laki-laki lebih kuat dari seorang wanita.[148]

 

10.  Kasus Bani Quraidhoh

Suatu hari sahabat Nabi Muhammad Saw. berkunjung ke Bani Quraizhah. Kepada mereka, Nabi bersabda; “Janganlah kamu melaksanakan shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah”[149] Sebelum sampai ke Bani Quraizhah, waktu Ashar hampir habis. Sebagian sahabat berijtihad dengan melakukan shalat si perjalanan. Berdasarkan ijtihadnya, perintah tersebut adalah supaya sahabat melakukan perjalanan secara cepat sehingga bisa sampai di Bani Quraizhah sebelum waktu shalat Ashar habis. Sebagian sahabat lagi berpegang kepada makna tersurat sabda Nabi Saw tersebut, sehingga mereka shalat Ashar di Bani Quraizhah pada malam hari.[150] Shahabat yang shalat di jalan cenderung menggunakan pendekatan kontektual dan shahabat yang shalat Ashar pada malam hari di Bani Quraidzah menggunakan pendekatan tekstual.

Nur Nurosid Fauzi memilih kecenderungannya kepada ke kelompok A, walau Nabi Saw memerintahkan shalat Ashar di Bani Quraidzah, akan tetapi ada aturan yang itupun adalah ajaran Nabi Muhammad Saw bahwa shalat itu harus pada waktunya. Karenanya walau dia tidak shalat Ashar di Bani Quraidzah tetap disebut sebagai orang yang taat pada Nabi Muhammad Saw.[151] 

Begitu juga dengan Siti Hindun, yang lebih cenderung ke kelompok A yang melaksanakan sholat diperteangahan jalan walaupun belum sampai Bani Quraidzah. Karena menurutnya orang yang sholat di luar waktu atau melewati waktu adalah termasuk orang yang lalai dan merugi.[152] Begitupun Ahmad Muhajir yang lebih cenderung kepada kelompok A, karena sholat yang baik adalah sholat di awal waktu.[153]

Berbeda dengan Hasmawati yang lebih cenderung kepada kelompok B, dengan alasan karena itu perintah dari imam mereka yaitu Nabi Muhammad Saw.[154] Paridah juga cenderung kepada kelompok B, karena Ashar bisa bisa di lakukan di  di Bani Quraidzah dan ini bisa dijadikan sebagai pembelajaran.[155]

 

B.                  Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka peneliti mencoba untuk membahas temuan-temuan penelitian tersebut dalam sebuah tabel sebagai berikut:

 

Tabel 4.1

Beberapa Permasalahan Pemahaman Keagamaan

NO

PERMASALAHAN

PENDEKATAN

TEKTUAL

KONTEKTUAL

1

Zakat Fitrah dengan Uang

4

3

2

Zakat untuk Muallaf

7

0

3

Hukum Potong Tangan

1

6

4

Hukum Siwak Sikat Gigi

3

4

5

Hukum Isbal

2

5

6

Hukum Tahlilan

0

7

7

Saksi Perzinaan

3

4

8

Hukum Bunga Bank

2

5

9

Kesaksian Wanita

4

3

10

Kasus Bani Quraidzah

3

4

 

JUMLAH

29 Guru

41 Guru

 

Tabel 4.2

Pemahaman Keagamaan Guru SD PAI DKI Jakarta

 

NO

 

NAMA SEKOLAH

PEMAHAMAN KEAGAMAAN

GURU PAI SEKOLAH DASAR WILAYAH DKI JAKARTA

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

T

K

T

K

T

K

T

K

T

K

T

K

T

K

T

K

T

K

T

K

1

SDN Cililitan 01 Pagi

V

 

V

 

 

V

 

V

 

V

 

V

V

 

V

 

V

 

 

V

2

SDN Cipete Utara 01 Pagi

V

 

V

 

 

V

 

V

 

V

 

V

V

 

 

V

 

V

V

 

