KEABADIAN JIWA
KEABADIAN JIWA
Tugas Akhir Mata Kuliah
Psikologi Pendidikan Islam
Oleh :
Taupik Abdillah Syukur
Dosen Pembimbing :
Prof. DR. Mulyadhi Kartanegara
PROGRAM PASCASARJANA (S3)
UNIVERSITAS IBN KHALDUN (UIKA) BOGOR
2012 M/ 1433 H
I. Pendahuluan
Dalam tradisi keilmuan Barat persolaan jiwa oleh sebahagian ilmuwan tidak menjadi perhatian utama, karena kebenarannya masih dianggap spekulatif dan cenderung subjektif. Ilmu psikologi modern secara umum belum mampu mengurai secara jelas hakikat dari jiwa manusia. Kajiannya hanya mampu mengurai prinsip-prinsip umum dan gejala dari jiwa manusia. Umumnya masih berupa kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya hipotesis dari pengalaman seorang ilmuan atau peneliti. Hal ini yang sangat berbeda dengan Islam.
Dalam tradisi keilmuan Islam kajian jiwa manusia justru mendapat perhatian penting. Hampir semua ulama, kaum sufi dan filosof muslim ikut berbicara tentangnya dan menganggapnya sebagai bagian yang lebih dahulu diketahui oleh seorang manusia. Karena dimensi jiwa dalam Islam lebih tinggi dari sekedar dimensi fisik karena jiwa merupakan bagian metafisika. Ia sebagai penggerak dari seluruh aktifitas fisik manusia. Meskipun saling membutuhkan antara jiwa dan jasad, namun peran jiwa akan lebih banyak mempengaruhi jasad. Kesimpulan-kesimpulan tersebut selain berdasarkan analisis keilmuan tapi terpenting Islam memiliki pedoman yang menjelaskan tentang hakikat tersebut yaitu Al-Qur’an dan Hadist. Dari pedoman ini yang kemudian kajian tentang jiwa menjadi lebih luas dalam Islam dibandingkan dalam tradisi diluarnya. Maka, menarik untuk dibahas dan pentingnya untuk diketahui bagaimana Islam menjelaskan tentang jiwa baik dari eksistensi, potensi maupun hakikatnya. Karena dimensi jiwa adalah bagian ayat-ayat kauniyah dimana peran akal menjadi utama dalam hal ini. Selain memudahkan manusia mengetahui eksistensi dirinya juga terpenting mengetahui jiwanya akan memudahkan manusia mengenal Tuhannya.
Mendefinisikan jiwa bukanlah perkara yang mudah bahkan lebih sukar daripada membuktikan adanya. Maka, wajar ketika ditemukan ada perbedaan dalam memahami arti dari jiwa, karena perbedaan tersebut sebenarnya hanya karena metode dan cara pandang yang berbeda antara para filosof dan kalangan Sufi. Metode analisis filosof lebih berpijak pada mantiq dan logika, sedangkan sufi lebih mengedepankan akal dan intuisi, sehingga ini yang membuat kesimpulan berbeda. Terpenting di sini adalah bahwa definisi jiwa mengacu pada substansi utama yang ada pada diri manusia, yang memiliki peran sentral mengatur gerak dari tubuh dan memiliki daya dan cara kerjanya sendiri. Tentu akan jauh lebih luas dari sekedar definisi jika melihat bagaimana Al-Qur’an dan Hadist menjelaskan tentang keberadaan jiwa.
Ada dua kata didalam al-Qur’an yang menjadi rujukan dalam pembahasan jiwa ini, yaitu kata “ruh” dan “nafs”. Untuk mengetahui secara detail maka pemakalah akan memaparkan keduanya dalam pembahasan lebih lanjut.