3

SDN Tengah 03 Pagi

 

V

V

 

 

V

V

 

V

 

 

V

 

V

 

V

V

 

V

 

4

SDS Kartika VIII-2

 

V

V

 

 

V

V

 

V

 

 

V

 

V

 

V

V

 

V

 

5

SDIT  Saadatuddarain

V

 

V

 

 

V

 

V

 

V

 

V

 

V

 

V

 

V

 

V

6

SDI Darul Maarif

V

 

V

 

V

 

V

 

 

V

 

V

 

V

V

 

 

V

 

V

7

SDI Taman Quraniyah

 

V

V

 

 

V

 

V

 

V

 

V

V

 

 

V

V

 

 

V

 

JUMLAH

4

3

7

 

1

6

3

4

2

5

 

7

3

4

2

5

4

3

3

4

 

Dalam masalah zakat fithrah dengan uang, melalui penelitian ini didapati bahwa guru yang memahami zakat fithrah harus dengan makanan pokok (tekstual) jumlahnya lebih banyak dibanding guru yang membolehkan zakat fihrah dengan uang (kontekstual). Dengan demikian bahwa guru yang berfaham tekstual dalam masalah ini lebih banyak dibanding guru yang berpaham kontektual.

Kasus zakat untuk muallaf, para guru sepakat bahwa zakat fithrah boleh di diberikan kepada muallaf (orang yang baru masuk Islam) sebagaimana teks firman Allah Swt. Dalam masalah ini seluruh guru berpaham tektualis.

Hukum potong tangan bagi pencuri memperlihatkan bahwa hampir seluruh guru berpikir kontekstual karena menyetujui ijtihad Umar bin Khaththab yang tidak memotong tangan pencuri. Umar lebih memilih menghukum pemilik budak karena       

Tiga orang guru berpandangan tekstual dalam mengganti siswak dengan pasta gigi, bahwa kandungan yang ada dalam siwak itu lebih banyak manfaatnya dibanding pasta gigi. Sedangkan empat orang guru berpandangan kontekstual bahwa bisa saja siwak yang sulit dicari di Indonesia di ganti dengan pasta gigi.

Mayoritas guru memahami masalah Isbal dengan paham kontektual, yakni seseorang boleh saja memakan celana atau kain menutupi mata kaki asalkan jangan diiringi dengan kesombongan.

Dalam masalah tahlilan, seluruh guru membolehkan praktik tahlilan, karena walaupun tidak ada contohnya dari Nabi Muhammad Saw akan tetapi seluruh amalannya mengandung nilai pahala.

Dalam kasus saksi perzinaan, empat dari tujuh guru berpiki kontekstual dengan berpendapat bahwa manakala bukti-bukti sudah cukup kuat tentang adanya perzinaan, maka tanpa empat orang saksi pun bisa dijatuhkan hukuman.

Mayoritas para guru berpaham kontektual karena membolehkan bunga tabungan. Karena dipandang memberikan kemashlahatan, tidak menimbulkan kemudharatan, tidak terdapat orang yang menganiaya dan teraniaya, dengan kata lain tidak ada unsur pemerasan atau pemaksaan. Laba yang diberikan oleh tabungan adalah sebagai suatu daya tarik saja.

Empat dari tujuh guru berpaham tekstual dalam memahami ayat tentang kesaksian wanita, alasannya karena secara psikologis lelaki dan wanita itu berbeda. Dan yang terakhir, yaitu dalam kasus Bani Quraidzoh, mayoritas guru berpaham kontekstual, dalam hal ini mereka sepakat dengan para shahabat yang memilih untuk shalat di jalan, karena esesnsi dari perintah Nabi Muhammad adalah agar para shahabat mempercepat perjalanan ke Bani Quraidzah. Tetapi jika belum sampai juga padahal sudah mempercepat langkah, maka alangkah baiknya shalat ashar di waktunya sebelum sampai Bani Quaraidzah.


 


BAB V
PENUTUP

 

A.  Kesimpulan

            Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka pada bab ini akan disampaikan kesimpulan dan saran.

Adapun kesimpulan penelitian ini adalah bahwa guru Pendidikan Agama Islam (PAI) pada Sekolah Dasar (SD) di wilayah provinsi DKI Jakarta mayoritas memiliki pemahaman keagamaan yang kontektual. Pendekatan kontektual dalam pemahaman keagamaan adalah pemahaman yang penjabarannya senantiasa memperhatikan kondisi dan situasi dimana Islam itu di kembangkan. Pendekatan ini adalah sebagai metode yang menjadikan rasio atau akal manusia sebagai alat yang paling dominan dalam memperoleh pengetahuan dan pemahaman atas pelbagai  ajaran Islam, teks teks wahyu dibedah secara kontekstual, kritis, logis dan rasional. Pendekatan kontekstualis ini juga sebagai manhaj fikir yang memahami agama Islam sebagai organisme yang hidup dan berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia. Maka bagi mereka pintu ijtihad mesti dibuka pada semua bidang sehingga memungkinkan Islam menjawab persoalan kemanusiaan yang terus berubah-ubah.

 

B.   Saran

            Adapun saran-saran yang akan disampaikan adalah sebagai berikut:

  1. Kepada para guru, kepala sekolah dan para pembaca diharapkan dari hasil penelitian ini dapat dijadikan sumbangan pemikiran dan menambah wawasan tentang kajian mengenai pemahaman keagamaan guru pendidikan agama Islam tingkat Sekolah Dasar di wilayah provinsi DKI Jakarta yang dapat dijadikan acuan dalam penelitian, pembuatan buku dan pengajaran. Temuan penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar penelitian, evaluasi dan pengembangan ilmu pengetahuan.

 

  1. Kepada Pemerintah Republik Indonesia agar mengalokasikan dana yang cukup untuk pelatihan dan pembinaan para guru terkait dengan pemahaman keagamaan para guru di sekolah.

 

 

 


 


DAFTAR PUSTAKA

 

A. Qodri A Azizy, Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika Sosial, (Semarang: CV. Aneka Ilmu, 2003

Abd al-Qadir al-Audah, al-Tasri’ al-Jina’I al-lslami, (Kairo: Maktabah al-Gurubah, 1962), juz ii

Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh Ala al-Mazahib al-arba’ah, (Bairut: Dar al-Fikri)Mahmud Syaltut, al-lslam Aqidah wa al-Syari’ah, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1980)

Abd al-Aziz ‘Amir, al-Ta’zir fi al-Syari’ah al-Islamiyyah, (Kairo: Dar al-Fikri al-Arabi, 1976)

Abu 'A'ia al-Maududi, Tafsir Surah al_Nur, (Damsyiq: Dar a!-Fikri, 1960)

Abu Zahrah, Falsafah al-Uqubah fi al-Fiqh al-Islami, (Mesir: Dar al-Ilm Lil Malayin, 1963)

Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), Ed. 1. Cet. 2

Ahmad  Fatah  Yasin,  Pengembangan  Sumber  Daya  Manusia  di Lembaga pendidikan Islam, (Malang: UIN Maliki Press, 2011)

Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Terjemahan dari The Early Development of Islamic Jurisprudence oleh Agah Garnadi, (Bandung : Penerbit Pustaka, 1984)

Allan Menzies, Sejarah Agama Agama, (Yogyakarta : Forum, 2014)

Asep  Mahfudz,  Be  A  Good  Teacher  or  Never:  9  Jurus  Cepat Menjadi  Guru  Profesional  Berkarakter  Trainer,  (Bandung:  Nuansa,  2011)

Asep Yonny dan Sri Rahayu Yunus, Begini Cara Menjadi Guru Inspiratif  dan  Disenangi  Siswa,  (Yogyakarta:  Pustaka  Widyatama,  2011)