II. Pembahasan
A. Hakikat Ruh
Istilah ruh, roh atau rohani telah menjadi perbendaharaan bahasa Indonesia sehari-hari. Kata “rohani”, bahkan sudah menjadi jargon pembangunan. Biasanya kata ini dilawan dengan “jasmani”. Keduanya merupakan dua aspek yang tidak dapat dipisahkan. Dalam GBHN disebut kata-kata “materiil-spiritual”. Kata “spiritual” sering diterjemahkan dengan “rohaniyah”. Kehidupan materiil adalah kehidupan yang bersifat kebendaaan, berkenaan dengan produksi dan konsumsi atau penggunaan dan penikmatan benda-benda fisik. Sedangkan kehidupan spiritual bersangkutan dengan rasa bathin yang tidak bisa diukur dengan kuantitas dan kualitas benda-benda, sekalipun kualitas bathin bisa diciptakan melalui benda-benda. Sementara itu, kata “jasmani” mengandung pengertian “badan”, sedangkan “rohani” atau aspek “bathin” manusia yang tak nampak.[1]
Demikian pula terdapat perbedaan dalam penggunaan kata “ruh” dan “roh”. Istilah ruh itu sering mengandung atau dekat maknanya dengan jiwa atau semangat. Sedangkan kata roh diasosiasikan dengan nyawa yang terdapat pada manusia, yang menyebabkan seseorang itu hidup. Kata roh juga dipergunakan untuk pengertian roh manusia di alam gaib atau akhirat. Roh bisa menunjuk kepada roh orang yang telah mati, sekalipun roh dapat pula dipercayai terdapat pada benda-benda atau makhluk hidup, seperti pohon dan binatang atau roh yang bukan berasal dari manusia yang telah hidup di dunia.
Dengan demikian maka kata ruh, roh dan rohani banyak digunakan dalam percakapan sehari-hari dengan beberapa arti yang berbeda. Pertanyaan yang paling sering muncul adalah, apakah perbedaan antara ruh dan roh dengan nyawa atau jiwa?.
Jika orang bertanya lebih mendalam tentang ruh guna mengetahui hakikatnya, maka jawabannya itu akan diawali dengan rambu-rambu yang tercantum dalam al-Qur’an surat al-Israa. Ayat itu berbunyi sebagai berikut :
Artinya : Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".
Pertanyaan-pertanyaan seputar ruh, ibn al-Qayyim mencoba menjawabnya dengan dengan berdasarkan al-Qur’an dan Hadits, pertnyaan itu antara lain :
1. Apakah orang mati mengetahui siapa yang berziarah dan memberi salam kepadanya atau tidak ?
2. Apakah ruh orang yang telah mati dapat saling bertemu?
3. Apakah ruh orang mati dapat bertemu dengan ruh yang masih hidup?
4. Apakah yang mati itu dapat saling bertemu ?
5. Bagaimana keadaan ruh setelah lepas dari tubuhnya?
6. Apakah ruh itu kembali kepada mayat ketika berada dalam kubur ?
7. Apakah sebelum kiamat, ruh itu berada dilangit atau dibumi?
8. Apakah ruh dapat memanfaatkan usaha orang hidup ?
9. Apakah ruh itu makhluk atau qadim ?
10. Apakah penciptaan ruh itu sebelum atau sesudah jasad ?
11. Samakah ruh dengan jiwa ?
12. Apakah hakikat jiwa itu ?
13. Apakah ruh itu satu atau tiga ?
Diantara ayat yang dipakai sebagai dasar analisa adalah yang tercantum dalam al-Qur’an surat alu ‘Imran: 169 – 171:
Artinya : Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup[2] disisi Tuhannya dengan mendapat rezki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka[3], bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia yang yang besar dari Allah, dan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman.
Ayat ini menjelaskan bahwa para syuhada yang mati dijalan Allah sebenarnya hidup. Yang dimaksudkan dengan hidup itu adalah hidup sesudah mati, dan hidup sesudah mati yang sifatnya kekal itu adalah hidup yang lebih hakiki, yang mengalami hidup itu adalah ruh-nya.
Keterangan filosofis tentang ruh ini diberikan oleh Cyril Glasse dalam bukunya The Conscise Encyclopaedia of Islam (1989). Dikatakan olehnya bahwa ruh itu dalam bahasa inggris diterjemahkan sebagai spirit, Ia adalah bagian yang non-individual dari jiwa (soul), yang disebut filsuf sevagai intellect atau nous. Dalam bahasa Arabnya adalah al-‘aql al-fa’al atau fa’il. Kebalikan dari spirit adalah soul atau psyche. dalam bahasa arabnya al-nafs.[4]
B. Hakikat Nafs
Dari kata nafs dalam al-Qur’an, timbul kata “nafsu” dalam bahasa Indonesia yang artinya telah berubah sama sekali. Istilah yang pertama, yang lebih tepat diterjemahkan sebagai pribadi atau diri, berkesan netral, tetapi yang kedua sudah bersifat pejoratif. Kata nafsu juga berkonotasi seksual.
Istilah nafsu itu agaknya berasal dari perbendaharaan al-Qur’an. Ia berasal dari kata nafs. Tetapi kata ini, dalam Kitab Suci, mengandung arti yang berbeda. Hanya saja, ketika telah menjadi kata Indonesia, maknanya berubah dari aslinya. Tetapi kaitan keduanya tetap ada dan pengaitannya tetap berguna dalam analisis. Dalam al-Qur’an, nafs jamaknya, anfus dan nufus, diartikan sebagai jiwa (soul), pribadi (person), diri (self atau selves), hidup (life), hati (heart) atau pikiran (mind) di samping dipakai untuk beberapa arti lainnya.[5]
Dalam al-Qur’an surat Yusuf/12: 53, dijelaskan adanya dua kemungkinan yang terjadi pada nafsu (nafs):
Artinya : Dan Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), Karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyanyang.
Dalam ayat ini, memang dinyatakan bahwa nafsu itu pada umumnya mendorong kepada keinginan-keinginan rendah yang menjurus kepada hal-hal yang negatif. Namun ada pula nafsu yang mendapat rahmat, yang membawa kepada kebaikan, yang kelak dalam perkembangan ilmu tasawuf disebut sebagai al-nafs al-marhamah.
Artinya : Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?, Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).
Dalam ayat ini, hawa nafsu (al-hawwa atau keinginan rendah) itu bisa menuntun perbuatan orang dan bisa menjadikannya sebagai tujuan akhir itu sendiri (diperlakukan sebagai tuhan) apabila orang itu tidak mempunyai keinginan untuk mendengar (petunjuk) dan berusaha untuk memahaminya. Keinginan rendah ini adalah naluri primitif atau kecenderungan-kecenderungan biologis yang dalam tasawuf disebut juga al-nafs al-hayawaniyah atau nafsu kebinatangan. Karena itu, pengertian nafs, perlu dibedakan dari hawa, yang mengandung pengertian hawa nafsu sebagai naluri kebinatangan seseorang.
Dalam surat al-Mudatsir, Allah swt berfirman :
Artinya : Sebagai ancaman bagi manusia. yaitu) bagi siapa di antaramu yang berkehendak akan maju atau mundur[6]. Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang Telah diperbuatnya.
Dalam ayat ini, nafs diartikan sebagai jiwa yang memiliki jaminan bahwa yang diusahakan seseorang akan memberi pengaruh terhadap jiwa orang tersebut. Ayat-ayat selanjutnya yang mengandung kata nafs yang berarti jiwa antara lain :
Artinya : Maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang Telah dikerjakannya.
Artinya : Hai jiwa yang tenang.
Apa yang diartikan sebagai “jiwa yang tenang” itulah yang terkenal dengan sebutan “al-nafs al-muthma’innah”, suatu tingkat perkembangan jiwa yang tertinggi, suatu konsep yang dikembangkan dikalangan sufi.
Sebenarnya istilah “jiwa” atau “diri” hanyalah soal pilihan kata terjemahan. Dalam al-Qur’an surat al-Hasyr 59/9, umpamanya dijumpai :
Artinya : Dan orang-orang yang Telah menempati kota Madinah dan Telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung.