Asef Umar Fakhruddin, Menjadi Guru Favorit, (Jogjakarta: Diva Press, 2011)

Asep  Mahfudz,  Be  A  Good  Teacher  or  Never:  9  Jurus  Cepat Menjadi  Guru  Profesional  Berkarakter  Trainer,  (Bandung:  Nuansa,  2011

Faisal, Mengintegrasikan Revisis Taksonomi Bloom Kedalam Pembelajaran Biologi, Jurnal Sainsmat, Vol. IV, No. 2, 2015

Hadari   Nawawi,   Organisasi   Sekolah   dan   Pengelolaan   Kelas sebagai Lembaga Pendidikan, (Jakarta: Haji Masagung, 1989)

Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, juz.X (Beirut: Dar alMa’rifah, 1379H)

Jawwad ‘Ali, al-Mufashshal fi Tarikh al-‘Arab Qabl al-Islam, Juz.XVIII (Dar as-Saqi, 1422H)

John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1979), cet. VIII

Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam Upaya Pembentukan  Pemikiran  dan  Kepribadian 

M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad antara tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998)

Mahmud Syaltut, al-lslam Aqidah wa al-Syari’ah, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1980)

Matthew B.Miles and Michael A.Huberman, Qualitative Data Analysis, A Sourcebook of New Methods (Beverly Hills Page Publications, 1984)

Muhammad abduh, Tafsir al-Manar, (Cairo: Maktabah al-Qahiroh, juz III, cet IV, 1324)

Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam,(Jakarta: Rajawali Press, 2012)

Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam Upaya Pembentukan  Pemikiran  dan  Kepribadian  Muslim,  (Bandung:  PT  Remaja  Rosdakarya, 2006)

Muhammad Alim Pendidikan Agama Islam Upaya Pembentukan  Pemikiran  dan  Kepribadian  Muslim,  (Bandung:  PT  Remaja  Rosdakarya, 2006)

Muri   Yusuf,   Pengantar   Ilmu   Pendidikan,   (Jakarta:   Ghali Indonesia, 1986)

Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2006)

Shihabuddin Ahmad bin Muhammad al-Qasthalani, Irsyad al-saari fi Syarh Shahih Bukhari, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1984), Jilid 6, Cet 7

Sukardi, Metode Penelitian Pendidikan, Kompetensi dan Prakteknya (Jakarta: Bumi Aksara, 2003)

Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa Nata’amal Ma’a as-Sunnah an-Nabawiyyah, (Cairo; Dar asySyuruq, 1423H)

Zakiah  Daradjat,  Pendidikan  Agama  dalam  Pembinaan  Mental, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982)

 


 


BIODATA PENULIS

Dr. H. TAUFIK ABDILLAH SYUKUR Lc, MA, lahir di Jakarta, 28 Maret 1978. Putra ketiga dari DR. (HC). Dr. KH. Manarul Hidayat, M.Pd dan Dra. Hj. Mahyanah MH. Menyelesaikan S1 di Universitas Yarmouk Jordania (2001), S2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2004) dan S3 Universitas Ibnu Khaldun Bogor program studi Pendidikan Islam (2013) dengan predikat cumlaude (A) dan merupakan wisudawan terbaik pada wisuda ke-55 tahun akademik 2012-2013.

Sebelumnya pernah menimba ilmu di beberapa pesantren antara lain; PP. Darul Ulum Jombang, Majlis Al-Ihya Bogor, Ribat Al-Jufri Madinah Munawwaroh Saudi Arabia.

Pernah aktif di Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jordan, Forum Komunikasi Kelompok Bimbingan Ibadah Haji Kota Depok, Forum Komunikasi Pondok Pesantren Kota Depok. Pernah menjabat sebagai kepala Sekolah TK, SD, SMP, SMA, dan Madrasah Diniyah.

Saat ini aktif sebagai Direktur Azhari Islamic School Cilandak, Pengasuh Santri Al-Manar Azhari Islamic Boarding School Depok, Pembimbing manasik haji dan umroh serta Dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Hikmah Jeruk Purut Cilandak Jakarta.