Disini kata “jiwa” dapat diganti dengan “diri”. Pokoknya nafs menunjuk kepada orang. Namun, jika seorang penterjemah memilih kata “jiwa”, maka ia tentu mempunyai maksud tertentu. Misalnya, orang melihat bahwa esensi manusia adalah jiwanya. Jika seseorang itu kikir, maka yang menerima predikat kikir adalah jiwanya.[7]
C. Keabadian Jiwa
Menurut Al Kindi jiwa tidak tersusun, substansinya adalah ruh yang berasal dari substansi Tuhan. Dalam hal jiwa, al-Kindi lebih dekat dengan pandangan Plato yang mengatakan bahwa hubungan antara jiwa dan badan bercorak aksidental (al-‘aradh). Al-Kindi berbeda dari Aristoteles yang berpendapat bahwa jiwa adalah form dari badan. Menurut Al-Kindi, jiwa memiliki 3 daya, antara lain:
1. Jiwa bernafsu (al-quwwah asy-syahwāniyyah),
2. Jiwa memarah (al-quwwah al-ghadhabiyyah) dan
3. Jiwa berakal (al-quwwah al-‘aqilah).
Selama ruh atau jiwa berada di badan, ia tidak akan menemukan kebahagiaan hakiki dan pengetahuan yang sempurna. Setelah bepisah dari badan dan dalam keadaan suci, ruh akan langsung pergi ke “alam kebenaran” atau “alam akal” di atas bintang-bintang, berada dilingkungan cahaya Tuhan dan dapat melihat-Nya. Di sinilah letak kesenangan hakiki ruh. Namun jika ruh itu kotor, ia akan pergi terlebih dahulu ke bulan, lalu ke Merkuri, Mars, dan seterusnya hingga Pluto; kemudian terakhir akan menetap ke dalam “alam akal” di lingkungan cahaya Tuhan. Di sanalah jiwa akan kekal abadi di bawah cahaya Tuhan. Bagi yang berbuat durhaka dan kejahatan di dunia, jiwa (ruh) manusia akan jauh dari cahaya Tuhan sehingga dia akan sengsara. Bagi manusia yang berbuat kebajikan, jiwa (ruh) yang dikandungnya dahulu ketika di bumi, akan dekat dengan cahaya Tuhan dan akan hidup bahagia di sisi-Nya.
Ia juga mengemukakan bahwa jiwa tidak tersusun, namun mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia. Substansi jiwa berasal dari Tuhan. Hubungan jiwa dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual, llahiah, terpisah dan berbeda dari tubuh. Jiwa atau ruh tidak pernah tidur, hanya saja ketika tubuh tertidur, ia tidak menggunakan indera-inderanya, dan bila disucikan, ruh dapat melihat mimpi-mimpi luar biasa dalam tidur dan dapat berbicara dengan ruh-ruh lain yang telah terpisah dari tubuh-tubuh mereka. Argumen yang dikemukakan AI-Kindi tentang perbedaan ruh dengan badan adalah bahwa ruh menentang keinginan hawa nafsu dan sifat pemarah. Dengan demikian jelas bahwa yang melarang tidak sama dengan yang dilarang. Dengan pendapat Al-Kindi tersebut, ia lebih dekat kepada pemikiran Plato daripada Aristoteles. Aristoteles mengatakan bahwa jiwa adalah baru, karena jiwa adalah form bagi badan. Form tidak bisa tinggal tanpa materi, keduanya membentuk satu kesatuan esensial, dan kemusnahan badan membawa pada kemusnahan jiwa. Jiwa atau ruh selama berada dalam badan tidak akan memperoleh kesenangan yang sebenarnya dan pengetahuannya tidak sempurna. Hanya setelah bercerai dengan badan, ruh akan memperoleh kesenangan yang hakiki dan pengetahuan yang sempurna. Setelah berpisah dengan badan, ruh pergi ke Alam Kebenaran atau Alam Akal di atas bintang-bintang, di dalam lingkungan cahaya Tuhan, dekat dengan Tuhan dan dapat “melihat” Tuhan. Di sinilah letak kesenangan abadi dari ruh. Di sini terlihat bahwa AI-Kindi tidak percaya pada kekekalan hukum terhadap jiwa, tetapi meyakini bahwa pada akhirnya jiwa akan memperoleh keselamatan dan naik ke Alam Akal.
Sedangkan menurut pemikiran ibnu sina tentang jiwa bersumber pada pemikirannya tentang akal pertama. Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat:
1. Sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah, dan
2. Sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya atau necessary by virtual of the necessary being and possible in essence.
Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari pemikiran tentang Tuhan timbul akal – akal dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwa–jiwa dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul di langit. Jiwa manusia sebagaimana jiwa – jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah Bulan, memancar dari akal ke sepuluh.
Keabadian jiwa bukanlah keabadian yang haqiqi sebagaimana keabadian dan kekekalan yang Maha Kekal. Keabadian jiwa menurut Ibnu Sina sebagai sesuatu yang mempunyai awal tetapi tidak mempunyai akhir. Ini berarti kekekalan jiwa adalah kekekalan karena dikekalkan Allah pada akhirnya yang tidak berujung, sedangkan awalnya adalah baru dan dicipta. Atau jiwa punya akhir tidak punya awal. Lebih rinci Ibnu Sina sendiri mengakui bahwa jiwa memiliki temporalitas, tanda temporalitasnya adalah ketidak tentuannya dan ketidak pastiannya kecuali dengan perantaraan tubuh.[8]
Jiwa tidak mungkin digambarkan sebelum adanya tubuh. Dalam membuktikan kekalnya jiwa, Ibnu Sina mengemukakan tiga dalil ;
1. Burhan al-infisal (bukti perpisahan). Perpaduan jiwa dan jasad bersifat aksiden, keduanya memiliki substansi tersendiri, dan jika jasad mati atau hancur, jiwa tetap dan kekal. Sementara jasad bergantung kepada jiwa untuk bisa hidup.
2. Burhan al-basatat (bukti keluasan). Jiwa adalah substansi ruhani yang luas. Dengan keluasannya ia selalu hidup dan tidak mati.
3. Burhan al-musyabbahat (bukti persamaan). Dalil ini bersifat metafisika. Jiwa manusia bersumber dari akal fa’al (akal kesepuluh) sebagai pemberi segala bentuk. Karena akal Sepuluh adalah merupakan esensi yang berfikir, azali dan kekal maka jiwa sebagai ma’lul (akibat)-nya juga akan kekal sebagaimana ‘illat (sebab)-nya.[9]
D. Pelajaran Berharga dari Keabadian Jiwa
Mengenai keabadian jiwa, baik Ibnu Sina maupun al-Ghazali meyakini bahwa jiwa akan tetap ada (kekal) setelah jasad hancur. Karena hakikat jiwa bersifat kealam-luhuran (‘uluwiyyah samawiyyah).
Menurut Ibnu Sina, jasmani manusia tak ubahnya seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan. Jasmani itu membutuhkan makanan, minuman, perlu bergerak, berkembang biak dan lain sebagainya. Disamping jasmani, manusia mempunyai rohani. Rohani ini biasanya berhubungan dengan hal-hal yang abstr ak atau hal–hal yang tidak nampak.
Rohani sangat membutuhkan jasmani manusia sebagai tempat tinggalnya, karena jasmanilah yang bergerak, bertindak dan berperan didunia ini. Akan tetapi walau berjalan beriringan, rohani dan jasmani merupakan satuan unit yang masing–masing berdiri sendiri.
Hal ini dapat dibuktikan, bahwa rohani manusia tidak akan hancur dengan hancurnya badan. Rohani manusia tidak akan mati dengan matinya jasad. Walaupun jasmani seseorang mati karena kecelakaan atau terkena bencana alam, tetap rohani manusia akan terus hidup. Rohani inilah yang nantinya yang akan mempertanggungjawabkan seluruh amalannya dihari pembalasan kelak.