 

 

 

 


SITI RAFIQOH, lahir di Jakarta, 29 September 1979, merupakan putri ketujuh dari Bapak H. Abdurrahman Djanan dan Ibu Hj. Royanih.

Menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Islam Teladan 01 Pagi Jakarta (1991), MTs Al-Wathoniyah 05 Jakarta (1994), MA Daar El-Qolam Tangerang (1997), IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta (2001), dan selanjutnya tahun 2002 melanjutkan studi di S2 Universitas Negeri Jakarta, tahun 2009 melanjutkan studi S2 jurusan Ilmu Tafsir di PTIQ dan berhasil diselesaikan pada tahun 2012.

Sejak tahun 2003  mulai bekerja sebagai Penyuluh Agama Islam Fungsional dilingkungan Kantor Departemen Agama Kodya Jakarta Selatan, tahun 2011 pindah tugas menjadi Guru PAI di Azhari Islamic School Cilandak. Sejak tahun 2001 sampai sekarang tercatat sebagai guru di Al-Manar Azhari Islamic Boarding School di Limo-Cinere Depok.



[1] Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), Ed. 1. Cet. 2, hlm. 211

[2] Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam Upaya Pembentukan  Pemikiran  dan  Kepribadian  Muslim,  (Bandung:  PT  Remaja  Rosdakarya, 2006), hlm. 6

[3] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, op. cit., hal. 636

[4] Faisal, Mengintegrasikan Revisis Taksonomi Bloom Kedalam Pembelajaran Biologi, Jurnal Sainsmat, Vol. IV, No. 2, 2015, hal. 104

[5] Allan Menzies, Sejarah Agama Agama, (Yogyakarta : Forum, 2014), hal.318

[6] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1979), cet. VIII, hal. 143

[7] Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), Ed. 1. Cet. 2, hal. 107-108

[8] Ibid., hal. 108

                [9] Hadits riwayatTirmidzi no: 564 dan Abu Daud no: 134          

                [10] Hadits riwayat Bukhari no : 1407 dan Muslim no : 1635 dan 1646

[11] Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Terjemahan dari The Early Development of Islamic Jurisprudence oleh Agah Garnadi, (Bandung : Penerbit Pustaka, 1984), h. 110.

[12] Ibid., h. 110

[13] www.nu.or.id

[14] Al-Haifzh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, juz.X (Beirut: Dar alMa’rifah, 1379H), hal.263.

[15] Imam an-Nawawi, Riyadh ash-Shalihin, juz.I, hal.425.

[16] Al-Haifzh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, op. cit., juz.X, hal.263

[17] Ibid., hal.257.

[18] Syekh DR.Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa Nata’amal Ma’a as-Sunnah an-Nabawiyyah, (Cairo; Dar asySyuruq, 1423H),  hal.128

[19] DR.Jawwad ‘Ali, al-Mufashshal fi Tarikh al-‘Arab Qabl al-Islam, Juz.XVIII (Dar as-Saqi, 1422H), 

hal.37.

[20] Abu Zahrah, Falsafah al-Uqubah fi al-Fiqh al-Islami, (Mesir: Dar al-Ilm Lil Malayin, 1963), h. 106-107

[21] QS. Al-Nisa(3):15-16

[22] QS Al-Nur (24) : 2

[23] Abu 'A'ia al-Maududi, Tafsir Surah al_Nur, (Damsyiq: Dar a!-Fikri, 1960), h. 9-10.

[24] QS. al-Haj (22) ayat 78 :

[25] Abd al-Qadir al-Audah, al-Tasri’ al-Jina’I al-lslami, (Kairo: Maktabah al-Gurubah, 1962), juz ii, h. 395

[26] QS. Al-Nisa’ (4) ayat: 15

[27] QS. Al-Nur (24) ayat: 4.

[28] QS. AI-Baqarah (2) ayat 188

[29] Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh Ala al-Mazahib al-arba’ah, (Bairut: Dar al-Fikri), 1985

[30] Mahmud Syaltut, al-lslam Aqidah wa al-Syari’ah, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1980), h. 345

[31] Ibid.

[32] Ibid., h. 344-345.

[33] Ibid.

[34] M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad antara tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), h. 50-51

[35] Ibid., h. 39-67

[36] Mahmud Syaltut, al-ahkam Aqidah wa at-Syari’ah, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1980), h. 482

[37] Ibid., h. 345

[38] Ibid., h. 496

[39] Ta’zir adalah sanksi hukuman yang tidak ditentukan bentuk jumlahnya yang dikenakan terhadap perbuatan melawan hukum selain hudud, qisas, diyat dan kafarah. I.ihat Abd al-Aziz ‘Amir, al-Ta’zir fi al-Syari’ah al-Islamiyyah, (Kairo: Dar al-Fikri al-Arabi, 1976), h. 52-53

[40] Mahmud Syaltut, al-lslam Aqidah wa al-Syari’ah, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1980), h.293

[41] DR. H. Abd. Salam Arief, MA, Op. Cit., h. 157

[42] Ibid., h. 85

[43] Mahmud Syaltut, al-lslam Aqidah wa al-Syari’ah, h.391

[44] Muhammad abduh, Tafsir al-Manar, (Cairo: Maktabah al-Qahiroh, juz III, cet IV, 1324), hal. 97

[45] Mahmud Syaltut, al-Fatawa, h. 351

[46] Surat al-Baqarah (2) ayat 282

[47] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Al-Turuq al-Hukmiyyah fi al-Siasah al-Syar’iyyah, (Kairo : al-Mu’assasah al-Arabiyyah li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1961) h. 92-93 & 151

[48] Syaltut, al-lslam Aqidah wa Syari'ah, h. 239-240

[49] QS. Al-Nisa’ (4) ayat: 15

[50] QS. Al-Nur (24) ayat: 4.

[51] QS. AI-Baqarah (2) ayat 188

[52] Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh Ala al-Mazahib al-arba’ah, (Bairut: Dar al-Fikri), 1985

[53] Mahmud Syaltut, al-lslam Aqidah wa al-Syari’ah, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1980), h. 345

[54] Ibid.

[55] Ibid., h. 344-345.

[56] Ibid.

[57] M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad antara tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), h. 50-51

[58] Ibid., h. 39-67

[59] Hadits riwayat Bukhari no : 894 dan Muslim dari Ibnu Umar no: 3317

[60] Shihabuddin Ahmad bin Muhammad al-Qasthalani, Irsyad al-saari fi Syarh Shahih Bukhari, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1984), Jilid 6, Cet 7, h. 240

[61] Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2006), hlm. 291

[62] Undang-undang  R.I.  Nomor  14  Tahun  20005,  Guru  dan  Dosen, Pasal 1, Ayat (1)

[63] Hadari   Nawawi,   Organisasi   Sekolah   dan   Pengelolaan   Kelas sebagai Lembaga Pendidikan, (Jakarta: Haji Masagung, 1989), hlm. 123

[64] Muri   Yusuf,   Pengantar   Ilmu   Pendidikan,   (Jakarta:   Ghali Indonesia, 1986), hlm. 53-54

[65] A. Qodri A Azizy, Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika Sosial, (Semarang: CV. Aneka Ilmu, 2003), hlm. 72

[66] Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam,(Jakarta: Rajawali Press, 2012), hlm. 163

[67] Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam Upaya Pembentukan  Pemikiran  dan  Kepribadian  Muslim,  (Bandung:  PT  Remaja  Rosdakarya, 2006), hlm. 6

[68] Undang-undang  R.I.  Nomor  20  Tahun  2003,  Sistem  Pendidikan Nasional, Pasal 37, Ayat (1)