Menurut Ibnu Sina, Jasmani manusia, karena sifatnya fisik dan nampak didunia, maka sebab akibatnya akan terasa didunia. Contohnya, apabila tidak makan maka akan lapar. Apabila tidak minum maka akan merasa haus, apabila terjatuh maka akan sakit karena terluka, apabila terlalu banyak pikiran maka akan pusing.
Berbeda dengan rohani manusia, karena bersifat abstrak, dan tidak nampak dimata, maka pembalasannya akan dirasakan nanti di akhirat. Karena hal-hal yang menyangkut masalah rohani yang mengetahui hanya dirinya sendiri dan Allah swt.[10]
III. Penutup.
Dengan konsep keabadian jiwa ini diharapkan manusia akan lebih sadar lagi, bahwa didalam tubuhnya terdapat jiwa yang harus diperhatikan sebagaimana mereka memperhatikan dan memikirkan akan jasad atau fisiknya.
Pencapaian-pencapaian ilmiah dibidang psikologi modern memang sangat luar biasa. Tetapi disamping pencapaiannya itu, ia juga memiliki sisi-sisi negatifnya yang perlu kita sadari dan waspadai agar tidak terjerembab dalam perangkapnya. Sekularisasi di bidang psikologi ini telah menimbulkan banyak kerugian terutama secara sistematis akan melenyapkan jiwa sebagai substansi imaterial dari diri manusia. Penolakan ini akan berakibat pada penolakan imortalitas (keabadian jiwa). Sedangkan penolakan keabadian jiwa ini pada gilirannya akan berarti penolakan pada hari akhir. Karena kalau jiwa manusia harus berakhir pada kematian, maka apalah artinya kepercayaab kita pada hari akhir. Kepercayaan kita pada akhirat hanya akan punya arti kalau kita percaya bahwa jiwa kita tidak hancur pada saat kematian, sebaliknya ia akan terus hidup untuk mempertanggung-jawabkan perbuatan-perbuatannya.[11]
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Abdul Aziz, Pemikiran Falsafi dalam Islam, Jakarta: Percetakan Karya Unipress, Djambatan, 2003
Ibn Sina, Ahwal an-Nafs: Risalah fi Nafs wa Baqa’iha wa Ma’adiha (terj.) Psikologi Ibn Sina, Bandung, Pustaka Hidayah, 2009
Kartanegara, Mulyadhi, Pengantar Studi Islam, Jakarta: USHUL PRESS, 2011
----------------------------, Mozaik Khazanah Islam, Bunga Rampai dari Chicago, Jakarta: Penerbit Paramadina, 2000
Nasution, Harun, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 2002, Jilid 2
Rahardjo, Dawam, Ensiklopedi al-Qur’an (Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci), Jakarta: Paramadina, 1996, cetakan I
[1] Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an (Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci), Jakarta: Paramadina, 1996, cetakan I, hal. 228.
[2] Yaitu hidup dalam alam yang lain yang bukan alam kita ini, di mana mereka mendapat kenikmatan-kenikmatan di sisi Allah, dan Hanya Allah sajalah yang mengetahui bagaimana keadaan hidup itu.
[3] Maksudnya ialah teman-temannya yang masih hidup dan tetap berjihad di jalan Allah s.w.t.
[4] Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, hal. 245.
[5] Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, hal. 245.
[6] Yang dimaksud dengan maju ialah maju menerima peringatan dan yang dimaksud dengan mundur ialah tidak mau menerima peringatan.
[7] Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, hal. 250 – 254.
[8] Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, Jakarta: Percetakan Karya Unipress, Djambatan, 2003, h. 99- 103.
[9] Kartanegara, Mulyadhi, Mozaik Khazanah Islam, Bunga Rampai dari Chicago, Jakarta: Penerbit Paramadina, 2000, h. 70
[10] Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 2002, Jilid 2, h. 57
[11] Mulyadhi Kartanegara, Pengantar Studi Islam, Jakarta: USHUL PRESS, 2011, h. 373 - 374
Komentar
Posting Komentar