[69] Peraturan   Pemerintah   R.I.   Nomor   19   Tahun   2005,   Standar Nasional Pendidikan, Pasal 6, Ayat (1)

[70] Undang-undang  R.I.  Nomor  20  Tahun  2003,  Sistem  Pendidikan Nasional, Pasal 3

[71] Muhammad Alim Pendidikan Agama Islam Upaya Pembentukan  Pemikiran  dan  Kepribadian  Muslim,  (Bandung:  PT  Remaja  Rosdakarya, 2006), hlm.  3-7

[72] Undang-undang  R.I.  Nomor  14  Tahun  2005,  Guru  dan  Dosen, pasal 8.

[73] Ahmad  Fatah  Yasin,  Pengembangan  Sumber  Daya  Manusia  di Lembaga pendidikan Islam, (Malang: UIN Maliki Press, 2011), hlm. 51

[74] Asep  Mahfudz,  Be  A  Good  Teacher  or  Never:  9  Jurus  Cepat Menjadi  Guru  Profesional  Berkarakter  Trainer,  (Bandung:  Nuansa,  2011), hlm. 45-46

[75] Zakiah  Daradjat,  Pendidikan  Agama  dalam  Pembinaan  Mental, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hlm. 122-125

[76]  Asep Yonny dan Sri Rahayu Yunus, Begini Cara Menjadi Guru Inspiratif  dan  Disenangi  Siswa,  (Yogyakarta:  Pustaka  Widyatama,  2011), hlm.

[77] Asef Umar Fakhruddin, Menjadi Guru Favorit, (Jogjakarta: Diva Press, 2011), hlm. 49 - 61

[78] Asep  Mahfudz,  Be  A  Good  Teacher  or  Never:  9  Jurus  Cepat Menjadi  Guru  Profesional  Berkarakter  Trainer,  (Bandung:  Nuansa,  2011), hlm. 45

[79] Sukardi, Metode Penelitian Pendidikan, Kompetensi dan Prakteknya (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hal. 156.

[80] Lexy J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hal. 125.

[81] Matthew B.Miles and Michael A.Huberman, Qualitative Data Analysis, A Sourcebook of New Methods (Beverly Hills Page Publications, 1984), hal. 23.

[82] Lexy J.Moleong, op.cit., hal.. 173.

[83] Ibid., hal. 178.

[84] Ibid., hal. 183.

[85] Ibid., hal. 183-184.

                [86] Hadits riwayat Bukhari no : 1407 dan Muslim no : 1635 dan 1646

[87] Nur Nurosid Fauzi, Guru PAI SDN Cililitan 01 Pagi Jakarta, Wawancara Pribadi, Jakarta, 11 Mei 2018.

[88] Hasmawati, Guru PAI SDN Cipete Utara 01 Pagi Jakarta, Wawancara Pribadi, Jakarta, 11 Mei 2018.

[89] Siti Hindun, Guru PAI Sekolah Dasar Islam Teladan Sa’adatuddarain, Wawancara Pribadi, Jakarta, 11 Mei 2018

[90] Ahmad Muhajir, Guru PAI Darul Ma’arif Jakarta,  Wawancara Pribadi, Jakarta, 11 Mei 2018

[91] Paridah, Guru PAI SDN Tengah 03 Pagi Jakarta, Wawancara Pribadi, Jakarta, 11 Mei 2018.

[92] Edwin Rahmadi, Guru PAI SDS Kartika Jakarta, Wawancara Pribadi, Jakarta, 11 Mei 2018.

[93] Hijrianah Kamalia, Guru PAI SD Islam Taman Quraniyah Jakarta, Wawancara Pribadi, Jakarta, 11 Mei 2018

[94] Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Terjemahan dari The Early Development of Islamic Jurisprudence oleh Agah Garnadi, (Bandung : Penerbit Pustaka, 1984), h. 110.

[95] Edwin Rahmadi, loc. cit.

[96] Ahmad Muhajir, loc. cit.

[97] Hijrianah Kamalia, loc. cit.

[98] Nur Nurosid Fauzi, loc. cit.

[99] Hasmawati, loc. cit.

[100] Paridah, loc. cit.

[101] Edwin Rahmadi, loc. cit.

[102] Nur Nurosid Fauzi, loc. cit.

[103] Paridah, loc. cit.

[104] Ahmad Muhajir, loc. cit.

[105] www.nu.or.id

[106] Nur Nurosid Fauzi, loc. cit.

[107] Siti Hindun, loc. cit.

[108] Hijrianah Kamalia, loc. cit.

[109] Ahmad Muhajir, loc. cit.

[110] Paridah, loc. cit.

[111] Edwin Rahmadi, loc. cit.

[112] Al-Haifzh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, juz.X (Beirut: Dar alMa’rifah, 1379H), hal.263.

[113] Syekh DR.Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa Nata’amal Ma’a as-Sunnah an-Nabawiyyah, (Cairo; Dar asySyuruq, 1423H),  hal.128

[114] Edwin Rahmadi, loc. cit.

[115] Nur Nurosid Fauzi, loc. cit.

[116] Hasmawati, loc. cit.

[117] Siti Hindun, loc. cit.

[118] Ahmad Muhajir, loc. cit.

[119] Nur Nurosid Fauzi,  loc. cit.

[120] Ahmad Muhajir, loc. cit.

[121] Hasmawati, loc. cit..

[122] Edwin Rahmadi, loc. cit.

[123] Siti Hindun, loc. cit.

[124] Mahmud Syaltut, al-lslam Aqidah wa al-Syari’ah, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1980), h. 345

[125] Ibid., h. 344-345.

[126] Ibid.

[127] Paridah, loc. cit.

[128] Ahmad Muhajir, loc. cit.

[129] Siti Hindun, loc. cit.

[130] Nur Nurosid Fauzi, loc. cit.

[131] Hasmawati, loc. cit.

[132] Mahmud Syaltut, al-lslam Aqidah wa al-Syari’ah, h.391

[133] Muhammad abduh, Tafsir al-Manar, (Cairo: Maktabah al-Qahiroh, juz III, cet IV, 1324), hal. 97

[134] Mahmud Syaltut, al-Fatawa, h. 351

[135] Nur Nurosid Fauzi, loc. cit.

[136] Ahmad Muhajir, loc. cit.

[137] Hijrianah Kamalia, loc. cit.

[138] Hasmawati, loc. cit.

[139] Surat al-Baqarah (2) ayat 282

[140] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Al-Turuq al-Hukmiyyah fi al-Siasah al-Syar’iyyah, (Kairo : al-Mu’assasah al-Arabiyyah li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1961) h. 92-93 & 151

[141] Syaltut, al-lslam Aqidah wa Syari'ah, h. 239-240

[142] Ahmad Muhajir, loc. cit.

[143] Siti Hindun, loc. cit.

[144] Hasmawati, loc. cit.

[145] Nur Nurosid Fauzi, loc. cit.

[146] Paridah, loc. cit.

[147] Edwin Rahmadi, loc. cit.

[148] Hijrianah Kamalia, loc. cit.

[149] Hadits riwayat Bukhari no : 894 dan Muslim dari Ibnu Umar no: 3317

[150] Shihabuddin Ahmad bin Muhammad al-Qasthalani, Irsyad al-saari fi Syarh Shahih Bukhari, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1984), Jilid 6, Cet 7, h. 240

[151] Nur Nurosid Fauzi, loc. cit.

[152] Siti Hindun, loc. cit.

[153] Ahmad Muhajir, loc. cit.

[154] Hasmawati, loc. cit.

[155] Paridah, loc. cit.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

STUDI ISLAM KOMPREHENSIF

PSIKOLOGI PENDIDIKAN ISLAM

ANALISIS KEBIJAKAN TENTANG PENDIDIKAN AGAMA DAN KEAGAMAAN